Sebelum mesin cetak populer digunakan dalam industri pakaian pada umumnya dan kain batik pada khususnya, mayoritas batik dibuat atau digambar secara manual. Produk yang dihasilkan dari industri manual itu disebut batik tulis.
Kenapa
disebut batik tulis? Karena batik jenis ini dibuat secara manual, yakni
menggunakan tangan dengan alat bantu canting untuk menerakan malam atau lilin pada
corak batik. Pembuatan batik dengan cara ini membutuhkan kesabaran dan
ketelatenan tinggi karena setiap titik dalam motif berpengaruh pada hasil
akhirnya.
Yang
disebut teknik canting dalam batik tulis adalah teknik membatik dengan
menggunakan alat yang disebut canting. Canting ini memiliki fungsi untuk
menorehkan cairan malam pada sebagian pola di kain mori. Teknik ini membutuhkan
ketelitian dan keuletan.
Baca Juga: Pandangan Budaya Barat pada batik
Pembuatan
batik tulis membutuhkan waktu sekitar 2 sampai 3 bulan. Pakaian jenis ini membutuhkan
keahlian, kesabaran, ketelitian, dan waktu yang sangat lama, tidak heran kalau harga
batik tulis sangat mahal.
Motif batik yang diproduksi dengan cara tulis akan berbeda-beda atau tidak sama persis antara satu dengan yang lainnya. Karena
dianggap memiliki seni yang tinggi, dulu batik tulis biasa dipakai oleh raja,
pembesar keraton, dan bangsawan sebagai simbol kemewahan. Kini batik tulis
dipakai oleh kalangan atas dan para pejabat.
Sebelum perang dunia pertama (PD I), Industri batik tulis menyerap tenaga kerja lumayan banyak karena dikenal sebagai pakaian berkelas dan bernilai klasik. Pembatik tulis dianggap sebagai pekerja dengan keahlian khusus yang tidak semua orang bisa melakukannya.
Setelah PD I, yakni sekitar tahun 1920, mesin cetak mulai digunakan di industri tekstil batik. Karena batik cetak mampu diproduksi dalam jumlah yg lebih banyak, waktu yang lebih cepat, dan tentu saja harga yang jauh lebih murah, maka lambat laun batik tulis mulai berkurang.
Baca Juga: Kita Memang Mengabaikan Borobudur
Fokus Membatik
Pembatik
tulis bekerja dari pagi hingga petang karena saat itu listrik belum tersebar.
Selama bekerja, mereka fokus mengerjakan batik yang sedang mereka hadapi
tanpa bisa meninggalkannya walau hanya sebentar.
Hal
itu dikarenakan cairan malam atau lilin yang mereka torehkan ke permukaan
kain akan rusak atau kering sehingga tidak bisa digunakan. Padahal untuk
membuat malam batik sangat rumit karena membutuhkan komposisi tidak sedikit.
Diantaranya adalah parafin (putih dan kuning), microwax, lemak binatang
(kendal, gajih), minyak kelapa, lilin tawon, lilin lanceng.
Karena
tidak bisa meninggalkan pekerjaannya dalam waktu lama, meski untuk beribadah,
dulu kebanyakan pembatik adalah penganut ajaran abangan. Abangan berasal dari
kata aba’an yang artinya awam.
Kira-kira
arti dari kata aba'an adalah "yang tidak konsekuen" atau "yang
meninggalkan". Jadi para ulama pada masa penyebaran agama di tanah Jawa
pada abad ke-15 memberikan julukan kepada para orang yang sudah masuk Islam tetapi
tidak menjalankan syariat sebagai kaum aba'an atau abangan.
Secara
umum, definisi abangan adalah golongan penduduk Jawa yang mayoritas beragama Islam
tapi mempraktikkan ajarannya dengan berbagai macam aliran, seperti Hindu,
Buddha, dan animisme. Abangan cenderung
mengikuti sistem kepercayaan lokal secara adat daripada hukum Islam murni atau
syariah.
Golongan
abangan sendiri dikenal setelah seorang antropolog dari Universitas Harvard,
Amerika Serikat, Clifford Geertz mendalami kajian tentang agama (Islam) di
masyarakat Jawa. Geertz mengkategorikan kelompok agama dalam masyarakat Jawa
terdiri dari 3 kelompok, yakni abangan, santri, dan priyayi.
Jika
abangan melaksanakan ajarannya dengan akulturasi pada ajaran lokal, santri
melaksanakannya secara murni. Sedangkan priyayi yang notabene adalah kalangan
atas yang memegang kekuasaan lebih bersikap sekuler secara spiritual.
Jadi
secara hierarki masyarakat Jawa saat itu cukup jelas, priyayi yang menjalankan
pemerintahan perlu bersikap sekuler terhadap setiap kebijakan sosial politik yang dia ambil.
Kaum santri yang sehari-hari hidup dekat dengan dogma memilih menjauh dari
duniawi dan tinggal di pesantren. Sedangkan abangan sebagai penggerak roda
perekonomian masyarakat kebanyakan memilih menyerap budaya dari berbagai sumber
sebagai sarana untuk menikmati dan menjalankan pola dan gaya hidup.
Budaya yang dianut kaum abangan itu sekaligus menjadi hiburan apabila mereka sudah lelah seharian
mengerjakan batik tulis yang indah. [Benhil]
Baca Juga: Elon Musk Pilih Thailand, Indonesia Darurat Introspeksi