Saat-saat ini, banyak orang sedang menantikan salah satu hal yang paling menyenangkan pada bulan Ramadan, yaitu pembagian THR (tunjangan Hari Raya). Pembagian uang dari pemberi kerja pada para pekerja di luar gaji tersebut biasanya diserahkan sepuluh hari sebelum Hari Raya atau Lebaran.
Dengan
THR, banyak orang bisa beli baju baru dan aneka kebutuhan Lebaran sehingga
ekonomi nasional bisa semarak. Setiap orang bisa bergembira menyambut hari
paling bahagia bagi masyarakat Indonesia.
Namun
tahukah Anda kalau THR yang saat ini sedang kita nantikan dengan harap-harap
senang ini ternyata hasil perjuangan partai terlarang? Astaga!
Memang
benar sihh. Lebih jelasnya, begini kronologi awal mula pekerja bisa memperoleh THR
menjelang Lebaran, yaitu:
1.
Awal mula THR adalah sejak Kabinet Soekiman Wirjosandjojo (dari Partai Masyumi)
tahun 1951. Dia membuat beberapa program kesejahteraan para pegawai negeri
sipil (PNS), yang salah satunya adalah THR bagi PNS.
2.
Kemudian tahun 1954, diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954
tentang Pemberian Persekot Hari Raya kepada PNS. Saat itu pemberian THR masih berupa
persekot atau pinjaman, sehingga PNS harus mengembalikan sejumlah uang THR
tersebut lewat pemotongan gaji.
Meski
hanya diberi uang THR berupa persekot, saat itu PNS juga paket sembako gratis.
Pemberian paket sembako tersebut masih berjalan hingga sekarang.
3.
Setelah sekian tahun pemberian THR hanya berlaku bagi PNS, hal itu menimbulkan
kecemburuan sosial bagi pekerja swasta. Organisasi buruh Sobsi (Sentral
Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) yang menjadi anak organisasi dari Partai
Komunis Indonesia (PKI) memprotes keras kebijakan tersebut. PKI sendiri
dianggap partai terlarang setelah peristiwa G 30 S (Gerakan 30 September) 1965.
Saat
itu, Sobsi beralasan, THR yang hanya diberikan kepada PNS itu tidak adil. PNS
dan pekerja swasta sama-sama bekerja bagi perusahaan. Puncak protes tersebut
adalah saat para buruh melakukan mogok kerja serentak nasional menuntut hak
mereka.
4.
Untuk mengakomodir protes para buruh tersebut, pemerintah lewat Menteri
Perburuhan S.M Abidin menerbitkan Surat Edaran Nomor 3667 Tahun 1954. Meskipun
begitu, surat edaran itu bentuknya berupa imbauan, sehingga tidak semua perusahaan
(swasta) bersedia memberi THR karena sifatnya masih sukarela.
5.
Tahun 1961, pada waktu Menteri Perburuhan dijabat oleh Ahem Erningpraja, dia
menerbitkan Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1 Tahun 1961. Peraturan tersebut
berisi aturan mengenai besaran dan skema THR. Tahun 1962, peraturan itu diubah
jumlah nominal THR.
6.
PNS sendiri baru mendapat hak THR secara penuh pada 1964 melalui Surat edaran
Wakil Perdana Menteri Tiga No. WPM/III/II/ 6314/63 pada 9 Desember 1963.
7.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, THR sempat menjadi kontroversi karena
dianggap menghambat iklim investasi. Tahun 1972 pemerintah mengeluarkan
beberapa persyaratan THR, yang salah satu syaratnya adalah suatu badan usaha tidak
wajib memberikan THR jika kepemilikan perusahaan tersebut beralih sehingga
menyebabkan hak buruh tersebut sulit terealisasi.
Setelah
lama menjadi isu hangat, kaum pekerja akhirnya tidak sabar dan melakukan aksi
mogok dan demonstrasi yang mulai tampak dari tahun 1989 sampai 1994.
Aksi
mogok Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) di Medan pada Februari dan maret
1994, telah mendesak pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomer 04 tahun 1994 tentang Tunjangan
Hari Raya Keagamaan bagi pekerja swasta di perusahaan.
8.
Pada 2016 pemerintah melalui Kementrian Ketenagakerjaan, merevisi peraturan
mengenai THR yang tertuang dalam peraturan menteri ketenagakerjaan Nomor 6
Tahun 2016. Salah satu peraturan tersebut menyatakan bahwa pekerja yang
memiliki masa kerja minimal satu bulan sudah berhak mendapatkan THR. Disamping
itu, pengusaha wajib memberikan THR, tidak hanya kepada karyawan tetap, tapi
juga kepada karyawan kontrak.
9.
Tahun 2018, Presiden Joko Widodo juga menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 18
dan 19/2018 tentang THR dan gaji ke-13 bagi PNS, pensiunan PNS, prajurit TNI,
anggota Polri, pejabat, anggota MPR, DPR, DPD, menteri dan pejabat setingkat
menteri, gubernur, wali kota, bupati dan wakilnya.
Ternyata
setelah dicetuskan tahun 1951, butuh perjuangan selama tiga belas tahun agar THR
tersebut bisa benar-benar menjadi hak sepenuhnya bagi pekerja. Untuk kemudian disempurnakan
dari waktu ke waktu sehingga bisa seperti sekarang ini. [Benhil]