Maraknya kasus pencabulan di pondok pesantren (ponpes) yang terungkap akhir-akhir ini membuat masyarakat sangat prihatin. Apalagi kejadian nista tersebut terjadi di lembaga pendidikan agama.
Belum selesai kasus Herry Wirawan, tersangka kasus pemerkosaan 13 santri di Bandung, telah muncul kasus lain di berbagai daerah. Saat ini Herry resmi mendapat vonis mati dari Pengadilan Tinggi Bandung.
Vonis itu dijatuhkan atas banding yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum setelah pemilik sebuah ponpes di Bandung itu sebelumnya hanya mendapat hukuman penjara seumur hidup.
Tindakan pemerkosaan yang dilakukan Herry terhadap santri di ponpesnya itu dinilai sangat berat sehingga Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding untuk memberi hukuman terdakwa vonis mati.
Baca Juga: Bukan Hanya Pattimura Astronot Neil Amstrong juga Diklaim Mualaf
Herry Wirawan adalah guru ngaji yang tega memperkosa para siswinya. Dia melakukan perbuatan bejat itu tidak hanya di ponpesnya, tapi juga di beberapa hotel.
Mirisnya, beberapa korban Herry ada yang sampai hamil, bahkan melahirkan.
Kasus serupa juga muncul di Jombang dan Banyuwangi, Jawa Timur.
Anak kiai ponpes ternama Shiddiqiyyah di Jombang bernama Mochamad Subchi Anzal Tsani atau Bechi akhirnya ditangkap polisi pada Kamis ,7 Juli 2022. Sebelumnya Bechi menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO) atas kasus pencabulan dan pemerkosaan terhadap santriwati di PonPes tersebut.
Bechi sangat disegani oleh para santri karena ayahnya adalah kiai ternama di Jombang, yaitu K.H Muhammad Mukhtar Mukhti. Pria berusia 42 tahun itu sebenarnya telah menerima panggilan polisi dari tahun 2019, namun selalu mangkir. Hal itu menyebabkan kasusnya bergulir lambat.
Meski beredar isu kalau kasus Bechi ini adalah konflik keluarga, namun pada dasarnya tempatnya sama, yakni di ponpes yang disegani.
Baca Juga: Holywings Lokalisasi dan Judi SDSB
Masih di Jawa Timur, Kepala Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Banyuwangi, Henik Setyorini mengaku prihatin atas kejahatan seksual yang menimpa sebanyak 6 santriwati yang dilakukan pengasuh ponpes berinisial FZ.
"Anak-anaknya kita dampingi, traumanya kayak apa, kita rujuk ke psikolog untuk yang membutuhkan. Sementara saat ini keluarga juga mengurus tahapan kepindahan sekolah. Kasus kan masih ditangani oleh kepolisian," ujar Henik, Sabtu, 25 Juni 2022.
Tiga kasus itu mewakili banyak kasus serupa yang mulai banyak terungkap. Pada era keterbukaan informasi seperti sekarang ini, kasus pelecehan seksual terhadap siswa menginap di institusi pendidikan agama bisa terkuak satu demi satu. Sebelum era media sosial, kasus seperti ini jarang terekspos, baik oleh masyarakat atau media cetak.
Tidak Mewakili
Berbagai kasus pencabulan itu tentu menjadi perhatian para ortu (orang tua) yang memondokan (menyekolahkan) anaknya di ponpes. Seperti yang diakui oleh pria yang mengaku bernama Trisno (45 tahun).
"Sedari awal saya sudah tahu karakter pengasuh ponpes tempat anak-anak saya mondok, jadi tidak was-was," ujar pria pekerja serabutan itu.
Trisno menyatakan pendidikan di pesantren bisa membuat anak-anaknya mandiri.
"Mereka bisa mandiri. Bangun dari sebelum Subuh untuk ibadah dan melaksanakan tugas-tugas. Kalau dengan orang tua, mereka tidak bisa mandiri," kata bapak 2 putri itu.
Nyatanya alasan memondokan anak bukan semata masalah ekonomi. Hal itu yang disampaikan oleh Adi (49 tahun) seorang pegawai instansi pemerintah.
"Sebenarnya kita ingin dia sekolah biasa [tidak mondok], tapi anaknya yang minta, mungkin teman-temannya juga banyak yang mondok," kata Adi.
Dia menyatakan kalau para pengasuh ponpes yang berbuat tidak pantas itu tidak mewakili semua ponpes.
"Hanya kelakuan beberapa orang yang tidak pantas, tidak berarti mewakili semua," ujarnya.
Namun Adi akan tetap memantau anaknya setiap saat di ponpes.
"Kalau dia keliatan tidak nyaman di sana, saya langsung bawa pulang," katanya. [Benhil News]
Baca Juga: Tak Lagi Wajib Berhijab Wanita Saudi Demam Gaya Rambut Demi Moore