Suatu
sore aku duduk sendiri menunggu hidangan di sebuah kafe. Tidak jauh dari situ
terdapat tiga orang berpenampilan pekerja kantor, dua cewek dan satu cowok.
Mereka berusia jelang 30’an.
Dari
pembicaraan, mereka tidak punya hubungan istimewa satu sama lain. Sesekali
mereka mengambil foto dari telepon pintar dan tertawa bersama-sama. Tampaknya
mereka teman alumni sekolah yang disatukan dengan grup WA (Whatsapp) dan sudah
janji untuk ketemu.
“Peluang
Ahok jadi gubernur di ibu kota baru kayaknya tipis,” ujar salah satu cewek
setelah menyeruput minumannya dan sedari tadi melihat ke layar teleponnya.
“Kenapa
emang?” Tanya yang cowok.
“Menurut
staff presiden Jokowi, yang akan memimpin ibu kota baru adalah seorang arsitek
dan bukan orang partai, Ahok tidak masuk kriteria itu,” ujarnya.
Cewek
yang lain mulai mengikuti pembicaraan dua temannya tapi tidak tertarik untuk
bergabung. Aku meliriknya sebentar dan menikmati cara dia menyibakan rambutnya
yang panjang.
“Pasti
banyak pendukung Ahok yang kecewa ya?” ucap si cowok sambil tersenyum.
Kedua
cewek diam.
“Ahok
itu bagus dalam memimpin, tapi mulutnya nggak bisa dijaga,” kata si cowok.
“Manusia
punya kelebihan dan kekuranganlah. Yang bagus memimpin dan visioner punya kekurangan
dalam menata kata. Begitu juga sebaliknya, yang pintar bicara tapi saat bekerja
hasilnya nol besar,” kata cewek berambut panjang.
Si
cowok mengangguk sebentar, lalu memilih menekuni teleponnya.
Aku
memandang si rambut panjang dan kami saling tersenyum pertanda dia tahu kalau
aku setuju pendapatnya.
Kemudia
ketiganya mengalihkan pembicaraan ke hal lain
Tidak
dapat dipungkiri, banyak masyarakat yang mengharapkan Ahok atau Basuki Tjahaja
Purnama didaulat memimpin Ibu Kota Negara Nusantara karena mengetahui sepak
terjang dan hasilnya saat memimpin Jakarta. Namun keputusan tentang siapa yang
akan memimpin tetap di tangan presiden.
Kepemimpinan Ali Sadikin
Tanpa
bermaksud membandingkan, Jakarta pernah dipimpin oleh gubernur yang memiliki
ketegasan seperti Ahok, yakni Ali Sadikin. Gubernur yang akrab disapa Bang Ali
itu berani mengambil langkah tidak populer.
Saat
dilantik oleh Presiden Soekano untuk memimpin Ibu Kota Jakarta, pria kelahiran
Sumedang 7 Juli 1927 itu menghadapi masalah komplek wilayah yang dia pimpin,
yakni kemiskinan, infrastruktur amburadul, ketertinggalan, dan masih banyak
lagi. Semua masalah itu tidak bisa diselesaikan dengan mengandalkan uang dari
kas daerah yang hanya Rp 66 juta.
Untuk
menggenjot pendapatan daerah, Ali Sadikin mengambil kebijakan kontroversial
yaitu melegalkan perjudian dan membuka prostitusi. Tentu saja kebijakan itu
menuai kecaman dari pihak-pihak tertentu.
Atas
kecaman-kecaman itu, pria yang berlatar sebagai Letnan Jenderal Angkatan Laut
Korps Komando Operasi (KKO/Marinir) itu hanya merespon dengan berkelakar bahwa
mereka yang menentang (judi dan pelacuran) diminta untuk beli helikopter saja.
Soalnya, semua jalanan di Jakarta berasal dari duit maksiat.
Berbekal
pajak judi, Ali Sadikin bisa memperindah ibu kota sebagai kota metropolitan.
Berbagai fasilitas yang dibangun dari uang pajak maksiat itu adalah Taman
Impian Jaya Ancol, Monumen Nasional (Monas), Taman Ismail Marzuki (TIM),
Jakarta Fair, dan Proyek Senen.
Saat
selesai bertugas, gubernur itu meninggalkan anggaran daerah sebesar Rp 116
Milyar. Jumlah yang fantastis untuk tahun 1977. Gebrakan-gebrakannya yang
ciamik itu membuat Bang Ali diingat sebagai gubernur terbaik yang pernah
memimpin Jakarta. [Benhil]