Jakarta, 26/4 (Benhil) - Polemik seputar utang negeri ini kepada pihak asing sebenarnya hal wajar, namun memolitisasi masalah tersebut tampaknya perlu arif dan mengingat kembali sejarah asal muasal persoalan tersebut.
Persoalan utang luar negeri adalah sebuah kenyataan dan merupakan warisan, bahkan sebelum Republik ini merdeka pada 17 Agustus 1945, sehingga sudah menjadi bagian dari sejarah yang tetap relevan hingga kini.
Dari sebuah hasil karya tulis ilmiah yang terkumpul dalam portal repistory UGM (Universitas Gadjah Mada), diperoleh informasi bahwa sejarah utang luar negeri Indonesia sudah dimulai sejak penyerahan kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Salah satu isi keputusannya menyebutkan bahwa utang sebesar 4 miliar dolar AS yang ditinggalkan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menjadi tanggung jawab pemerintah Indonesia.
Meskipun utang tersebut tidak pernah dibayar pada era kepemimpinan Presiden Soekarno, namun juga tidak dinyatakan dihapus, lalu diwariskan dan menjadi tanggung jawab yang harus dibayar dan dilunasi oleh pemerintah era kepemimpinan Presiden Soeharto.
Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno-Hatta ketat, selektif dan berhati-hati dalam menerima tawaran utang dari negara lain.
Semangat kemerdekaan yang masih kental menjadi sikap antisipatif terhadap bentuk-bentuk penjajahan baru melalui pemberian bantuan dan utang. Di sisi lain, sebagai negara yang baru saja merdeka Indonesia membutuhkan perkuatan modal untuk membangun infrastruktur, peningkatan kapasitas produksi minyak, dan lain lain.
Pada akhir masa kepemimpinan Presiden Soekarno, pemerintah memiliki utang luar negeri sebesar 6,3 miliar dolar AS. Pemerintah dimasa Presiden Soeharto bersikap lebih lunak terhadap bantuan dan utang luar negeri.
Hal ini ditandai dengan kembali masuknya Indonesia sebagai anggota Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank), juga ditandatanganinya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang isinya bersifat terbuka bagi masuknya modal dari negara asing.
Pergantian Presiden selanjutnya pada era Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga sekarang era Presiden Jokowi, persoalan utang luar negeri tetap ada. Presiden berganti, tetap utang.
Presiden Jokowi pada 6 April lalu antara lain menyatakan bahwa saat dia dilantik pada 20 Oktober 2014, utang luar negeri sudah Rp2.700 triliun, dengan bunga setiap tahun Rp250 triliun.
Kini, dalam usia Republik Indonesia yang ke-73 tahun pada 2018, Bank Indonesia pada 16 April lalu mengeluarkan pernyataan resmi bahwa utang luar negeri swasta, pemerintah dan bank sentral naik 9,5 persen (tahun ke tahun/yoy) menjadi 356,2 miliar Dolar AS (setara sekitar Rp4.800 triliun dengan kurs Rp13.700 per Dolar AS) pada Februari 2018.
Komposisi utang tersebut terdiri atas utang pemerintah dan bank sentral sebesar 181,4 miliar Dolar AS dan utang swasta sebesar 174,8 miliar Dolar AS.
Sementara menurut catatan Kementerian Keuangan, komposisi posisi utang pemerintah pada akhir Februari 2018 mencapai Rp4.034,8 triliun dengan rasio utang 29,2 persen per Produk Domestik Bruto (PDB). Komposisi utang pemerintah tersebut terdiri atas surat berharga negara (SBN) Rp3.257,26 triliun (80,73 persen) dan pinjaman Rp777,54 triliun (19 persen).
Nah, besaran utang itulah yang disoroti sejumlah kalangan yang kritis terhadap pemerintah, bahkan menjadi bahan politisasi. Kemampuan Membayar Kementerian Keuangan memastikan bahwa kemampuan pemerintah untuk membayar utang masih kuat, apalagi rasio utang terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) berada pada kisaran 29,24 persen.
Rasio utang ini masih lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara yang memiliki tingkat ekonomi setara, seperti Vietnam sebesar 63,4 persen, Thailand 41,8 persen, Malaysia 52,7 persen, dan Brasil 81,2 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat mengeluarkan pernyataan tertulis pada 23 Maret lalu seputar polemik utang luar negeri ini.
Menteri Terbaik Sedunia versi World Government Summit (WGS) dan Menteri Keuangan Terbaik se-Asia Pasifik versi majalah keuangan internasional FinanceAsia itu menekankan bahwa sangat penting untuk mendudukkan masalah utang ini secara proporsional agar masyarakat maupun elite politik tidak terjangkit histeria dan kekhawatiran berlebihan yang menyebabkan kondisi masyarakat menjadi tidak produktif.
"Kecuali kalau memang tujuan mereka yang selalu menyoroti masalah utang adalah untuk membuat masyarakat resah, ketakutan dan menjadi panik, serta untuk kepentingan politik tertentu," katanya.
Direktur Pelaksana Bank Dunia periode 2010-2016 itu menegaskan upaya politik destruktif untuk menakut-nakuti masyarakat sungguh tidak sesuai dengan semangat demokrasi yang baik dan membangun. Penggunaan utang pemerintah sudah dilakukan dengan hati-hati sesuai dengan pengelolaan APBN yang selama ini berlaku. Bagi mereka yang menganjurkan agar pemerintah berhati-hati dalam menggunakan instrumen utang, maka anjuran itu sudah sangat sejalan dengan yang dilakukan pemerintah.
Penggunaan utang merupakan bagian dari pengelolaan APBN yang dilakukan secara bertahap dan hati-hati agar perekonomian tidak mengalami kejutan dan mesin ekonomi menjadi melambat.
Penggunaan utang bersama dengan pajak merupakan instrumen kebijakan fiskal yang dimanfaatkan pemerintah untuk memperbaiki sarana infrastruktur, pendidikan, kesehatan maupun jaminan sosial.
Menteri Keuangan juga memastikan pengelolaan utang saat ini belum terlalu mengkhawatirkan karena masih dikendalikan jauh di bawah ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Oleh karena itu, hanya menyoroti instrumen utang tanpa melihat konteks besar dan upaya arah kebijakan pemerintahan jelas memberikan kualitas analisis dan masukan tidak lengkap dan bahkan dapat menyesatkan.
Bank Dunia juga menilai rasio utang pemerintah Indonesia saat ini masih rendah dibandingkan dengan negara-negara dengan tingkat ekonomi maju maupun berpendapatan menengah. Rasio utang pemerintah Indonesia yang berada pada kisaran 29 persen terhadap PDB ini juga didukung oleh pengelolaan yang baik sehingga tidak rentan dengan risiko fiskal.
Indonesia telah memiliki kebijakan fiskal yang "prudent" sehingga pengelolaan utang masih terjaga dalam tingkat yang rendah. Tidak ada kekhawatiran yang berlebihan mengenai kondisi utang pemerintah Indonesia yang bisa mengganggu kinerja perekonomian dalam jangka menengah panjang.
Jadi utang luar negeri selalu menemani perjalanan bangsa ini, terpenting adalah pengelolaannya agar membawa kemajuan bangsa dan kesejahteraan seluruh rakyat serta tetap terkendali untuk dibayar dan dilunasi. (Budi Setiawanto)
Persoalan utang luar negeri adalah sebuah kenyataan dan merupakan warisan, bahkan sebelum Republik ini merdeka pada 17 Agustus 1945, sehingga sudah menjadi bagian dari sejarah yang tetap relevan hingga kini.
Dari sebuah hasil karya tulis ilmiah yang terkumpul dalam portal repistory UGM (Universitas Gadjah Mada), diperoleh informasi bahwa sejarah utang luar negeri Indonesia sudah dimulai sejak penyerahan kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Salah satu isi keputusannya menyebutkan bahwa utang sebesar 4 miliar dolar AS yang ditinggalkan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menjadi tanggung jawab pemerintah Indonesia.
Meskipun utang tersebut tidak pernah dibayar pada era kepemimpinan Presiden Soekarno, namun juga tidak dinyatakan dihapus, lalu diwariskan dan menjadi tanggung jawab yang harus dibayar dan dilunasi oleh pemerintah era kepemimpinan Presiden Soeharto.
Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno-Hatta ketat, selektif dan berhati-hati dalam menerima tawaran utang dari negara lain.
Semangat kemerdekaan yang masih kental menjadi sikap antisipatif terhadap bentuk-bentuk penjajahan baru melalui pemberian bantuan dan utang. Di sisi lain, sebagai negara yang baru saja merdeka Indonesia membutuhkan perkuatan modal untuk membangun infrastruktur, peningkatan kapasitas produksi minyak, dan lain lain.
Pada akhir masa kepemimpinan Presiden Soekarno, pemerintah memiliki utang luar negeri sebesar 6,3 miliar dolar AS. Pemerintah dimasa Presiden Soeharto bersikap lebih lunak terhadap bantuan dan utang luar negeri.
Hal ini ditandai dengan kembali masuknya Indonesia sebagai anggota Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank), juga ditandatanganinya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang isinya bersifat terbuka bagi masuknya modal dari negara asing.
Pergantian Presiden selanjutnya pada era Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga sekarang era Presiden Jokowi, persoalan utang luar negeri tetap ada. Presiden berganti, tetap utang.
Presiden Jokowi pada 6 April lalu antara lain menyatakan bahwa saat dia dilantik pada 20 Oktober 2014, utang luar negeri sudah Rp2.700 triliun, dengan bunga setiap tahun Rp250 triliun.
Kini, dalam usia Republik Indonesia yang ke-73 tahun pada 2018, Bank Indonesia pada 16 April lalu mengeluarkan pernyataan resmi bahwa utang luar negeri swasta, pemerintah dan bank sentral naik 9,5 persen (tahun ke tahun/yoy) menjadi 356,2 miliar Dolar AS (setara sekitar Rp4.800 triliun dengan kurs Rp13.700 per Dolar AS) pada Februari 2018.
Komposisi utang tersebut terdiri atas utang pemerintah dan bank sentral sebesar 181,4 miliar Dolar AS dan utang swasta sebesar 174,8 miliar Dolar AS.
Sementara menurut catatan Kementerian Keuangan, komposisi posisi utang pemerintah pada akhir Februari 2018 mencapai Rp4.034,8 triliun dengan rasio utang 29,2 persen per Produk Domestik Bruto (PDB). Komposisi utang pemerintah tersebut terdiri atas surat berharga negara (SBN) Rp3.257,26 triliun (80,73 persen) dan pinjaman Rp777,54 triliun (19 persen).
Nah, besaran utang itulah yang disoroti sejumlah kalangan yang kritis terhadap pemerintah, bahkan menjadi bahan politisasi. Kemampuan Membayar Kementerian Keuangan memastikan bahwa kemampuan pemerintah untuk membayar utang masih kuat, apalagi rasio utang terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) berada pada kisaran 29,24 persen.
Rasio utang ini masih lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara yang memiliki tingkat ekonomi setara, seperti Vietnam sebesar 63,4 persen, Thailand 41,8 persen, Malaysia 52,7 persen, dan Brasil 81,2 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat mengeluarkan pernyataan tertulis pada 23 Maret lalu seputar polemik utang luar negeri ini.
Menteri Terbaik Sedunia versi World Government Summit (WGS) dan Menteri Keuangan Terbaik se-Asia Pasifik versi majalah keuangan internasional FinanceAsia itu menekankan bahwa sangat penting untuk mendudukkan masalah utang ini secara proporsional agar masyarakat maupun elite politik tidak terjangkit histeria dan kekhawatiran berlebihan yang menyebabkan kondisi masyarakat menjadi tidak produktif.
"Kecuali kalau memang tujuan mereka yang selalu menyoroti masalah utang adalah untuk membuat masyarakat resah, ketakutan dan menjadi panik, serta untuk kepentingan politik tertentu," katanya.
Direktur Pelaksana Bank Dunia periode 2010-2016 itu menegaskan upaya politik destruktif untuk menakut-nakuti masyarakat sungguh tidak sesuai dengan semangat demokrasi yang baik dan membangun. Penggunaan utang pemerintah sudah dilakukan dengan hati-hati sesuai dengan pengelolaan APBN yang selama ini berlaku. Bagi mereka yang menganjurkan agar pemerintah berhati-hati dalam menggunakan instrumen utang, maka anjuran itu sudah sangat sejalan dengan yang dilakukan pemerintah.
Penggunaan utang merupakan bagian dari pengelolaan APBN yang dilakukan secara bertahap dan hati-hati agar perekonomian tidak mengalami kejutan dan mesin ekonomi menjadi melambat.
Penggunaan utang bersama dengan pajak merupakan instrumen kebijakan fiskal yang dimanfaatkan pemerintah untuk memperbaiki sarana infrastruktur, pendidikan, kesehatan maupun jaminan sosial.
Menteri Keuangan juga memastikan pengelolaan utang saat ini belum terlalu mengkhawatirkan karena masih dikendalikan jauh di bawah ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Oleh karena itu, hanya menyoroti instrumen utang tanpa melihat konteks besar dan upaya arah kebijakan pemerintahan jelas memberikan kualitas analisis dan masukan tidak lengkap dan bahkan dapat menyesatkan.
Bank Dunia juga menilai rasio utang pemerintah Indonesia saat ini masih rendah dibandingkan dengan negara-negara dengan tingkat ekonomi maju maupun berpendapatan menengah. Rasio utang pemerintah Indonesia yang berada pada kisaran 29 persen terhadap PDB ini juga didukung oleh pengelolaan yang baik sehingga tidak rentan dengan risiko fiskal.
Indonesia telah memiliki kebijakan fiskal yang "prudent" sehingga pengelolaan utang masih terjaga dalam tingkat yang rendah. Tidak ada kekhawatiran yang berlebihan mengenai kondisi utang pemerintah Indonesia yang bisa mengganggu kinerja perekonomian dalam jangka menengah panjang.
Jadi utang luar negeri selalu menemani perjalanan bangsa ini, terpenting adalah pengelolaannya agar membawa kemajuan bangsa dan kesejahteraan seluruh rakyat serta tetap terkendali untuk dibayar dan dilunasi. (Budi Setiawanto)
Tags
Aktual