Oleh Syaefudin Simon
“Ini tak biasa. Alumni UI mendukung alumni UGM,” kata Dr. Satrio Arismunandar, penulis dan wartawan, salah seorang panitia Deklarasi Alumni UI for Jokowi.
Ternyata, masyarakat menyemut di kawasan Gelora Bung Karno. Untuk mendukung Jokowi. Tak hanya alumni UI yang datang. Tapi juga alumni UGM, UNPAD, ITB, dan hampir semua PTN dan PTS di Jakarta. Bahkan para “pini sepuh” UI yang berusia 80-an tahun ikut meramaikan deklarasi tersebut.
“Persertanya 12 juta,” seloroh Henny Girarda, sahabatku yang aktivis Projo, bercanda. Sebuah canda bermakna ganda di Tugu Monas sana.
Seorang dokter alumnus UI, Sudibyo, yang datang deklarasi menyatakan: “Saya sebetulnya bukan pengagum Jokowi. Saya datang untuk membela kebenaran dan akal sehat. Dalam Pilpres 2019, semua itu berada pada Jokowi.”
Melihat gempita Deklarasi UI for Jokowi, tiba-tba pikiranku melayang ke peristiwa bersejarah lima tahun lalu. Usai pelantikan Jokowi, rakyat Jakarta arak-arakan menyambut presiden baru.
Sungguh sepanjang hidup saya, belum pernah ada penyambutan rakyat untuk presiden baru usai pelantikannya yang demikian meriah (20/10/2014) . Rakyat ‘menyemut’ mengiringi perjalanan Jokowi dari Senayan sampai Istana Merdeka.
Fenomena ini hanya mungkin terjadi karena rakyat merasa terwakili dan hadir dalam sosok Jokowi. Dalam kalimat, Bang Sabeni, warga Aren Jaya, Bekasi Timur, “Anak saya, rakyat kecil, sekarang bisa bercita-cita jadi presiden seperti Jokowi. Jika melihat presiden-presiden sebelumnya, cita-cita anak saya menjadi presiden hampir mustahil.”
Bang Sabeni benar! Pria kurus berwajah ndeso yang lahir dari keluarga wong cilik yang resmi jadi presiden itu adalah rakyat kecil. Jokowi adalah bagian dari mayoritas warga negara yang hidupnya susah. Lalu bekerja keras, berjuang dengan cucuran keringat untuk mengangkat nasibnya. Jokowi adalah cermin rakyat kecil yang sukses karena kerja keras, prihatin; percaya Tuhan selalu menolong orang yang bekerja dan berdoa.
Siapa sangka, anak kecil yang tinggal di gubug pinggir kali, yang pernah ketakutan dan menangis karena rumah gubugnya dibongkar “petugas” tanpa ganti rugi itu, kini menjadi orang nomor satu di negeri ini? Dalam film berjudul “Jokowi” tergambarkan, betapa kehidupan bocah lanang yang lahir dari pedagang bambu di Pasar Gilingan Solo itu benar-benar sangat sederhana.
Orang tuanya, Noto Mihardjo, hanya pedagang bambu dan penyerut kayu yang bekerja keras untuk sekadar bisa menghidupi keluarganya. Sering terjadi untuk makan sehari-hari dan biaya sekolah anaknya, dia terpaksa ngutang atau menjual barang apa saja yang bisa menghasilkan uang. Bahkan untuk membantu ekonomi orang tuanya, Jokowi kecil pun rela menjadi ojek payung di Pasar Gilingan. Hanya doa dan nasehat sang ibu, Sujiatmi, yang membuat Jokowi tenteram, tabah, dan tak putus asa menghadai sempitnya kehidupan.
Dari latar belakang kehidupan wong cilik seperti itulah Jokowi tumbuh. Kerja keras dan doa dari ayah dan ibunya agar kehidupannya “berubah” kemudian didengar Tuhan. Setapak demi setapak, ekonomi keluarga Nitimihardjo tumbuh. Jokowi pun bisa kuliah dan punya harapan merajut kehidupan yang lebih baik.
Lalu, kehidupan pun berjalan apa adanya. Mengalir tanpa bisa dibendung. Dan seperti kita semua ketahui, tanpa “kehendak Jokowi” tiba-tiba ada tokoh partai politik yang “melamar”nya menjadi wali kota Solo. Sukses di Solo, ada orang yang mengusungnya menjadi Gubernur DKI Jakarta. Baru setahun jadi gubernur, Ketua Umum PDIP, Megawati Sukarnoputri, menyalonkannya menjadi Presiden RI. Dan rakyat pun berbondong-bondong mendukungnya. Jutaan relawan mendukung kampanye untuk Jokowi dengan dana dan tenaganya masing-masing. Tanpa imbalan, tanpa pamrih. Ini adalah sebuah fenomena yang belum pernah terjadi dalam pilpres-pilpres sebelumnya. Tuhan sepertinya sedang menjukkan kekuasaanNya.
Jokowi – seperti diakuinya dalam wawancara denga harian Kompas, Senin (20/10/014) -- tak pernah berpikir akan jadi presiden di usia semuda itu. Bahkan mimpi pun tidak. Cita-cita saya, kata Jokowi, hanya ingin jadi pengusaha kayu.
“Saya ini anak tukang kayu dan cita-cita saya jadi pengusaha kayu,” katanya. Menjadi Wali Kota Surakarta tidak bermimpi, Gubernur DKI juga begitu, apalagi menjadi presiden, berpikir saja tidak, apalagi bercita-cita,” ungkapnya.
Tapi itulah garis tangan kehidupan anak manusia. Orang Jawa bilang, urip mung sak dermo nglakoni. Maksudnya: hidup itu hanya sekedar menjalani saja. Orang boleh punya cita-cita, tapi tetaplah yang menentukan Tuhan juga. Ini ajaran agama yang sangat esensial agar orang bisa menerima takdir. Menerima ketentuan Tuhan. Sebuah ajaran Jawa yang sederhana tapi mengandung nilai-nilai luhur.
Itulah sebabnya ketika pada musim kampanye Pilpres 2014 ada orang yang menjuluki Jokowi hanya calon presiden boneka, maka saya berpikir: Jokowi memang boneka. Boneka Allah.
Jika manusia percaya bahwa dirinya hanya “Boneka Allah” maka apa pun hasil dari usaha kerasnya untuk meraih cita-cita, itulah yang harus diterima dengan lapang dada. Urip mung sak dermo nglakoni.
Fenomena Jokowi jadi presiden, bagi orang Jawa memang khas njawani! Dalam mitologi Jawa, ada kisah munculnya “Satria Piningit” yang akan menjadi “Raja Jawa” yang adil dan merakyat. Konon, Satria Piningit yang “tersembunyi” dan lahir dari kalangan wong cilik yang tinggal di pinggir kali ini, berwajah ndeso dan sederhana. Siapakah dia, Jokowikah dia?
Sesepuh Jawa yang juga tokoh partai politik, Suhardiman, yakin bahwa Jokowi adalah Satria Piningit itu. Sukardi Rinakit, seorang intelektual yang njawani, menulis di harian Kompas bahwa Jokowi adalah Satria Piningit yang digambarkan Joyoboyo itu.
Rumah orang tuanya yang di pinggir kali, hidupnya yang sederhana, dan wajahnya yang ndeso, itulah pertanda Satria Piningit. Dan Satria Piningat punya tentara dan pendukung yang tak kelihatan.
Mungkin, dalam perspektif zaman internet, bala tentara dan pendukung yang tak kelihatan itu adalah “para relawan, sahabat dan simpatisan Jokowi” di dunia maya. Di media sosial seperti facebook, twitter, instagram, dan lain-lain, mereka secara sukarela mendukung Jokowi. Peran mereka dalam memenangkan Jokowi dalam Pilpres 2014 lalu pun amat besar. Betulkah itu?
Wallahu a’lam. Hanya Tuhan yang Tahu. Satu hal yang jelas, sebagai orang Jawa, Jokowi niscaya percaya bahwa urip mung sak dermo nglakoni. Jokowi mendapat mandat “Langit” untuk menjadikan nusantara sebagai negeri yang gemah ripah loh jinawi. Adil makmur kertoraharjo.
Bagi orang Jawa – seperti diyakini Jokowi – kekuasaan itu datang dari “Langit”. Tidak bisa dicari. Proses demokrasi boleh saja berlangsung, kampanye boleh saja menggebrak, tapi “wahyu kedaton” akan turun kepada siapa yang dikehendakiNya. Itulah sebabnya, ketika musim kampanye lagi ramai-ramainya, saat mana Jokowi dibully dan difitnah, ia hanya merespon dengan kalimat: ora opo-opo. Sebuah kalimat yang menunjukkan kepasrahan seorang manusia kepada Sang Maha Pencipta.
Dalam frase yang lain, kalimat ora opo opo mempunyai makna yang identik dengan Gusti Allah mboten sare (Tuhan tidak tidur). Arti dari semua itu, bahwa nasib seorang manusia adalah hak Tuhan. Mau dihujat, mau dihina, mau didiskreditkan, kalau Tuhan berkehendak yang lain, tak ada yang bisa menghalanginya. Fenomena Jokowi telah membuktikannya.
Pesta rakyat yang meriah di Jakarta dan berbagai kota di Indonesia menyambut Presiden Baru – kini mendukung untuk Presiden RI lima tahun mendatang -- memang fenomenal. Tapi masalah yang dihadapi Jokowi pun untuk “membenahi” Indonesia tak kalah fenomenal. Dari masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, dan agama – semuanya amat kompleks. Termasuk menghadapi fitnah dan hoax di luar nalar. Tapi semua itu, bagi Jokowi rapopo. “Fitnah dan hoax akan membakar para pembuat dan penyebarnya,” ujar Jokowi kalem. Pasrah.
Negara sebesar Indonesia dengan penduduk 275 juta lebih, memang memerlukan pemimpin yang berintegritas, mau bekerja keras, dan mendapat dukungan rakyat. Dan rakyat Indonesia kini punya harapan besar untuk merubah nasibnya melalui kepemimpinan Jokowi-Kalla.
Selamat Bekerja Presiden Wong Cilik! Kita rakyat kecil, selalu mendukungmu!
“Ini tak biasa. Alumni UI mendukung alumni UGM,” kata Dr. Satrio Arismunandar, penulis dan wartawan, salah seorang panitia Deklarasi Alumni UI for Jokowi.
Ternyata, masyarakat menyemut di kawasan Gelora Bung Karno. Untuk mendukung Jokowi. Tak hanya alumni UI yang datang. Tapi juga alumni UGM, UNPAD, ITB, dan hampir semua PTN dan PTS di Jakarta. Bahkan para “pini sepuh” UI yang berusia 80-an tahun ikut meramaikan deklarasi tersebut.
“Persertanya 12 juta,” seloroh Henny Girarda, sahabatku yang aktivis Projo, bercanda. Sebuah canda bermakna ganda di Tugu Monas sana.
Seorang dokter alumnus UI, Sudibyo, yang datang deklarasi menyatakan: “Saya sebetulnya bukan pengagum Jokowi. Saya datang untuk membela kebenaran dan akal sehat. Dalam Pilpres 2019, semua itu berada pada Jokowi.”
Melihat gempita Deklarasi UI for Jokowi, tiba-tba pikiranku melayang ke peristiwa bersejarah lima tahun lalu. Usai pelantikan Jokowi, rakyat Jakarta arak-arakan menyambut presiden baru.
Sungguh sepanjang hidup saya, belum pernah ada penyambutan rakyat untuk presiden baru usai pelantikannya yang demikian meriah (20/10/2014) . Rakyat ‘menyemut’ mengiringi perjalanan Jokowi dari Senayan sampai Istana Merdeka.
Fenomena ini hanya mungkin terjadi karena rakyat merasa terwakili dan hadir dalam sosok Jokowi. Dalam kalimat, Bang Sabeni, warga Aren Jaya, Bekasi Timur, “Anak saya, rakyat kecil, sekarang bisa bercita-cita jadi presiden seperti Jokowi. Jika melihat presiden-presiden sebelumnya, cita-cita anak saya menjadi presiden hampir mustahil.”
Bang Sabeni benar! Pria kurus berwajah ndeso yang lahir dari keluarga wong cilik yang resmi jadi presiden itu adalah rakyat kecil. Jokowi adalah bagian dari mayoritas warga negara yang hidupnya susah. Lalu bekerja keras, berjuang dengan cucuran keringat untuk mengangkat nasibnya. Jokowi adalah cermin rakyat kecil yang sukses karena kerja keras, prihatin; percaya Tuhan selalu menolong orang yang bekerja dan berdoa.
Itulah Jokowi. Itulah Kita
Siapa sangka, anak kecil yang tinggal di gubug pinggir kali, yang pernah ketakutan dan menangis karena rumah gubugnya dibongkar “petugas” tanpa ganti rugi itu, kini menjadi orang nomor satu di negeri ini? Dalam film berjudul “Jokowi” tergambarkan, betapa kehidupan bocah lanang yang lahir dari pedagang bambu di Pasar Gilingan Solo itu benar-benar sangat sederhana.
Orang tuanya, Noto Mihardjo, hanya pedagang bambu dan penyerut kayu yang bekerja keras untuk sekadar bisa menghidupi keluarganya. Sering terjadi untuk makan sehari-hari dan biaya sekolah anaknya, dia terpaksa ngutang atau menjual barang apa saja yang bisa menghasilkan uang. Bahkan untuk membantu ekonomi orang tuanya, Jokowi kecil pun rela menjadi ojek payung di Pasar Gilingan. Hanya doa dan nasehat sang ibu, Sujiatmi, yang membuat Jokowi tenteram, tabah, dan tak putus asa menghadai sempitnya kehidupan.
Dari latar belakang kehidupan wong cilik seperti itulah Jokowi tumbuh. Kerja keras dan doa dari ayah dan ibunya agar kehidupannya “berubah” kemudian didengar Tuhan. Setapak demi setapak, ekonomi keluarga Nitimihardjo tumbuh. Jokowi pun bisa kuliah dan punya harapan merajut kehidupan yang lebih baik.
Lalu, kehidupan pun berjalan apa adanya. Mengalir tanpa bisa dibendung. Dan seperti kita semua ketahui, tanpa “kehendak Jokowi” tiba-tiba ada tokoh partai politik yang “melamar”nya menjadi wali kota Solo. Sukses di Solo, ada orang yang mengusungnya menjadi Gubernur DKI Jakarta. Baru setahun jadi gubernur, Ketua Umum PDIP, Megawati Sukarnoputri, menyalonkannya menjadi Presiden RI. Dan rakyat pun berbondong-bondong mendukungnya. Jutaan relawan mendukung kampanye untuk Jokowi dengan dana dan tenaganya masing-masing. Tanpa imbalan, tanpa pamrih. Ini adalah sebuah fenomena yang belum pernah terjadi dalam pilpres-pilpres sebelumnya. Tuhan sepertinya sedang menjukkan kekuasaanNya.
Jokowi – seperti diakuinya dalam wawancara denga harian Kompas, Senin (20/10/014) -- tak pernah berpikir akan jadi presiden di usia semuda itu. Bahkan mimpi pun tidak. Cita-cita saya, kata Jokowi, hanya ingin jadi pengusaha kayu.
“Saya ini anak tukang kayu dan cita-cita saya jadi pengusaha kayu,” katanya. Menjadi Wali Kota Surakarta tidak bermimpi, Gubernur DKI juga begitu, apalagi menjadi presiden, berpikir saja tidak, apalagi bercita-cita,” ungkapnya.
Tapi itulah garis tangan kehidupan anak manusia. Orang Jawa bilang, urip mung sak dermo nglakoni. Maksudnya: hidup itu hanya sekedar menjalani saja. Orang boleh punya cita-cita, tapi tetaplah yang menentukan Tuhan juga. Ini ajaran agama yang sangat esensial agar orang bisa menerima takdir. Menerima ketentuan Tuhan. Sebuah ajaran Jawa yang sederhana tapi mengandung nilai-nilai luhur.
Itulah sebabnya ketika pada musim kampanye Pilpres 2014 ada orang yang menjuluki Jokowi hanya calon presiden boneka, maka saya berpikir: Jokowi memang boneka. Boneka Allah.
Jika manusia percaya bahwa dirinya hanya “Boneka Allah” maka apa pun hasil dari usaha kerasnya untuk meraih cita-cita, itulah yang harus diterima dengan lapang dada. Urip mung sak dermo nglakoni.
Fenomena Jokowi jadi presiden, bagi orang Jawa memang khas njawani! Dalam mitologi Jawa, ada kisah munculnya “Satria Piningit” yang akan menjadi “Raja Jawa” yang adil dan merakyat. Konon, Satria Piningit yang “tersembunyi” dan lahir dari kalangan wong cilik yang tinggal di pinggir kali ini, berwajah ndeso dan sederhana. Siapakah dia, Jokowikah dia?
Sesepuh Jawa yang juga tokoh partai politik, Suhardiman, yakin bahwa Jokowi adalah Satria Piningit itu. Sukardi Rinakit, seorang intelektual yang njawani, menulis di harian Kompas bahwa Jokowi adalah Satria Piningit yang digambarkan Joyoboyo itu.
Rumah orang tuanya yang di pinggir kali, hidupnya yang sederhana, dan wajahnya yang ndeso, itulah pertanda Satria Piningit. Dan Satria Piningat punya tentara dan pendukung yang tak kelihatan.
Mungkin, dalam perspektif zaman internet, bala tentara dan pendukung yang tak kelihatan itu adalah “para relawan, sahabat dan simpatisan Jokowi” di dunia maya. Di media sosial seperti facebook, twitter, instagram, dan lain-lain, mereka secara sukarela mendukung Jokowi. Peran mereka dalam memenangkan Jokowi dalam Pilpres 2014 lalu pun amat besar. Betulkah itu?
Wallahu a’lam. Hanya Tuhan yang Tahu. Satu hal yang jelas, sebagai orang Jawa, Jokowi niscaya percaya bahwa urip mung sak dermo nglakoni. Jokowi mendapat mandat “Langit” untuk menjadikan nusantara sebagai negeri yang gemah ripah loh jinawi. Adil makmur kertoraharjo.
Bagi orang Jawa – seperti diyakini Jokowi – kekuasaan itu datang dari “Langit”. Tidak bisa dicari. Proses demokrasi boleh saja berlangsung, kampanye boleh saja menggebrak, tapi “wahyu kedaton” akan turun kepada siapa yang dikehendakiNya. Itulah sebabnya, ketika musim kampanye lagi ramai-ramainya, saat mana Jokowi dibully dan difitnah, ia hanya merespon dengan kalimat: ora opo-opo. Sebuah kalimat yang menunjukkan kepasrahan seorang manusia kepada Sang Maha Pencipta.
Dalam frase yang lain, kalimat ora opo opo mempunyai makna yang identik dengan Gusti Allah mboten sare (Tuhan tidak tidur). Arti dari semua itu, bahwa nasib seorang manusia adalah hak Tuhan. Mau dihujat, mau dihina, mau didiskreditkan, kalau Tuhan berkehendak yang lain, tak ada yang bisa menghalanginya. Fenomena Jokowi telah membuktikannya.
Pesta rakyat yang meriah di Jakarta dan berbagai kota di Indonesia menyambut Presiden Baru – kini mendukung untuk Presiden RI lima tahun mendatang -- memang fenomenal. Tapi masalah yang dihadapi Jokowi pun untuk “membenahi” Indonesia tak kalah fenomenal. Dari masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, dan agama – semuanya amat kompleks. Termasuk menghadapi fitnah dan hoax di luar nalar. Tapi semua itu, bagi Jokowi rapopo. “Fitnah dan hoax akan membakar para pembuat dan penyebarnya,” ujar Jokowi kalem. Pasrah.
Negara sebesar Indonesia dengan penduduk 275 juta lebih, memang memerlukan pemimpin yang berintegritas, mau bekerja keras, dan mendapat dukungan rakyat. Dan rakyat Indonesia kini punya harapan besar untuk merubah nasibnya melalui kepemimpinan Jokowi-Kalla.
Selamat Bekerja Presiden Wong Cilik! Kita rakyat kecil, selalu mendukungmu!
Tags
Sosial Politik