Kasus Korban Begal Jadi Tersangka yang dialami oleh Amaq Santi (34 tahun) yang terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat, menjadi satu lagi contoh kasus rapuhnya hukum di negeri ini.
Amaq
mengalami nasib naas dibegal oleh 4 orang pada Minggu, 10 April 2022 pukul
24.00 WITA. Beruntung, dia bisa menyelamatkan diri dengan cara melawan,
sehingga menewaskan 2 dari 4 pembegal tersebut. Namun kisahnya tidak berakhir
di situ.
Bapak
dua anak tersebut masih harus mempertanggungjawabkan perbuatannya karena
menghilangkan nyawa 2 orang, sehingga menjadi tersangka tindak kriminal. Pihak
kepolisian telah menjelaskan kalau tindak pindana yang dilakukan oleh Amaq
adalah membela diri sehingga meski menjadi tersangka, tapi dia tidak berstatus
terpidana.
Namun
kabar korban begal jadi tersangka telah terlanjur viral sehingga menyebabkan
keprihatinan banyak pihak.
Para
penegak hukum tentu tidak salah. Mereka menggunakan KUHP (Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana) sebagai pedoman untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka.
Pada
kasus Amaq tersebut, menurut KUHP, dia memang telah menghilangkan nyawa 2
orang, sedangkan alasan dia membunuh untuk membela diri selanjutnya dibahas di
bagian lain kitab tersebut.
Saya
berandai-andai, sekali lagi ini cuma berandai-andai. Jika peristiwa tersebut
terjadi di Amerika Serikat (AS), tentu kasus korban begal jadi tersangka itu
tidak akan pernah terjadi. Kenapa? Karena sistem hukum AS tidak berpedoman KUHP
atau tidak menggunakan sistem hukum Eropa kontinental (yang dianut oleh sistem
hukum negara kita).
AS
memakai sistem hukum Anglo Saxon, yaitu suatu sistem hukum yang didasarkan pada
yurispudensi. Yurispudensi adalah keputusan-keputusan hakim yang terdahulu digunakan
sebagai dasar putusan hakim-hakim selanjutnya.
Sistem
ini bagi orang sana dianggap lebih baik, agar hukum bisa selalu sesuai dengan
rasa keadilan dan manfaatnya bisa dirasakan langsung bagi masyarakat.
Pada
sistem hukum Anglo Saxon, keputusan pengadilan tidak berdasarkan KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana) tapi berdasarkan keputusan juri yang berjumlah 12
orang.
Melihat
kasus korban begal jadi tersangka yang dialami Amaq Santi tersebut, jika
menggunakan sistem Anglo Saxon, maka status Amaq tidak serta merta jadi
tersangka. Saat ditangkap aparat, dia masih punya hak praduga tidak bersalah.
Saat
di pengadilan, para juri dengan mudah bisa melihat permasalahannya dan
mengambil keputusan dengan cepat siapa yang patut disalahkan, sehingga kasusnya
tidak bakal berlarut-larut.
Selain
AS, sistem hukum Anglo Saxon juga dipakai oleh Inggris dan negara-negara
persemakmuran (Australia, Selandia Baru, Kanada, Irlandia, dan lain-lain).
Kelebihan dan Kekurangan Sistem Hukum AS
Sebagaimana
sistem hukum Eropa kontinental yang memiliki kelebihan dan kekurangan, sistem
hukum AS (Anglo Saxon) tersebut juga punya kelebihan dan kekurangan.
Kelebihannyanya
adalah tidak tertulis, memiliki sifat yang fleksibel, dan bisa menyesuaikan
perkembangan zaman dan masyarakat. Hukum yang berlaku adalah hukum tidak
tertulis atau common law.
Sedangkan
kelemahannya yaitu unsur kepastian kurang terjamin dengan baik karena dasar
hukum yang digunakan diambil dari hukum kebiasaan masyarakat atau hukum adat
yang tidak tertulis.
Kasus Lain yang Mirip Amaq Santi
Nyatanya,
kasus korban begal jadi tersangka ini bukan yang pertama kali terjadi di negeri
ini. Beberapa peristiwa serupa pernah terjadi sebelumnya.
Pada
2018, Mohamad Irfan Bahri (19) megalami pembegalan, yakni telepon genggamnya hendak
dirampas di Jembatan Summarecon, pada Selasa, 22 Mei 2018 malam. Pemuda asal Madura
tersebut memilih melawan dan menewaskan salah satu begal.
Kasus
tidak berhenti di situ, karena Bahri justru ditetapkan menjadi tersangka.
Saat
kasus ini viral, sebagaimana disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan RI, Mahfud MD di acara TV ILC (Indonesia Lawyer
Club), dia sampai minta tolong Presiden Joko Widodo untuk ikut membantu
menyelesaikan kasus tersebut. Kasus pun akhirnya bisa diselesaikan, dan Bahri
dinyatakan bebas.
Selain
pembegalan, juga ada kasus pelecehan yang memakan waktu tujuh tahun. Itu
dialami oleh Baiq Nuril Maknun, perempuan mantan guru honorarium di SMA Negeri
7 Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Kasus
yang terjadi pada tahun 2012 itu bermula saat Nuril yang merekam percakapan
mesum eks kepala sekolah yang menggodanya di tempat bekerja, H Muslim. Secara
kebetulan, percakapan tersebut diketahui banyak orang, sehingga menyebabkan
Muslim dimutasi kerja.
Pada
2017, Muslim tidak terima dan melaporkan Nuril dengan pasal penyebaran konten
pornografi. Ibu dua anak itu ditahan polisi dan menghadapi persidangan.
Di
Pengadilan Negeri Mataram, Nuril dinyatakan bebas. Tidak terima, jaksa lantas
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, yang menyatakan Nuril bersalah dan harus
menjalani hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta.
Pada
tahun 2019, Baiq Nuril meminta amnesti pada Presiden Joko Widodo.
Bisa
dibayangkan betapa lamanya perempuan tersebut berperkara (dari tahun 2012
sampai 2019). Setiap orang yang mengalami masalah hukum yang lama seperti itu
tentu akan terguncang jiwa dan raganya.
Bayangkan,
seandainya memakai sistem hukum Anglo Saxon, kasus Baiq Nuril itu tentu bisa
diselesaikan dengan proses persidangan yang akan memakan waktu hanya selama
beberapa minggu saja. Dua belas juri dengan gampang akan memutuskan siapa yang
bersalah. Dan yang sangat penting, korban tidak mengalami siksaan psikis karena
berperkara.
Tentu
saja kita semua hanya berharap agar kasus-kasus seperti itu tidak akan terjadi
lagi. [Benhil]