Kalau judul di atas dianggap terlalu lebay atau berlebihan, silakan. Namun negara kita harus segera berbenah untuk melihat potensi yang tidak menguntungkan atau bahaya di kemudian hari. Itu kalau tidak mau dibilang terlambat.
Elon Musk secara resmi memilih memproduksi mobil listrik di Thailand, bukan di wilayah RI. Tentu saja hal itu mengecewakan banyak pihak di sini.
Baca Juga: Formula E Jadi Ajang Promo 2024
Dikutip
dari The Thaiger, Tesla telah resmi terdaftar sebagai perusahaan sejak Rabu, 25
Mei 2022. Hal itu diumumkan di situs Department of Business Development,
Ministry of Commerce Thailand.
Perusahaan
teknologi terkini itu diberi nama Tesla Company (Thailand) Ltd. Jumlaj investasi awal yang digelontirkankan
adalah sekitar 3 juta baht atau sekitar Rp 1,2 triliun.
Pilihan
Tesla di negeri Gajah Putih itu sesuai dengan kebijakan pemerintah Thailand
yang mendukung penggunaan kendaraan listrik guna mengurangi emisi karbon.
Dukungan
tersebut tidak main-main. Pada bulan Maret, Pemerintah di sana menggelontorkan
3 miliar baht untuk mensubsidi harga kendaraan listrik dan mengurangi pajak
mobil listrik.
Sebenarnya upaya bangsa kita untuk mendukung mobil listrik dan mendekati Elon Musk juga sangat serius. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan dan bahkan, Presiden Joko Widodo mau menemui boss Tesla tersebut di markasnya Space X di Borca chica, AS. Namun kenyataannya tidak seperti yang diharapkan.
Secara
tersirat alasan memilih markas pabrik mobil listrik itu di Thailand pernah diunggah
oleh Elon Musk di Twitter pada 19 Mei 2022.
Orang
paling kaya di dunia itu menyebutkan, “Dulu saya memilih Demokrat, karena
mereka (umunya) adalah partai yang baik. Tapi mereka telah menjadi partai
pemecah belah dan kebencian, jadi saya tidak bisa lagi mendukung mereka dan
akan memilih Partai Republik."
Jadi,
pada dasarnya Elon tidak menyukai situasi perpecahan dan kebencian yang membawa
pada suasana tidak kondusif.
Saat
pria berusia 50 tahun itu menimang-nimang antara negara kita dan Thailand untuk
berinvestasi, Indonesia sedang disorot dunia perihal penceramah Abdul Somad
yang tidak boleh masuk ke Singapura dan buntutnya berkepanjangan. Pemerintah
Singapura sampai perlu membuat klarifikasi akibat aksi demo yang dilakukan oleh
pendukung Somad di Jakarta.
Melihat
hal itu, Elon Musk bilang, “Forget it!” Dan langsung memerintahkan staffnya ke
negeri kerajaan itu.
Kecewa?
Pasti. Namun, daripada kecewa berkepanjangan, jauh lebih bagi kita untuk
introspeksi dan segera membenahi banyak hal.
RAPUH
Kita
perlu introspeksi secepatnya dan menyadari bahwa banyak hal yang membuat iklim
investasi di negara kita tidak kondusif dan rapuh. Salah satu yang utama adalah
politik identitas yang semakin tajam.
Politik
identitas yang dipelihara sejak Pilpres (pemilihan presiden) 2014 dan berlanjut
pada Pilkada (pemilihan kepala daerah) Jakarta pada 2017 seakan menjadi bom
yang mengkhawatirkan setiap orang akan bisa meledak sewaktu-waktu. Panasnya
bidang satu ini belum tampak surut dan bisa jadi akan semakin digodok lagi
menjelang Pilpres 2024.
Politik
identitas yang tajam mengkhawatirkan perekonomian bangsa Indonesia di masa
datang. Hal itu akan melemahkan sumber daya bukan alam yang seharusnya bisa
memberi pemasukan bagi negara.
Mantan
Perdana Menteri (PM) dan Pendiri Negara Singapura, Lee Kwan Yew pernah memberi
masukan atau catatan penting bagi negeri kita tercinta ini. Masukan yang dia
tulis sebelum meninggal tersebut sangat berharga untuk kita renungkan dan
menjadi alasan untuk mengambil tindakan.
Lee
Kwan Yew mengatakan, perekonomian Indonesia saat ini sangat baik dan saya ikut
senang dengan hal itu. Namun yang mengkhawatirkan adalah perekonomian Indonesia
itu hanya didukung oleh sumber daya alam.
Kenapa
dikatakan mengkhawatirkan? Sederhana, karena sumber daya alam bisa habis cepat
atau lambat. Dan saat sumber daya habis, tentu pemasukan keuangan negara akan
berkurang sehingga mengakibatkan permasalahan yang lebih besar.
Perkiraan
sumber daya alam akan habis digunakan atau dieksploitasi adalah sekitar 25
tahun lagi. Itu adalah waktu yang sangat singkat.
Tujuan
dari pesan mantan PM Singapura itu adalah agar negara kita sesegera mungkin
beralih dari negara yang menggantungkan sumber daya alam menjadi negara
produsen yang mampu mengolah komoditas secara berkesinambungan.
Hal
itu tentu tidak mudah, tapi kalau ada niat yang kuat, bukan tidak mungkin akan
bisa terwujud. [Benhil]
Baca Juga: