Baru-baru
ini Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut
Binsar Pandjaitan menyampaikan rencana harga tiket masuk area stupa Candi
Borobudur akan naik.
Dia
menyatakan kalau turis lokal akan dikenakan tarif Rp 750.000 untuk masuk ke
area stupa candi tersebut. Sontak rencana tersebut membuat kaget banyak pihak
dan ditanggapi beragam.
Tiket itu dianggap terlalu mahal bagi sebagian pihak. Namun tidak sedikit yang menganggap tarif masuk area Candi Borobudur itu masuk akal, mengingat itu adalah bangunan yang punya nilai sejarah dan peradaban masa lampau yang tidak ternilai. Saya sendiri setuju dengan pendapat kedua.
- Baca Juga: Formula E Jadi Ajang Promo 2024
Nenek Moyang Hebat
Saya
pernah mengantar teman dari Australia yang datang ke Borobudur bersama
teman-temannya. Dari mulai perjalanan ke candi agama Budha tersebut, mereka
sudah excited.
Sebelumnya,
saya pernah berkali-kali ke Borobudur, baik piknik keluarga, sekolah, kantor,
atau mengantar teman dari luar kota atau luar negeri, seperti pada kesempatan
itu. Tentu saja saya tidak se-excited
orang-orang Australia itu. Tapi saya senang mereka mengagumi tempat wisata di
negara ini.
Saat
berjalan ke arah obyek wisata itu, dari kejauhan telah tampak Candi Borobudur.
Mereka melihat dengan takjub.
Teman
dari Autralia itu berbicara pada saya,”You
know, nenek moyangmu itu hebat. Pada abad ke-7 sudah punya peradaban maju
dan mampu membangun candi semegah ini.”
Saya
tersenyum dan mengangguk, seolah-olah ikut berbangga dengan pencapian itu.
“Kita
di Australia baru membangun peradaban 200 tahun yang lalu. Sedangkan nenek moyangku
pada abad itu di Eropa masih sibuk dengan saling menaklukan untuk wilayah dan
budak.”
“Saya
malah nggak pernah berpikir apa yang terjadi di Eropa saat itu.”
“Eropa
baru maju setelah penemuan teknologi, mate,”
kata dia.
Benar
juga ya, pikir saya. Kenapa saya tidak pernah menyadari betapa kita memiliki
nenek moyang yang pikirannya jauh lebih maju pada masanya. Kenapa saya
mengabaikan tentang fakta itu.
Pernah
juga anak dari saudara sepupu saya yang masih duduk di sekolah dasar (SD) akan
piknik ke Yogyakarta. Iseng-iseng saya bertanya, “Pasti salah satu tujuan
pikniknya ke Candi Borobudur ya?”
“Tidak,”
jawab dia polos. “Tidak boleh orang tua dan itu kan bukan tempat wisata sesuai
dengan sekolah kita.”
Saya
kaget dan tidak percaya. Baru ingat kalau keponakan itu sekolah di SD yang
menekankan suatu ajaran.
Saya
hampir memberi masukan pada keponakan itu kalau Candi Borobudur adalah warisan
peradaban manusia, bukan representasi dari agama Budha semata. Namun dia masih
anak kecil yang belum paham apa-apa.
Dan
ajaibnya, saat kontroversi rencana kenaikan tarif Borobudur mengemuka, yang
paling senewen dengan kebijakan itu di grup WhatsApp keluarga adalah saudara
sepupu saya, yakni ibu dari keponakan itu. He he he…
Saat
ada pihak yang mencoba meninggikan kehormatan Candi Borobudur dengan cara
menaikan tarifnya, ternyata orang-orang yang mengabaikannya yang protes dengan
tarif tersebut.
Masih Dikaji Ulang
Menko
Marves Luhut Binsar Pandjaitan tidak lama ini kembali menegaskan bahwa rencana
kenaikan tarif untuk masuk ke area Candi Borobudur bagi wisatawan lokal sebesar
Rp 750.000 itu masih akan dikaji ulang.
Dia
menyatakan telah memahami kekhawatiran dan masukan dari masyarakat tentang
tingginya tarif untuk turis lokal.
“Saya
mendengar banyak sekali masukan masyarakat hari ini terkait dengan wacana
kenaikan tarif untuk turis lokal,” kata Luhut seperti dikutip dalam keterangan
resmi, Senin ,6 Juni 2022.
Dia
mengatakan kalau rencana tarif itu belum final, karena masih akan dibahas dan
diputuskan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada pekan depan.
Luhut
sendiri sangat prihatin dengan kondisi candi yang dibangun pada 14 abad yang
lalu itu, baik karena pengaruh alam ataupun perilaku pengunjung (terutama
lokal).
Berdasarkan
kajian dari berbagai ahli yang memberikan masukan kepada Pemerintah, kondisi
situs bersejarah tersebut kini mulai mengalami pelapukan. Disamping itu,
perubahan iklim, erupsi gunung berapi, gempa bumi, juga menjadi tantangan
tersendiri.
“Silakan cek atau tanya ke teman-teman pengelola di sana. Belum lagi perilaku pengunjung yang suka melakukan vandalisme, menyelipkan benda tertentu di sela-sela batu candi, membuang sampah sembarangan, dan yang lebih parah adalah tidak bisa menghargai Candi Borobudur sebagai situs umat Buddha. Ini semua kan perlu penanganan khusus,” kata Luhut. [Benhil]