Peristiwa pengeroyokan oleh beberapa oknum terhadap influencer media sosial (medsos) dan dosen Universitas Indonesia (UI), Ade Armando menunjukan preseden buruk bahwa mental amuk massa yang melekat pada bangsa ini belum ada tanda-tanda akan berakhir.
Peristiwa
naas yang terjadi pada demo wacana presiden 3 periode pada Senin, 11 April 2022,
membuat prihatin banyak kalangan. Bagaimana tidak, Ade yang sudah berusia
lanjut (61 tahun) dipukuli seperti binatang oleh beberapa anak muda kekar
sampai berdarah-darah dan jatuh tidak berdaya.
Selesai?
Tidak. Beberapa pelaku belum puas dan mencoba menelanjangi bapak dua anak
tersebut untuk mempermalukannya. Satu orang bisa meraih celana Ade dan
melempar-lemparkannya ke udara sebagai tanda kemenangan. Yang lain mencoba
meraih baju si pesakitan.
Beruntung
sebelum keadaan lebih buruk, ada orang yang masih punya hati untuk menarik Ade
Armando dan menyerahkan pada pihak berwajib untuk diamankan dari amuk massa.
Amuk
massa adalah tindakan anarkis dari masyarakat kepada anggota atau kelompok
masyarakat lain. Gejala amuk massa bangsa Indonesia muncul justru setelah masyarakat
memperoleh kedaulatan sebagai negara merdeka. Ironisnya, tindakan amuk massa
tersebut ditujukan pada saudaranya sendiri sebangsa dan setanah air.
Setelah
negara ini diproklamasikan pada tahun 1945, Belanda sebagai negara kolonial baru
betul-betul angkat kaki dari wilayah RI pada tahun 1955. Sejak itu praktis
secara keamanan, bangsa ini harus bisa membereskan segala urusan tersebut
secara mandiri.
Setelah
melewati banyak gejolak politik pada era presiden Sukarno yang puncaknya adalah
peristiwa G 30 S, mentalitas amuk massa pertama dari masyarakat mendapat
momennya saat ditemukannya jenazah para jenderal TNI AD yang menjadi korban
gerakan tersebut. Kabar bahwa kaum kiri yang bertanggung jawab atas G 30 S memicu
kemarahan masyarakat pada mereka yang dianggap komunis.
Amuk
massa terjadi di beberapa wilayah Nusantara yang menjadi basis komunis. Mereka
beramai ramai mengeksekusi orang yang mereka anggap punya andil pada peristiwa
politik di Jakarta itu. Banyak yang dihabisi di depan keluarganya sendiri.
Sebagian kaum kiri yang selamat ditangkap dan dihukum tanpa proses pengadilan.
Sejak
itu, amuk massa selalu menjadi bagian dari pergolakan politik di negeri ini.
Dalam skala kecil, pernah terjadi amuk massa pribumi pada masyarakat minoritas
tionghoa pada awal tahun 1980’an di Surakarta yang merambat ke Semarang.
Kejadian tersebut berkembang menjadi isu kesenjangan sosial.
Kejatuhan
orde baru pada 1998 juga memicu amuk massa dengan terjadinya penjarahan dan
pembakaran toko-toko milik Tionghoa di Jakarta dan Surakarta. Belum lagi korban
moral yang tidak pernah diungkap.
Amuk
massa juga terjadi dalam skala kecil di beberapa wilayah yang didasari atas sentimen
reliji seperti perusakan dan pembakaran vihara di Tanjung Balai, Asahan,
Sumatera Utara, penganiayaan (dengan ditelanjangi) sampai meninggal jamaah Ahmadiyah
di Cikeusik, Banten, pengusiran jamaah ahmadiyah di Mataram, Nusa Tenggara
Barat, pengusiran jamaah syiah di Sampang, Madura, dan masih banyak lagi.
Dalam skala lebih kecil, amuk massa sering terjadi di perhelatan rakyat, seperti olah raga antar kampung atau pertunjukan musik (dangdut). Di situ sering terjadi pengeroyokan oleh sekelompok orang kepada satu atau dua orang hanya karena masalah sepele.
Kenapa
masyarakat kita sangat gampang dan juga tega menjadikan amuk massa sebagai
ajang untuk melampiaskan amarah?
Dalih Perbedaan Pandangan
Kembali
pada peristiwa pengeroyokan terhadap Ade Armando. Pasca kejadian itu, saat ini
muncul banyak dalih dari perbuatan pengecut tersebut.
Muncul
beberapa pernyataan di media sosial bahwasannya Ade seharusnya tidak di lokasi
demo yang mayoritas pesertanya berseberangan politik dengan dia, ada juga yang
menyalahkan keadilan di negara ini sehingga orang mudah marah, dan lain-lain.
Muncul
juga pembenaran bagi para pelaku bahwasannya Ade Armando perlu dianiaya karena sering
menjelek-jelekkan agama Islam, merusak persatuan negara, kritis pada lawan
politik, dan menjilat pada kekuasaan (pemerintah).
Apakah
orang yang berbeda secara pandangan politik, kritis terhadap keyakinannya
sendiri, atau mendukung pemerintah perlu dianiaya? Bagaimana jika yang dianiaya
itu adalah keluarga kita atau saudara kita?
Perlu
saya tekankan di sini, seandainya Ade Armando seorang kriminal residivis,
pembunuh berantai, atau penjahat pemerkosa sekalipun, pengadilannya tetap bukan
amuk massa. Bagi masyarakat beradab yang telah memiliki perangkat hukum, siapa
saja yang melakukan kesalahan, tempat untuk mempertanggung jawabkan
perbuatannya adalah lewat pengadilan, sekali lagi, bukan lewat amuk massa.
Jadi amuk massa yang terjadi terhadap suami Nina M. Armando tersebut patut disesalkan dan menjadi perhatian bagi banyak pihak.
Saat ini satu persatu pelaku pengeroyokan terhadap Ade Armando mulai ditangkap oleh polisi. Namun apakah itu akan mengurangi mental amuk massa? Kita semua tentu berharap seperti itu. Namun peristiwa itu tetap menyisakan keprihatinan karena nyatanya tindakan persekusi tersebut banyak mendapat dukungan di media sosial.
Kita
semua perlu merenung, apakah ada yang salah dalam masyarakat di sini sehingga
peristiwa keji dan pengecut seperti itu justru mendapat banyak simpati. [Benhil]