Yudi Latif |
Jumat pagi, 23 Ramadhan 1439 Hijriah atau bertepatan 8 Juni 2018, publik antara lain disajikan kabar pengunduran diri Kepala Pelaksana Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudi Latif dari jabatannya.
Pengunduran dirinya disampaikan lewat akun media sosial, facebook, "Yudi Latif Dua", miliknya, selain segera menyebar di media sosial di berbagai grup WhatsApp.
Kabar pengunduran dirinya juga kebetulan bertepatan dengan tanggal kelahiran Presiden ke-2 RI Soeharto pada 8 Juni 1921.
Selain sebagai penguasa rezim Orde Baru selama 32 tahun, Soeharto juga sangat dikenal sebagai kepala negara yang menggelorakan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang diperkuat dengan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 dari hasil Sidang Umum MPR tanggal 22 Maret 1978.
Soeharto juga membentuk Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1979 tertanggal 26 Maret 1979. BP7 merupakan salah satu lembaga tinggi negara yang bertugas menjaga ideologi Pancasila. Dua pekan kemudian, pada 9 April 1979, Soeharto melantik Hari Suharto dan Harsojo, masing-masing sebagai Ketua dan Wakil Ketua BP7.
Sejak itulah, seolah tiada hari tanpa penataran P4 bagi warga negara, serta mencetak banyak manggala BP7. BP7 berfungsi merumuskan kebijaksanaan dan program nasional mengenai pendidikan pelaksanaan P-4 di masyarakat dan di lembaga pemerintah, menyelenggarakan pendidikan atau penataran pelaksanaan P-4 bagi calon-calon penatar yang diperlukan bagi masyarakat dan lembaga pemerintah, membina, mengawasi, dan mengoordinasi penyelenggaraan pendidikan atau penataran yang diselenggarakan oleh organisasi masyarakat dan lembaga pemerintah.
Reformasi datang, kegiatan P4 pun ditiadakan, BP7 dibubarkan.
Hingga tahun lalu, Presiden Jokowi membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP), lembaga nonstruktural yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 tertanggal 19 Mei 2017. Kemudian berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 31/M Tahun 2017 tentang Pengangkatan Pengarah dan Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila, Jokowi pada 7 Juni 2017 melantik Kepala UKP-PIP Yudi Latif dan sembilan pengarah UKP-PIP yakni Megawati Soekarnoputri, Try Sutrisno, Mahfud MD, Syafi'i Ma'arif, Ma'ruf Amin, Said Aqil Siradj, Andreas Anangguru Yewangoe, Wisnu Bawa Tenaya, dan Sudhamek AWS.
Dalam perkembangannya, Jokowi menandatangani Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) tertanggal 28 Februari 2018. BPIP sebagai penyempurnaan dari UKP-PIP. BPIP menjadi lembaga setingkat kementerian. Pada 22 Maret 2018, Presiden kembali melantik Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP, Try Sutrisno, Mahfud MD, Syafi'i Ma'arif, Ma'ruf Amin, Said Aqil Siradj, Andreas Anangguru Yewangoe, Wisnu Bawa Tenaya, dan Sudhamek AWS sebagai anggota Dewan Pengarah BPIP, dan Yudi Latif sebagai Kepala BPIP.
Namun tepat setahun setelah Yudi dilantik sebagai Kepala UKP-PIP dan baru sekitar tiga bulan menjalankan tugas sebagai Kepala BPIP, dia mengundurkan diri.
Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi ketika dikonfirmasi wartawan menyampaikan surat pengunduran diri kepada Presiden tertanggal 7 Juni, tetapi permintaan Yudi mulai 8 Juni 2018. Alasan pengunduran diri dalam surat yang diajukan Yudi adalah tingkat kesibukan yang lebih tinggi dari sebelum UKP-PIP menjadi BPIP yang setara dengan kementerian.
Saat dikonfirmasi wartawan, Johan Budi pada Jumat (8/6) pagi menyampaikan bahwa Presiden Jokowi belum menanggapi surat pengunduran diri Yudi itu.
Kuliah Saya mengenal Yudi Latif saat kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran. Pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, 26 Agustus 1964 itu dari jurusan Ilmu Penerangan angkatan 1985 sedangkan saya dari jurusan Ilmu Jurnalistik angkatan 1986. Dua jurusan lainnya saat itu adalah Ilmu Hubungan Masyarakat dan Ilmu Perpustakaan.
Saya dan Yudi pun bersebelahan dalam indekos di kawasan Sekeloa, Bandung. Tempat indekos kami hanya berjarak sekitar 200 meter dari Kampus Fikom Unpad Bandung.
Di kampus dan indekos, sehari-hari saya berinteraksi dengan Yudi.
Di kampus, misalnya, juga pernah satu kelas dalam mata kuliah Sistem Pers dan tugas kelompok bersama ketika berdua harus ke Kedutaan Besar Rusia dan Kedutaan Besar Thailand di Jakarta untuk mewawancarai petugas Kedubes dan mencari data soal sistem pers, sebagai perbandingan dengan sistem pers nasional di Indonesia. Di kampus juga kami pernah satu unit kegiatan di Gelanggang Seni Sastra, Teater, dan Film (GSSTF) Unpad.
Di indekos bisa saling keluar masuk kamar untuk berdiskusi dan berbicara soal keseharian kuliah serta membaca. Yudi mengoleksi berbagai buku ilmiah, selain serangkaian kitab-kitab Keislaman. Yudi juga menjadi teman diskusi bagi pembahasan skripsi dan tugas-tugas kuliah lainnya.
Pemikiran dan sikapnya bagi saya kerap dilatarbelakangi oleh berbagai rujukan ilmiah selain berdasarkan keyakinannya yang kuat terhadap nilai-nilai agama Islam. Bagi saya, dia sosok mahasiswa yang memiliki bobot tinggi sebagai cendekiawan yang religius. Yudi Latif juga dikenal sebagai aktivis kampus yang banyak memberikan pemikiran-pemikiran ilmiah dan aktual serta sebagai orator. Sebelum kuliah, Yudi pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Modern Gontor.
Yudi berasal dari campuran nahdliyin dan nasionalis, karena bapaknya, Utom Mulyadi, merupakan pegawai negeri, pengurus koperasi desa, dan guru dari kalangan kiai yang memiliki pondok pesantren di Sukabumi, aktif dalam organisasi NU di daerah asalnya. Ibunya, Yurtika, dari PNI (Partai Nasional Indonesia), penari dan penyanyi dari kalangan ningrat Sunda. Orang tuanya berpisah ketika Yudi masih kecil. Ibunya pindah ke Banten ke rumah orang tuanya, sedangkan ayahnya menikah lagi.
Yudi menikahi Linda Natalia Rahma, mantan Ratu Kebaya Jawa Barat. Keduanya dikaruniai empat putra-putri yakni Matahari Kesadaran, Cerlang Gemintang, Bening Aura Qalby, dan Binar Aliqa Semesta. Istrinya telah wafat dalam kecelakaan tunggal saat mengendarai mobilnya yang melintas di jalan tol JORR di KM 35+800 wilayah Ciracas, Jakarta Timur, pada Senin dinihari 25 Januari 2015, dalam perjalanan pulang ke rumah di Jalan Bunga Lilly, RT 02/001 No.18, Bintaro Veteran, Jakarta Selatan, setelah dari Tasikmalaya.
Yudi menyelesaikan kuliah dari Fikom Unpad pada tahun 1980 dengan skripsi soal Kebijakan Komunikasi Pemerintah Orde Baru di Indonesia. Kemudian beberapa tahun bekerja di Pusat Analisis Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sambil banyak menulis untuk berbagai surat kabar nasional, seperti Harian Kompas.
Tahun 1999, Yudi Latif lulus dari program pascasarjana Sosiologi Politik dari Australian National University tahun 1999 dengan gelar MA dan meneruskan untuk program doktoral dengan ilmu yang sama dari kampus yang sama hingga lulus tahun 2004 dengan meraih gelar Ph.D.
Benar saja, Yudi kembali ke Indonesia sebagai cendekiawan. Dia juga banyak menulis buku seperti Hegemoni Budaya dan Alternatif Media Tanding (Cultural Hegemony and Counter-Media Alternatives), MASIKA, Jakarta (1993), Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru (Language and Power: The Politics of Discourse in the New Order Period of Indonesia), Mizan, Bandung (1996), Masa Lalu yang Membunuh Masa Depan (The Past that Kills the Future), Mizan, Bandung (1999).
Selain itu juga Menuju Revolusi Demokratik: Mandat untuk Perubahan Indonesia (Towards a Democratic Revolution: Mandate for Indonesian Changes), Djambatan, Jakarta (2004), Muslim Inteligensia dan Kuasa (The Muslim Intelligentsia and Power in the 20th Century Indonesia), Mizan, Bandung (2005) yang diambil dari karya disertasinya.
Lalu buku Dialektika Islam: Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia, Jalasutra, Yogyakarta (2007), Indonesian Muslim Intelligentsia and Power, ISEAS, Singapore (2008), Negara Utama: Fundamen Rancangbangun Indonesia (2009), dan Sastra Menyemai Peradaban Bangsa, Kompas Publisher (2009).
Buku yang fenomenal dan menjadi karya "masterpiece" dari Yudi Latif adalah Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, Aktualitas Pancasila terbitan Gramedia Pustaka Utama tahun 2011. Buku itu menjadi buku pegangan bagi para mahasiswa dalam perkuliahan di kampus-kampus, juga menjadi salah satu buku rujukan di berbagai pendidikan jenjang kepemimpinan.
Ekonom Kwik Kian Gie mengomentari buku Negara Paripurna itu sebagai buku yang menunjukkan posisi dan kelas Yudi Latif sebagai intelektual-aktivis yang memiliki panggilan moral-intelektual tinggi untuk memantapkan Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia dengan pendekatan ilmiah. Buku ini akan menjadi karya klasik yang selalu bisa jadi rujukan siapa pun yang ingin mengenal dan mendalami jati diri bangsa Indonesia. Buku ini wajib dimiliki dan dibaca oleh para aktivis sosial, politikus, dan penyelenggara pemerintahan.
Dalam kesibukannya, Yudi Latif pun turut mendirikan Universitas Paramadina, dan pernah menjadi Wakil Rektor di perguruan tinggi itu. Yudi juga salah satu pendiri Yayasan Nurcholish Madjid. Selain itu juga mendirikan dan memimpin Reform Institute yang merupakan pusat kajian dan penelitian di bidang politik.
Yudi dikenal luas sebagai pengamat politik, wajahnya hampir setiap hari muncul di layar kaca berbagai stasiun televisi, menjadi pembicara di berbagai forum diskusi dan kajian tingkat nasional dan internasional, dan nama serta tulisannya menghiasi halaman-halaman pemberitaan dan artikel.
Sangat mendesak Saya meyakini bahwa latar belakang pengunduran diri Yudi Latif karena ada alasan tertentu yang sangat mendesak yang tidak bisa dia tolak kecuali memang harus dijalani. Memang Yudi tidak berterus terang memberikan alasan yang sesungguhnya dalam pernyataan pamit di media sosialnya. Ia hanya merasa perlu ada pemimpin-pemimpin baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan. Harus ada daun-daun yang gugur demi memberi kesempatan bagi tunas-tunas baru untuk bangkit.
Yudi menyatakan, sekarang, manakala proses transisi kelembagaan dari UKP-PIP ke BPIP hampir tuntas, adalah momentum yang tepat untuk penyegaran kepemimpinan.
Yudi mengakui bahwa segala kekurangan dan kesalahan lembaga ini selama setahun lamanya merupakan tanggung jawab dia selaku kepala. Yudi dengan segala kerendahan hati menghaturkan permohonan maaf pada seluruh rakyat Indonesia, atas pengunduran dirinya itu.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menilai perlu untuk segera mencari figur lain yang memiliki kapasitas setara atau minimal mendekati Yudi Latif sebagai Kepala BPIP yang baru. Menurut mantan Panglima TNI itu, semua orang tidak meragukan kapasitas Yudi Latif, untuk mengarusutamakan Pancasila sangat nyata karena Yudi memiliki latar belakang pemahaman Pancasila yang sangat mendalam.
"Dalam kebimbangan arah hidup, jalan terbaik pulang ke akar". Begitu kata-kata Yudi Latif sejak dulu yang pernah saya dengar dari dia. Kalimat itu menjadi sangat relevan untuk menggambarkan latar belakang pengunduran dirinya. Selamat berkarya di medan pengabdian baru, Kang Yudi. (Budi Setiawanto)
Pengunduran dirinya disampaikan lewat akun media sosial, facebook, "Yudi Latif Dua", miliknya, selain segera menyebar di media sosial di berbagai grup WhatsApp.
Kabar pengunduran dirinya juga kebetulan bertepatan dengan tanggal kelahiran Presiden ke-2 RI Soeharto pada 8 Juni 1921.
Selain sebagai penguasa rezim Orde Baru selama 32 tahun, Soeharto juga sangat dikenal sebagai kepala negara yang menggelorakan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang diperkuat dengan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 dari hasil Sidang Umum MPR tanggal 22 Maret 1978.
Soeharto juga membentuk Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1979 tertanggal 26 Maret 1979. BP7 merupakan salah satu lembaga tinggi negara yang bertugas menjaga ideologi Pancasila. Dua pekan kemudian, pada 9 April 1979, Soeharto melantik Hari Suharto dan Harsojo, masing-masing sebagai Ketua dan Wakil Ketua BP7.
Sejak itulah, seolah tiada hari tanpa penataran P4 bagi warga negara, serta mencetak banyak manggala BP7. BP7 berfungsi merumuskan kebijaksanaan dan program nasional mengenai pendidikan pelaksanaan P-4 di masyarakat dan di lembaga pemerintah, menyelenggarakan pendidikan atau penataran pelaksanaan P-4 bagi calon-calon penatar yang diperlukan bagi masyarakat dan lembaga pemerintah, membina, mengawasi, dan mengoordinasi penyelenggaraan pendidikan atau penataran yang diselenggarakan oleh organisasi masyarakat dan lembaga pemerintah.
Reformasi datang, kegiatan P4 pun ditiadakan, BP7 dibubarkan.
Hingga tahun lalu, Presiden Jokowi membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP), lembaga nonstruktural yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 tertanggal 19 Mei 2017. Kemudian berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 31/M Tahun 2017 tentang Pengangkatan Pengarah dan Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila, Jokowi pada 7 Juni 2017 melantik Kepala UKP-PIP Yudi Latif dan sembilan pengarah UKP-PIP yakni Megawati Soekarnoputri, Try Sutrisno, Mahfud MD, Syafi'i Ma'arif, Ma'ruf Amin, Said Aqil Siradj, Andreas Anangguru Yewangoe, Wisnu Bawa Tenaya, dan Sudhamek AWS.
Dalam perkembangannya, Jokowi menandatangani Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) tertanggal 28 Februari 2018. BPIP sebagai penyempurnaan dari UKP-PIP. BPIP menjadi lembaga setingkat kementerian. Pada 22 Maret 2018, Presiden kembali melantik Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP, Try Sutrisno, Mahfud MD, Syafi'i Ma'arif, Ma'ruf Amin, Said Aqil Siradj, Andreas Anangguru Yewangoe, Wisnu Bawa Tenaya, dan Sudhamek AWS sebagai anggota Dewan Pengarah BPIP, dan Yudi Latif sebagai Kepala BPIP.
Namun tepat setahun setelah Yudi dilantik sebagai Kepala UKP-PIP dan baru sekitar tiga bulan menjalankan tugas sebagai Kepala BPIP, dia mengundurkan diri.
Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi ketika dikonfirmasi wartawan menyampaikan surat pengunduran diri kepada Presiden tertanggal 7 Juni, tetapi permintaan Yudi mulai 8 Juni 2018. Alasan pengunduran diri dalam surat yang diajukan Yudi adalah tingkat kesibukan yang lebih tinggi dari sebelum UKP-PIP menjadi BPIP yang setara dengan kementerian.
Saat dikonfirmasi wartawan, Johan Budi pada Jumat (8/6) pagi menyampaikan bahwa Presiden Jokowi belum menanggapi surat pengunduran diri Yudi itu.
Kuliah Saya mengenal Yudi Latif saat kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran. Pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, 26 Agustus 1964 itu dari jurusan Ilmu Penerangan angkatan 1985 sedangkan saya dari jurusan Ilmu Jurnalistik angkatan 1986. Dua jurusan lainnya saat itu adalah Ilmu Hubungan Masyarakat dan Ilmu Perpustakaan.
Saya dan Yudi pun bersebelahan dalam indekos di kawasan Sekeloa, Bandung. Tempat indekos kami hanya berjarak sekitar 200 meter dari Kampus Fikom Unpad Bandung.
Di kampus dan indekos, sehari-hari saya berinteraksi dengan Yudi.
Di kampus, misalnya, juga pernah satu kelas dalam mata kuliah Sistem Pers dan tugas kelompok bersama ketika berdua harus ke Kedutaan Besar Rusia dan Kedutaan Besar Thailand di Jakarta untuk mewawancarai petugas Kedubes dan mencari data soal sistem pers, sebagai perbandingan dengan sistem pers nasional di Indonesia. Di kampus juga kami pernah satu unit kegiatan di Gelanggang Seni Sastra, Teater, dan Film (GSSTF) Unpad.
Di indekos bisa saling keluar masuk kamar untuk berdiskusi dan berbicara soal keseharian kuliah serta membaca. Yudi mengoleksi berbagai buku ilmiah, selain serangkaian kitab-kitab Keislaman. Yudi juga menjadi teman diskusi bagi pembahasan skripsi dan tugas-tugas kuliah lainnya.
Pemikiran dan sikapnya bagi saya kerap dilatarbelakangi oleh berbagai rujukan ilmiah selain berdasarkan keyakinannya yang kuat terhadap nilai-nilai agama Islam. Bagi saya, dia sosok mahasiswa yang memiliki bobot tinggi sebagai cendekiawan yang religius. Yudi Latif juga dikenal sebagai aktivis kampus yang banyak memberikan pemikiran-pemikiran ilmiah dan aktual serta sebagai orator. Sebelum kuliah, Yudi pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Modern Gontor.
Yudi berasal dari campuran nahdliyin dan nasionalis, karena bapaknya, Utom Mulyadi, merupakan pegawai negeri, pengurus koperasi desa, dan guru dari kalangan kiai yang memiliki pondok pesantren di Sukabumi, aktif dalam organisasi NU di daerah asalnya. Ibunya, Yurtika, dari PNI (Partai Nasional Indonesia), penari dan penyanyi dari kalangan ningrat Sunda. Orang tuanya berpisah ketika Yudi masih kecil. Ibunya pindah ke Banten ke rumah orang tuanya, sedangkan ayahnya menikah lagi.
Yudi menikahi Linda Natalia Rahma, mantan Ratu Kebaya Jawa Barat. Keduanya dikaruniai empat putra-putri yakni Matahari Kesadaran, Cerlang Gemintang, Bening Aura Qalby, dan Binar Aliqa Semesta. Istrinya telah wafat dalam kecelakaan tunggal saat mengendarai mobilnya yang melintas di jalan tol JORR di KM 35+800 wilayah Ciracas, Jakarta Timur, pada Senin dinihari 25 Januari 2015, dalam perjalanan pulang ke rumah di Jalan Bunga Lilly, RT 02/001 No.18, Bintaro Veteran, Jakarta Selatan, setelah dari Tasikmalaya.
Yudi menyelesaikan kuliah dari Fikom Unpad pada tahun 1980 dengan skripsi soal Kebijakan Komunikasi Pemerintah Orde Baru di Indonesia. Kemudian beberapa tahun bekerja di Pusat Analisis Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sambil banyak menulis untuk berbagai surat kabar nasional, seperti Harian Kompas.
Tahun 1999, Yudi Latif lulus dari program pascasarjana Sosiologi Politik dari Australian National University tahun 1999 dengan gelar MA dan meneruskan untuk program doktoral dengan ilmu yang sama dari kampus yang sama hingga lulus tahun 2004 dengan meraih gelar Ph.D.
Benar saja, Yudi kembali ke Indonesia sebagai cendekiawan. Dia juga banyak menulis buku seperti Hegemoni Budaya dan Alternatif Media Tanding (Cultural Hegemony and Counter-Media Alternatives), MASIKA, Jakarta (1993), Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru (Language and Power: The Politics of Discourse in the New Order Period of Indonesia), Mizan, Bandung (1996), Masa Lalu yang Membunuh Masa Depan (The Past that Kills the Future), Mizan, Bandung (1999).
Selain itu juga Menuju Revolusi Demokratik: Mandat untuk Perubahan Indonesia (Towards a Democratic Revolution: Mandate for Indonesian Changes), Djambatan, Jakarta (2004), Muslim Inteligensia dan Kuasa (The Muslim Intelligentsia and Power in the 20th Century Indonesia), Mizan, Bandung (2005) yang diambil dari karya disertasinya.
Lalu buku Dialektika Islam: Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia, Jalasutra, Yogyakarta (2007), Indonesian Muslim Intelligentsia and Power, ISEAS, Singapore (2008), Negara Utama: Fundamen Rancangbangun Indonesia (2009), dan Sastra Menyemai Peradaban Bangsa, Kompas Publisher (2009).
Buku yang fenomenal dan menjadi karya "masterpiece" dari Yudi Latif adalah Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, Aktualitas Pancasila terbitan Gramedia Pustaka Utama tahun 2011. Buku itu menjadi buku pegangan bagi para mahasiswa dalam perkuliahan di kampus-kampus, juga menjadi salah satu buku rujukan di berbagai pendidikan jenjang kepemimpinan.
Ekonom Kwik Kian Gie mengomentari buku Negara Paripurna itu sebagai buku yang menunjukkan posisi dan kelas Yudi Latif sebagai intelektual-aktivis yang memiliki panggilan moral-intelektual tinggi untuk memantapkan Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia dengan pendekatan ilmiah. Buku ini akan menjadi karya klasik yang selalu bisa jadi rujukan siapa pun yang ingin mengenal dan mendalami jati diri bangsa Indonesia. Buku ini wajib dimiliki dan dibaca oleh para aktivis sosial, politikus, dan penyelenggara pemerintahan.
Dalam kesibukannya, Yudi Latif pun turut mendirikan Universitas Paramadina, dan pernah menjadi Wakil Rektor di perguruan tinggi itu. Yudi juga salah satu pendiri Yayasan Nurcholish Madjid. Selain itu juga mendirikan dan memimpin Reform Institute yang merupakan pusat kajian dan penelitian di bidang politik.
Yudi dikenal luas sebagai pengamat politik, wajahnya hampir setiap hari muncul di layar kaca berbagai stasiun televisi, menjadi pembicara di berbagai forum diskusi dan kajian tingkat nasional dan internasional, dan nama serta tulisannya menghiasi halaman-halaman pemberitaan dan artikel.
Sangat mendesak Saya meyakini bahwa latar belakang pengunduran diri Yudi Latif karena ada alasan tertentu yang sangat mendesak yang tidak bisa dia tolak kecuali memang harus dijalani. Memang Yudi tidak berterus terang memberikan alasan yang sesungguhnya dalam pernyataan pamit di media sosialnya. Ia hanya merasa perlu ada pemimpin-pemimpin baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan. Harus ada daun-daun yang gugur demi memberi kesempatan bagi tunas-tunas baru untuk bangkit.
Yudi menyatakan, sekarang, manakala proses transisi kelembagaan dari UKP-PIP ke BPIP hampir tuntas, adalah momentum yang tepat untuk penyegaran kepemimpinan.
Yudi mengakui bahwa segala kekurangan dan kesalahan lembaga ini selama setahun lamanya merupakan tanggung jawab dia selaku kepala. Yudi dengan segala kerendahan hati menghaturkan permohonan maaf pada seluruh rakyat Indonesia, atas pengunduran dirinya itu.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menilai perlu untuk segera mencari figur lain yang memiliki kapasitas setara atau minimal mendekati Yudi Latif sebagai Kepala BPIP yang baru. Menurut mantan Panglima TNI itu, semua orang tidak meragukan kapasitas Yudi Latif, untuk mengarusutamakan Pancasila sangat nyata karena Yudi memiliki latar belakang pemahaman Pancasila yang sangat mendalam.
"Dalam kebimbangan arah hidup, jalan terbaik pulang ke akar". Begitu kata-kata Yudi Latif sejak dulu yang pernah saya dengar dari dia. Kalimat itu menjadi sangat relevan untuk menggambarkan latar belakang pengunduran dirinya. Selamat berkarya di medan pengabdian baru, Kang Yudi. (Budi Setiawanto)