Di suatu siang, saat rehat setelah makan siang. Andi mencoba membuka obrolan.
“Menteri
agama (menag) ini ngawur. Masak menyamakan adzan dengan gonggongan anjing,”
ujarnya dengan mimik datar pertanda dia bersiap untuk diskusi bukan mau menang
sendiri.
Aku
mengangguk dan tersenyum sebentar, bukan untuk menyetujui pendapatnya, tapi
mengetahui yang dia omongkan.
“Maaf,
kamu sudah melihat rekaman video Menag Yaqut bilang itu?” tanyaku bersiap untuk
mengembangkan pembicaraan jika diperlukan.
“Belum,”
jawabnya dengan santai.
Gubrakkk…
Dalam hati aku tertawa. Tapi aku hanya tersenyum dan menggeleng kepala.
“Sebenarnya
kalau dari susunan kalimatnya, Menag sama sekali tidak menyamakan adzan dengan
gonggongan anjing. Kalau melihat keseluruhan videonya tidak ada kalimat yang
menyamakan dua hal itu.
Andi
diam. Mungkin dia tidak tertarik meneruskan pembicaraan atau kecewa denganku
yang lagi-lagi tidak sejalan. Lalu kami berjalan bersama ke ruang kerja
masing-masing.
Diskusi
dengan Andi lumayan menyenangkan. Meskipun seringkali berbeda pandangan
politik, tapi setelah diskusi kita selalu bisa cair lagi.
Aku
salut dengan kejujurannya menyampaikan opini tentang Menag Yaqut menyamakan
adzan dengan gonggongan anjing tanpa melihat videonya. Berarti dia mengakui
kalau opininya bersifat terbuka, bisa benar atau salah. Padahal biasanya
kebanyakan masyarakat di sini (terutama yang aktif di media sosial/medsos atau
lazim disebut warganet) saat beropini, mereka tidak menguasai data tapi berani
berdebat keras.
Berikut
ini transkrip video Menag Yaqut yang dipelintir oleh banyak kalangan sebagai
pernyataan menyamakan adzan dengan gonggongan anjing;
“Soal
aturan adzan, kita sudah terbitkan surat edaran pengaturan. Kita tidak melarang
masjid-musala menggunakan Toa, tidak. Silakan. Karena kita tahu itu bagian dari
syiar agama Islam. Tetapi ini harus diatur, tentu saja. Diatur bagaimana volume
speaker, toanya tidak boleh kencang-kencang, 100 dB maksimal. Diatur kapan
mereka bisa mulai menggunakan speaker itu, sebelum azan dan setelah azan,
bagaimana menggunakan speaker di dalam dan seterusnya. Tidak ada pelarangan.
Aturan
ini dibuat semata-mata hanya untuk membuat masyarakat kita semakin harmonis.
Meningkatkan manfaat dan mengurangi mafsadat. Jadi menambah manfaat dan
mengurangi ketidakmanfaatan.
Karena
kita tahu, misalnya, ya di daerah yang mayoritas muslim. Hampir setiap 100
meter, 200 meter itu ada musala-masjid. *Bayangkan* kalau kemudian dalam waktu
bersamaan mereka semua menyalakan toa nya di atas, kayak apa. Itu bukan lagi
syiar, tapi menjadi gangguan buat sekitarnya.
Kita
*bayangkan* lagi, saya muslim, saya hidup di lingkungan nonmuslim. Kemudian
rumah ibadah saudara-saudara kita nonmuslim itu membunyikan toa sehari lima
kali dengan kenceng-kenceng secara bersamaan, itu rasanya bagaimana.
Yang
paling sederhana lagi, kalau kita hidup dalam satu kompleks, misalnya. Kiri,
kanan, depan belakang pelihara anjing semua. Misalnya, menggonggong dalam waktu
yang bersamaan, kita ini terganggu nggak? Artinya apa? Bahwa suara-suara ini,
apa pun suara itu, harus kita atur supaya tidak menjadi gangguan. Speaker di
musala-masjid silakan dipakai, tetapi tolong diatur agar tidak ada yang merasa
terganggu.
Agar
niat menggunakan toa menggunakan speaker sebagai sarana, wasilah untuk
melakukan syiar tetap bisa dilaksanakan, tanpa harus mengganggu mereka yang
mungkin tidak sama dengan keyakinan kita. Berbeda keyakinan kita harus tetap
hargai.”
Jadi
jelas kan, rangkaian kalimat di atas. Sama sekali tidak menyebut atau
menyamakan adzan dengan gonggongan anjing.
Titik Lelah Pasal Penistaan
Memang
terjadi pro dan kontra terhadap pernyataan menag tersebut, yang pada ujungnya
membuat Roy Suryo, politikus dari Parta Demokrat melaporkan menteri tentang
pasal penistaan. Pada akhirnya laporan Roy ditolak dan dia ganti dilaporkan
oleh salah satu ormas.
Publik
sebenarnya sudah lelah dengan manuver-manuver seperti ini. Para politikus
saling mengincar kesalahan dan saling menyerang kelengahan lawan. Layakya
sniper yang siap menembak ke arah musuh, dengan pelurunya berupa pasal penistaan.
Apapun
itu, pasal penistaan (baik agama, suku, ras, golongan, dan lain-lain) sering
dipakai untuk membidik orang-orang yang tidak sejalan dengan agenda politik.
Terutama orang-orang yang berpotensi mengganggu pendapatan sebagian orang.
Padahal
tuntut menuntut dengan pasal itu tidak berguna dan menghambat laju pembangunan
bangsa. Negara ini sudah banyak tertinggal, sekarang saatnya untuk mengejarnya.
Dari
pantauan penulis, warganet yang heboh dengan pernyataan menag tersebut hanyalah
di grup medsos daerah. Grup medsos nasional tidak begitu terpancing, baik di
kubu oposisi atau pemerintah.
Itu
masuk akal karena kalau isu gonggongan anjing itu menjadi bola panas yang pada
akhirnya dikipasi oleh oposisi dan skenario terburuknya mengakibatkan
penggantian menag, penggantinya juga belum tentu dari pihak oposisi, karena
yang punya wewenang mengganti menteri adalah presiden.
Dan
yang jauh lebih penting, sekali lagi, masyarakat sudah capek dengan tingkah
para politikus yang saling menjatuhkan dengan pasal penistaan. Sekarang bukan
saatnya saling menjegal, tapi saatnya membangun dan maju bersama. [Benhil]