“Jahe rempahnya satu, bro,” ucapku.
Malam
itu habis hujan. Saat yang tepat untuk menikmati minuman panas untuk menjaga
stamina. Aku mengambil pisang goreng yang masih hangat dan menggigit hampir
setengan bagian.
Kelebihan
warung nasi kucing milik Kurnia yang kupanggil bro tadi adalah dia menggoreng
langsung aneka makanan ringan seperti pisang, mendoan, tahu isi, bakwan dan
lain-lain. Jadi kebanyakan konsumen mendapat makanan hangat. Sedang di warung
sejenis lain, biasanya aneka gorengan itu adalah titipan yang digoreng tadi
siang.
Tiga
menit kemudian Kurnia menyodorkan minuman panas yang kupesan tadi. Aku langsung
meniup dan menyeruput pelan-pelan. Kurasakan tubuhku menghangat perlahan sebagai
efek dari jahe itu.
Mantan
sopir rental itu membukan usaha kulinernya kira-kira lima tahun yang lalu. Saat
itu usaha rental mobil juga terdampak dengan munculnya transportasi berbasis
aplikasi atau taksi online.
“Sudah
lama nggak ke sini kau?” kata Kurnia sambil melayani beberapa pembeli yang
mulai berdatangan. Pukul 9 lebih biasanya banyak yang datang ke warung nasi kucing
untuk menikmati makanan ringan setelah rasa kenyang makan malam hilang.
“Banyak
keluar kota.”
Kurnia
mengangguk paham dan melanjutkan kesibukannya.
Setelah
selesai dengan pesanan, dia duduk di dekatku sambil mengeluarkan telepon
genggamnya. Kita berdua tenggelam di layar telepon masing-masing untuk sementara.
Di
meja lain tiga pemuda berumur awal 20’an membicarakan penangkapan terduga
teroris baru-baru ini yang berprofesi sebagai dokter. Masing-masing punya
pandangan sendiri mengenai peristiwa itu. Ada yang pro dan kontra dengan
tindakan pihak keamanan.
Kurnia
melirik mereka sebentar, kemudian berbalik memandangku sambil mengangkat
bahunya sebentar, tanda tidak tertarik dengan debat tidak jelas itu.
“Kamu
tahu, Sur. Ada negara yang sangat ditakuti oleh teroris,” ucap Kurnia setengah
berbisik.
Aku
waspada sesaat dengan nada bicaranya yang terdengar sangat penting dan rahasia
itu. “Sebentar, sebelum kau teruskan ceritamu itu, tolong buatkan aku mie
instan rebus pake telur dan kornet. Tampaknya ceritamu itu akan seru,” kataku
untuk mencairkan suasana.
“Mie
rebus komplit berarti. Langsung aku buatkan.”
Dia
melompat ke arah kompor. Seorang pembeli datang dan memesan kopi. Kurnia
mengerjakan dua pesanan itu secara bersamaan. Tentu saja kopi selesai lebih
dulu.
“Jadi,
bagaimana awal mula ceritamu tadi?” ucapku sambil menelan dan menyeruput mie
rebus.
“Cerita
apa?” Kurnia lupa dengan kalimat yang tadi dilontarkannya. Mengingat sebentar
dan mengangguk sembari tersenyum. “Ooo, negara yang ditakuti teroris.”
“Lhaiya.”
“Sekitar
tahun 2008, aku pernah dapat job dari rental mobil untuk menjemput tamu dari
hotel di tengah kota dan diantar ke bandara. Kata orang kantor, tamu itu adalah
pihak keamanan.”
Aku
mengangguk tanda mengerti maksudnya.
“Aku
menguping pembicaraan tamu yang berjumlah tiga orang itu. Intinya mereka
membicarakan penangkapan para teroris bom Bali dan yang lainnya. Para teroris
yang ditangkap itu adalah anak buah dokter Azahari yang orang Malaysia itu.
Bayangkan, Sur. Orang Malaysia datang ke sini untuk jadi teroris. Kenapa tidak
meneror negaranya sendiri saja?”
“Mungkin
teman-temannya ada di sini,” jawabku sekenannya.
“Kurang
tepat, bro. Dia pasti takut dengan perlakuan negara Malaysia terhadap para
teroris.”
“Kenapa
begitu?”
Kurnia
mendekat ke arahku dan berbisik, “Saat pihak keamanan itu berbicara di mobil,
mereka bilang pada salah satu narapidana teroris yang kebetulan warga negara
Singapura. Mereka akan mengembalikan teroris itu ke negaranya. Lalu teroris itu
memohon ampun dan minta dimasukan ke penjara sini saja.”
Aku
terkesiap. Kurnia menunjukan mimik wajah penuh kemenangan atas keherananku.
“Jadi
negara Singapura memperlakukan para narapidana teroris itu lebih buruk dari
negara kita ya?” Tanyaku untuk lebih meyakinkan.
“Begitulah
yang kutangkap dari pembicaraan itu, Sur.” [Benhil]