Sebelum membahas green steel (baja hijau), perlu diketahui latar belakang dari munculnya produk baja yang ramah lingkungan tersebut. Ternyata terciptanya metode logam berat ini berawal dari keprihatinan akan konsumsi masyarakat modern yang sudah membahayakan lingkungan.
Pada umumnya, baja adalah salah satu bahan bangunan paling penting di setiap proyek konstruksi modern. Logam ini bisa dibuat menjadi banyak jenis mulai dari turbin hingga peralatan makan karena memiliki sifat, antara lain berdaya tahan, umur panjang, kuat, dan serbaguna.
Temuan Brilian Green Steel
Namun, masalah muncul manakala dunia harus peduli dengan perubahan iklim. Proses produksi baja yang menggunakan batu bara telah menyumbang 7 sampai 10 persen dari total emisi karbon. Jumlah itu sama dengan 2 ton karbon dioksida atau dua kali lipat jumlah yang dihasilkan perjalanan seluruh pesawat udara.
Banyak perusahaan bereksperimen untuk mengurangi pencemaran itu, tapi semuanya berakhir dengan kegagalan. Hingga kemudian ditemukan metode brilian bernama green steel.
Dalam proses pembuatan baja tradisional, oksigen harus dikeluarkan dari bijih besi untuk membuat logam besi murni. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, prosesnya menggunakan batu bara atau gas alam, dan reaksi kimianya memproduksi karbon dioksida secara besar besaran..
Metode green steel menggunakan hidrogen sebagai pengganti batu bara. Selain itu, hidrogen bisa dibuat dari energi terbarukan yang menggantikan penggunaan bahan bakar fosil.
Nah, bahan bakar fosil sendiri juga merupakan masalah serius bagi umat manusia. Peradaban manusia memang baru 200 tahun mengeksploitasi bahan bakar ini. Namun peningkatan konsumsinya semakin tidak terkira. Para ahli menyatakan, dengan cara ekploitasi seperti sekarang ini, seluruh bahan bakar fosil akan habis pada tahun 2060. Bisa dibayangkan betapa kacaunya dunia apabila bahan bakar itu habis.
Jadi sudah pasti, penggunaan energi bersih saat memproduksi green steel akan sangat membantu dalam mengatasi perubahan iklim.
Aksi Liwa Supriyanti mendukung Green Steel
Metode brilian itu segera direspon positif oleh pengusaha industri baja yang sukses, Liwa Supriyanti. Direktur perusahaan baja nasional Gunung Prisma itu langsung mengaplikasikan metode itu untuk proses produksi usahanya.
“Meskipun produksi green steel masih penuh tantangannya, Gunung Prisma mengikuti dengan cermat kemajuan green steel. Karena itu perlahan menjadi pasar yang kompetitif dengan sendirinya di tahun-tahun mendatang,” ujar Liwa optimis.
Transisi dari produksi baja tradisional menjadi green steel membutuhkan proses dan waktu. Meskipun begitu, Liwa Supriyanti tetap berkomitmen untuk mengadopsi metode tersebut di perusahaannya karena menyadari klien dan konsumennya semakin sadar akan perubahan iklim.
Perempuan lulusan Universitas Parahyangan itu menyatakanm tetap setia pada komitmen hijau sehingga akan mempertahankan label perusahaan yang ramah pada perubahan iklim, baik di Indonesia atau di seluruh dunia.
“Kami akan menyesuaikan proses transformasi bersama pembuat baja dan klien kami,” kata perempuan yang telah berkecimpung di industri baja selama 20 tahun itu.
Dewasa ini, produsen begitu peduli dengan tindakan untuk mendekarbonisasi rantai pasokan mereka. Jadi hanya masalah waktu apabila permintaan green steel akan meningkat secara signifikan karena jumlah permintaan semakin banyak dan informasi keberadaannya semakin tersebar luas. Perusahaan besar seperti Mercedes-Benz, misalnya, telah mengumumkan komitmen mereka untuk meluncurkan baja ramah lingkungan yang akan digunakan sebagai bahan baku mobil produksi mereka pada tahun 2025.
Bukan Liwa Supriyanti kalau upayanya menjadi sia-sia. Agar program transformasi green steel mencapai hasil maksimal, dia mengajak para kliennya untuk juga mematuhi kebijakan itu dan mengaplikasikan pada sistem produksi mereka. []