“Kenapa AHY [Agus Harimurti Yudhoyono] tidak mau meniti karir politik dari bawah seperti Gibran [Gibran Rakabuming Raka],” ucap Kurnia mencoba membuka diskusi politik.
Aku
dan Evi berpandangan sebentar. Kita bertiga adalah teman sejak SMA. Kebetulan
malam ini Evi bisa bergabung dengan kita.
Single parent tersebut punya waktu dua jam untuk ngobrol sembari menunggu
putri tunggalnya les mata pelajaran.
“Mungkin
AHY lebih fokus ke jenjang yang lebih tinggi, kepala daerah,” kata Evi
menimpali.
“Tapi
gagal di Jakarta. Dan sekarang dia mengincar kursi RI 2 atau bahkan RI 1,” ucap
Kurnia.
Evi
menoleh padaku. “Bagaimana menurutmu, Bro?”
Kurnia
menunggu pendapatku.
Aku
mulai dengan menunjukan berita AHY di media yang menyatakan, jalan pikiran
Jokowi enggak nyambung, rakyat susah malah tambah periode. Bukan AHY atau kader
Partai Demokrat (Roy Suryo) kalau tidak melontarkan pernyataan blunder.
Statement
mereka selalu dilontarkan terlebih dahulu, masalah benar atau tidak bisa
dikoreksi belakangan. Tentu saja itu menjadikan masyarakat tidak simpati
terhadap sepak terjang AHY dan orang-orang di partainya.
Jokowi
tidak pernah mewacanakan untuk memimpin tiga periode. Itu murni ide 3 menteri
dan hasil lembaga survey yang berulang kali ditolak presiden RI dengan alasan
menghormati konstitusi. Lalu kenapa yang dibidik oleh AHY hanya Jokowi semata,
bukan mereka yang punya ide presiden 3 periode?
Seharusnya
AHY sadar, manuver politik seperti itu sama sekali tidak menaikan
popularitasnya. Dia hanya dianggap tukang nyinyir pada pemerintah, tanpa pernah
menawarkan solusi secara santun.
Saat
ini nama calon presiden mengerucut pada tiga orang, Ganjar, Anis, dan Prabowo,
tidak ada nama AHY. Jika dia masih berambisi menjadi wakil presiden (wapres),
dia harus merangkul PPP, PKB, PKS, dan Golkar. Maharnya terlalu besar, karena
semua partai itu punya calon untuk wapres.
Kalaupun
semua koalisi partai itu menunjuk AHY jadi wapres, belum tentu dia bisa menjadi
mesin pendulang suara di Jawa. Dalam sejarah pemilu negeri ini, suara mayoritas
yang berada di Jawa (yang kebanyakan suku Jawa) tidak suka memilih calon yang
tidak punya rekam jejak pasti. Politikus karbitan dan aji mumpung pasti keok di
pulau padat penduduk ini, apalagi yang cuma mengandalkan pangkat terakhir mayor
tentara yang kebetulan anak mantan presiden yang rumahnya sangat besar di
Cikeas.
Kalau
AHY mau bekerja keras untuk meniti karier politik minimal 10 tahun, mungkin dia
bisa meraih menarik simpati dan mendulang suara lumayan di Jawa.
Evi
dan Kurnia mengangguk pertanda dia mengerti dengan pendapatku.
“Kembali
ke pertanyaan awal tadi, kenapa AHY tidak seperti Gibran atau menantu Presiden,
Bobby Nasution yang mengasah kemampuan politik dari bawah, yakni sebagai
walikota,” ujar Kurnia.
“Dan
mereka berhasil. Setidaknya mampu membangun simpati masyarakat sedikit demi
sedikit,” kata Evi.
“Betul.
Banyak yang simpati dengan strategi politik Gibran dan Bobby yang tidak instan.”
Aku
menambahkan, seandainya AHY mau mengasah politik dari bawah, misalnya menjadi
bupati Pacitan, yang notabene kota kelahiran ayahnya SBY (Susilo Bambang
Yudhoyono), tentu dia juga bisa menarik simpati lebih banyak masyarakat. Di
kota kecil itu klan Yudhoyono masih menjadi kebanggan warga.
Atau
kalau tetap ngotot menjadi kepala daerah, dia bisa mencalonkan diri untuk
menjadi gubernur di Jawa Tengah atau Jawa Timur. Dengan terjun sebagai
birokrat, orang bisa menilai sepak terjang di dalam mengambil kebijakan. Tidak
asal nyinyir pada pemerintah, sambil melakukan branding konyol, seperti olah raga dengan rompi anti peluru.
“Iya
juga. Tapi kenapa dia tidak meniti karier politik dari bawah?” kata Kurnia.
“Kita
semua tidak tahu, kata Evi. Karena kita cuma orang awam yang tidak paham politik,
termasuk intrik-intriknya,” kata Evi sambil bersiap menjemput putrinya. [Benhil]