Baru-baru ini, Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendapat julukan Bapak Demokrasi. Tentu saja itu adalah sebuah julukan yang mengagumkan.
Namun
sayangnya, yang menjulukinya adalah anak buahnya sendiri di Partai Demokrat,
yakni Andi Mallaranggeng. Tidak tanggung-tanggung, pria yang menjabat sebagai Sekretaris
Majelis Tinggi Partai Demokrat (PD) tersebut bahkan memberi 3 julukan
sekaligus, yaitu Bapak Perdamaian, Bapak Demokrasi, dan Bapak Pembebasan Utang
IMF
"Sebenarnya
banyak dimensi-dimensi dari setiap Presiden. Kalau Pak SBY sendiri, kalau mau
dibilang Bapak Perdamaian bisa juga, kalau mau dibilang Bapak Demokrasi bisa
juga," ucap Andi Mallarangeng kepada awak media pada Minggu, 17 April 2022.
Sontak
pernyataan tersebut disambut geli oleh sebagian besar netizen. Hampir semua
komentar menganggap pernyataan mantan Menteri Pemuda dan Olah Raga (Menpora)
itu sebagai hal yang terlalu berlebihan.
Justru
yang netizen ingat dari SBY adalah presiden yang sering mengucap ‘Saya prihatin’,
kepala negara yang banyak meninggalkan proyek mangkrak (Wisma Atlet Hambalang, 34 proyek listrik, dan
lain-lain), dan kegemaran dia membuat album musik (sampai 5 album) tanpa ada
yang lagunya yang populer, dan lain-lain.
Bapak Kadrun Indonesia
Bahkan
ada seorang netizen yang mengingatkan kalau era kepemimpinan SBY adalah masa
keemasan politik identitas. Netizen atas nama Bala bushka tersebut berkomentar,
“BKI, Bapak Kadrun Indonesia. Jaman dia berkuasa, kadrun (FPI [Front Pembela
Islam], HTI [Hizbut Tahrir Indonesia], Wahabi, Khilafah, dll) pesta pora
anggaran dan dibiarkan merajalela.”
Faktanya
masa keemasan beberapa ormas (organisasi massa) radikal tersebut memang terjadi
pada masa ayah AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) tersebut menjadi presiden. Hal
itu diperkuat oleh pernyataan Muhammad Rahmad selaku juru bicara Partai
Demokrat kubu Moeldoko.
"Semasa
SBY menjadi Presiden, kita akui bahwa paham radikal tumbuh subur dan seakan
akan mendapat tempat di Indonesia. Efek negatifnya kita rasakan sekarang, di
mana intoleran berkembang, penyebaran hoax merajalela dan tuduhan-tuduhan dan
fitnah menjadi halal dan mudah sekali memutar balikkan fakta. Yang kasihan
adalah masyarakat luas yang disuguhi informasi yang menyesatkan," katanya kepada
awak media pada Senin, 29 Maret 2021.
Banyak
terjadi insiden intoleransi pada 10 tahun pemerintahan SBY, seperti saat aksi massa
beratribut FPI menyerang massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan (AKK-BB) di Monas pada tanggal 1 Juni 2008.
Selain
itu, banyak yang terkejut dengan sepak terjang Mantan Menpora dalam kabinet
Indonesia bersatu Jilid I (2004–2009), Adhyaksa Dault, ternyata adalah
pendukung dan pengusung gerakan khilafah di Indonesia.
“Tanpa
atau peran kita khilafah pasti berdiri. Cuman bagaimana kita ikut dalam proses
itu,” ucap mantan menteri SBY tersebut dengan lantang pada acara HTI di Gelora
Bung Karno pada tahun 2013 silam.
Saat
itu tidak ada pernyataan tegas dari SBY terkait dengan sikap anti nasionalis
dari mantan anak buahnya tersebut.
Kelemahan
era SBY menghadapi gerakan radikal juga dinyatakan oleh mantan petinggi
organisasi HTI, Ayik Heriansyah.
Ayik
menyatakan, ketidaktegasan SBY terhadap HTI dan organisasi sejenis lainnya
membuat beberapa ormas radikal leluasa menjalankan aktivitas politiknya.
“Saat
itu SBY masih ragu-ragu untuk menindak HTI. Sehingga HTI di bawah SBY ini
sebagaimana kita tahu, bahwa SBY ini sepertinya tidak akan membubarkan mereka,”
ucapnya pada acara Seruput Kopi pegiat sosial Eko Kuntadhi melalui Channel
YouTube CokroTV, Sabtu, 27 Maret 2021.
Dengan
memanfaatkan kelemahan SBY, Ayik menegaskan HTI dan FPI tidak menyia-nyiakan
kesempatan untuk terus menjalankan aktivitas organisasinya. Kelicinan ormas
radikal tersebut mampu masuk hampir ke semua lapisan masyarakat.
“Mereka
(HTI dan FPI) memanfaatkan peluang politik dan kebebasan berekspresi selama 10
tahun itu dengan menginfiltrasi segala lini, baik BUMN maupun swasta,” kata Ayik.
Sebenarnya
masih banyak insiden intoleran pada era SBY yang tidak diselesaikan dengan
tegas. Beberpa contoh tersebut cukup menjadi gambaran bagi kita semua agar bisa
menghargai kerja keras pemerintah saat ini untuk menumpas gerakan intoleran dan
radikalisme. [Benhil]