Pekanbaru, 17/4 (Benhil) - Aura semangat jelas terpancar dari sosok Suryono, pria paruh baya yang kini bagi sebagian petani di Kabupaten Siak, Provinsi Riau dijuluki sebagai "guru tani".
Senin (16/4) siang awal pekan ini, Suryono kedatangan sejumlah warga yang belajar hortikultura. Di teras rumah sederhananya di Kampung Pinang Sebatang Barat, Kecamatan Tualang, Siak, pria keturunan Jawa kelahiran Sumatera Utara itu menyambut ramah kedatangan warga.
Hidangan kopi hitam panas serta rebusan jagung, pisang serta umbi-umbian saat hujan menjadi kombinasi pas untuk memulai berbagai cerita, pengalaman dan ilmu bersama peraih Adikarya Pangan Nusantara 2015 tersebut.
"Saya ingin menyebar virus budi daya hortikultura. Karena sejalan dengan visi pemerintah soal ketahanan pangan," kata Suryono kepada Antara memulai pembicaraan.
Apa yang disampaikan Suryono bukan merupakan sebuah impian yang mustahil untuk dilakukan. Pria lulusan Sekolah Dasar itu bertekad untuk membuka hati petani dari praktik pertanian yang mendegradasi lingkungan menuju pengelolaan lahan berkelanjutan.
Gerakan yang dibentuk Suryono bersama kelompok tani di desanya mulai berjalan. Mereka yang merupakan kelompok tani binaan Asia Pulp and Paper (APP) Sinar Mas dalam program Desa Makmur Perduli Api (DMPA) itu menamakan gerakan revolusi hijau tersebut dengan "One Village One Product".
Dengan dukungan Pemerintah Kabupaten Siak serta perusahaan, mereka melangkah mantap untuk terus menebar virus-virus bertani ala Suryono sebagai upaya mencapai ketahanan pangan, minimal dari tingkat kecamatan.
Suryono sendiri merupakan sosok inspiratif bagi banyak petani, tidak hanya di Siak namun di Provinsi Riau. Pria kelahiran Medan, Sumatera Utara, pada 1975 menjadi contoh petani yang berhasil melakukan mitigasi perubahan iklim dengan bertani holtikultura dan turut andil menjaga lingkungan serta mencegah tejadinya kebakaran lahan dan hutan. Suryono mulai mengisahkan perjalanan hidupnya yang beralih dari petani kelapa sawit menjadi petani holtikultura. Dari kampung halamannya di Medan, ia merantau ke Dusun Sukajaya Kampung Pinang Sebatang Barat, Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak, pada 2000 hingga sekarang.
Di rumah sederhana berdinding papan, namun lantai keramik serta peralatan televisi lengkap dengan pemancar satelit parabola berlangganan, Suryono tinggal bersama istri dan tiga orang anak.
Pekerjaan awalnya sejak 2000 adalah berkebun kelapa sawit di Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak. Pada 2013 dia mengambil keputusan nekat dengan menumbangkan seluruh tanaman sawit produktif di kebun dua hektare miliknya. Lantas, dia menggantinya dengan tanaman holtikultura.
Saat itu, Suryono mulai menanam beberapa jenis sayuran seperti kangkung, bayam, cabai, melon, semangka, kacang panjang, timun, pepaya, dan jagung.
Banyak orang menduga dia sudah gila karena dalam benak masyarakat setempat, menanam sayuran tidak akan pernah menguntungkan. Namun, dia tetap pada pendiriannya.
Sistem "mix cropping" atau tumpang sari menjadi andalan dia dalam memulai usaha hortikultura tersebut. Dengan sistem seperti itu, hasil panen dan penghasilannya tidak pernah putus. Setiap hari, dia dapat memanen beragam sayuran untuk dijual ke pasar setempat.
Ia mengakui awalnya memang tidak mudah untuk menjadi petani hortikultura. Terlebih lagi, lahan yang digunakan merupakan bekas tanaman sawit (Elaeis guineensis), yang dikenal boros menghabiskan unsur hara.
Namun, kerja keras Suryono mulai membuahkan hasil. Pengolahan lahan yang tepat serta pemilihan jenis tanaman yang pas berhasil membawa perubahan kepada dirinya.
Sebagai gambaran, ketika menjadi petani sawit dengan lahan dua hektare, Suryono hanya meraih penghasilan maksimal sekitar Rp2 juta samapi Rp3 juta per bulan. Namun, kini dengan mengolah lahan untuk ditanami sayuran, ia berhasil meraup penghasilan sekitar puluhan kali lipat mencapai puluhan juta rupiah per bulan.
Bahkan, pada lahan yang sama itu, Suryono bisa membuka lapangan pekerjaan baru dan mempekerjakan sembilan orang warga setempat.
Keberhasilan Suryono dalam mengambil langkah berisiko tersebut pada 2016 membawa dirinya menjadi salah satu pembicara dalam satu sesi KTT PBB tentang perubahan iklim atau COP-22 dengan tema "Putting People at the Center-Climate Friendly Forest Based Livelihood" di Maroko.
Senin (16/4) siang awal pekan ini, Suryono kedatangan sejumlah warga yang belajar hortikultura. Di teras rumah sederhananya di Kampung Pinang Sebatang Barat, Kecamatan Tualang, Siak, pria keturunan Jawa kelahiran Sumatera Utara itu menyambut ramah kedatangan warga.
Hidangan kopi hitam panas serta rebusan jagung, pisang serta umbi-umbian saat hujan menjadi kombinasi pas untuk memulai berbagai cerita, pengalaman dan ilmu bersama peraih Adikarya Pangan Nusantara 2015 tersebut.
"Saya ingin menyebar virus budi daya hortikultura. Karena sejalan dengan visi pemerintah soal ketahanan pangan," kata Suryono kepada Antara memulai pembicaraan.
Apa yang disampaikan Suryono bukan merupakan sebuah impian yang mustahil untuk dilakukan. Pria lulusan Sekolah Dasar itu bertekad untuk membuka hati petani dari praktik pertanian yang mendegradasi lingkungan menuju pengelolaan lahan berkelanjutan.
Gerakan yang dibentuk Suryono bersama kelompok tani di desanya mulai berjalan. Mereka yang merupakan kelompok tani binaan Asia Pulp and Paper (APP) Sinar Mas dalam program Desa Makmur Perduli Api (DMPA) itu menamakan gerakan revolusi hijau tersebut dengan "One Village One Product".
Dengan dukungan Pemerintah Kabupaten Siak serta perusahaan, mereka melangkah mantap untuk terus menebar virus-virus bertani ala Suryono sebagai upaya mencapai ketahanan pangan, minimal dari tingkat kecamatan.
Suryono sendiri merupakan sosok inspiratif bagi banyak petani, tidak hanya di Siak namun di Provinsi Riau. Pria kelahiran Medan, Sumatera Utara, pada 1975 menjadi contoh petani yang berhasil melakukan mitigasi perubahan iklim dengan bertani holtikultura dan turut andil menjaga lingkungan serta mencegah tejadinya kebakaran lahan dan hutan. Suryono mulai mengisahkan perjalanan hidupnya yang beralih dari petani kelapa sawit menjadi petani holtikultura. Dari kampung halamannya di Medan, ia merantau ke Dusun Sukajaya Kampung Pinang Sebatang Barat, Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak, pada 2000 hingga sekarang.
Di rumah sederhana berdinding papan, namun lantai keramik serta peralatan televisi lengkap dengan pemancar satelit parabola berlangganan, Suryono tinggal bersama istri dan tiga orang anak.
Pekerjaan awalnya sejak 2000 adalah berkebun kelapa sawit di Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak. Pada 2013 dia mengambil keputusan nekat dengan menumbangkan seluruh tanaman sawit produktif di kebun dua hektare miliknya. Lantas, dia menggantinya dengan tanaman holtikultura.
Saat itu, Suryono mulai menanam beberapa jenis sayuran seperti kangkung, bayam, cabai, melon, semangka, kacang panjang, timun, pepaya, dan jagung.
Banyak orang menduga dia sudah gila karena dalam benak masyarakat setempat, menanam sayuran tidak akan pernah menguntungkan. Namun, dia tetap pada pendiriannya.
Sistem "mix cropping" atau tumpang sari menjadi andalan dia dalam memulai usaha hortikultura tersebut. Dengan sistem seperti itu, hasil panen dan penghasilannya tidak pernah putus. Setiap hari, dia dapat memanen beragam sayuran untuk dijual ke pasar setempat.
Ia mengakui awalnya memang tidak mudah untuk menjadi petani hortikultura. Terlebih lagi, lahan yang digunakan merupakan bekas tanaman sawit (Elaeis guineensis), yang dikenal boros menghabiskan unsur hara.
Namun, kerja keras Suryono mulai membuahkan hasil. Pengolahan lahan yang tepat serta pemilihan jenis tanaman yang pas berhasil membawa perubahan kepada dirinya.
Sebagai gambaran, ketika menjadi petani sawit dengan lahan dua hektare, Suryono hanya meraih penghasilan maksimal sekitar Rp2 juta samapi Rp3 juta per bulan. Namun, kini dengan mengolah lahan untuk ditanami sayuran, ia berhasil meraup penghasilan sekitar puluhan kali lipat mencapai puluhan juta rupiah per bulan.
Bahkan, pada lahan yang sama itu, Suryono bisa membuka lapangan pekerjaan baru dan mempekerjakan sembilan orang warga setempat.
Keberhasilan Suryono dalam mengambil langkah berisiko tersebut pada 2016 membawa dirinya menjadi salah satu pembicara dalam satu sesi KTT PBB tentang perubahan iklim atau COP-22 dengan tema "Putting People at the Center-Climate Friendly Forest Based Livelihood" di Maroko.
Memotong Mata Rantai Tengkulak
Suryono menjelaskan, untuk menjadi petani sukses, satu hal utama yang harus dilakukan adalah menghindari tengkulak. Keberadaan tengkulak, yang sejatinya membantu memasarkan komoditas pertanian justru sering menjadi sumber kesengsaraan. Dalam beberapa kejadian, tengkulak justru mengambil untung jauh lebih besar, dengan menekan harga seminimal mungkin kepada petani.
Untuk itu, Suryono mengatakan tengkulak harus dihindari. Caranya adalah setiap petani hortikultura di setiap desa membentuk kelompok tani sendiri. Dari satu kelompok tani, harus terdapat satu petani yang juga merangkap sebagai pedagang. Dengan begitu, informasi harga di pasar dengan mudah diterima para petani. Tidak ada permainan harga, karena petani selalu mengontrol dan memantau harga ditingkat konsumen.
Upaya itu telah ia terapkan di kelompok tani yang ia pimpin. Dia mengatakan, dalam satu bulan kelompok taninya bisa mengirim hingga 20 ton cabai rawit. Cabai jenis itu merupakan komoditas utama yang mereka budidayakan.
Suryono mengatakan, langkah memotong mata rantai tengkulak mulai ia terapkan pada 2010. Butuh waktu tiga tahun hingga kelompok taninya benar-benar bisa lepas dari tangan jahil tengkulak nakal.
"Sebelumnya kami selalu ditipu tengkulak, katanya sayuran ini lagi bagus harganya tapi ketika panen mereka bilang harga jatuh. Padahal, harga di pasar tidak jatuh, tapi mereka ingin untung sebanyak-banyaknya saja dari petani," ujarnya.
Suryono mengatakan para tengkulak tidak ingin petani langsung berjualan dan mengetahui harga komoditas yang sebenarnya dipasar. Berbagai cara unuk menghambat sampai berupa intimidasi kerap menerpa petani, yang ingin berjualan langsung ke pasar.
Ia menyiasatinya dengan memperkuat jaringan mulai dari instansi pemerintah daerah, asosiasi kelompok tani dan nelayan hingga kepolisian.
"Tidak ada undang-undang di negara kita yang melarang petani berjualan langsung ke pasar," kata Suryono.
Menularkan Virus Hortikultura ke Petani Sawit Program "One Village One Product" yang digagas Suryono mulai berjalan. Untuk jangka awal, program itu menyasar ke desa-desa di Kecamatan Tualang. Setiap satu bulan, satu desa yang disambangi Suryono dan kawan-kawan kelompok taninya.
Sejauh ini, dua desa telah ia sambangi. Kedua desa itu adalah Pinang Sebatang Barat dan Kelurahan Perawang. Dari dua lokasi yang ia sambangi, responnya cukup positif. Begitu banyak petani sawit, terutama yang memiliki luas lahan kurang dari lima hektare tertarik beralih ke hortikultura.
Setiap desa memiliki kontur lahan dan topografi berbeda. Perbedaan itu kemudian ia manfaatkan untuk menghasilkan produk hortikultura tertentu dari desa-desa itu. Seperti misalnya untuk Desa Pinang Sebatang masyarakat didorong menanam cabai panjang. Sementara Kelurahan Perawang fokus budidaya padi.
"Sekarang sudah mulai berkembang. Di Kecamatan sudah mulai pelatihan. Jadi setiap desa nanti akan berbeda komoditasnya. Sengaja kita latih masyarakat satu desa satu komoditas," ujarnya.
Semangat Suryono menularkan ilmunya juga dibarengi dengan pelatihan. Setiap hari, pintu rumahnya yang sekarang kondisinya jauh lebih baik dibanding saat menjadi petani sawit selalu terbuka bagi masyarakat.
"Saat memberikan sosialisasi, kita gambarkan pola lahan. Penamaman, sampai pemasaran. Kita ajarkan langsung sampai ke pasar," ujarnya.
Darwin Harahap, pria Tapanuli berusia 42 tahun yang sebelumnya bertanam kepala sawit di lahan satu hektare contohnya. Darwin mulai menumbangkan seluruh kelapa sawit produktif miliknya dan mulai menanam Hortikultura dalam dua tahun terakhir.
Darwin yang merupakan transmigran asal Tapanuli Selatan tersebut mengaku terinspirasi dari kisah sukses Suryono, yang ia sebut sebagai guru-nya. Saat ini, Harahap memiliki dua karyawan dengan penghasilan rata-rata Rp12 juta perbulan. Padahal sebelumnya, dari satu hektare sawit dia hanya meraup pendapatan Rp1,5 juta.
Dalam mengolah lahan miliknya, Darwin membudidayakan beragam tanaman secara tumpang sari. Kacang panjang, cabai, jagung, pepaya, dan timun.
"Kacang panjang rata-rata 70 kilo setiap panen. Itu biasanya dua hari sekali. Kemudian jagung 400 kilogram setiap bulan. Alhamdulillah hasilnya maksimal," ujarnya.
Secara tidak langsung, Darwin mengatakan virus yang disebarluaskan oleh Suryono telah merasuki pola fikirnya untuk siap disebut gila bagi segelintir petani sawit. Namun, dia percaya apa yang dilakukannya tersebut sesuatu yang tepat, dan dia berharap masyarakat lainnya dapat mengikuti jejak dirinya maupun Suryono.
Untuk itu, Suryono mengatakan tengkulak harus dihindari. Caranya adalah setiap petani hortikultura di setiap desa membentuk kelompok tani sendiri. Dari satu kelompok tani, harus terdapat satu petani yang juga merangkap sebagai pedagang. Dengan begitu, informasi harga di pasar dengan mudah diterima para petani. Tidak ada permainan harga, karena petani selalu mengontrol dan memantau harga ditingkat konsumen.
Upaya itu telah ia terapkan di kelompok tani yang ia pimpin. Dia mengatakan, dalam satu bulan kelompok taninya bisa mengirim hingga 20 ton cabai rawit. Cabai jenis itu merupakan komoditas utama yang mereka budidayakan.
Suryono mengatakan, langkah memotong mata rantai tengkulak mulai ia terapkan pada 2010. Butuh waktu tiga tahun hingga kelompok taninya benar-benar bisa lepas dari tangan jahil tengkulak nakal.
"Sebelumnya kami selalu ditipu tengkulak, katanya sayuran ini lagi bagus harganya tapi ketika panen mereka bilang harga jatuh. Padahal, harga di pasar tidak jatuh, tapi mereka ingin untung sebanyak-banyaknya saja dari petani," ujarnya.
Suryono mengatakan para tengkulak tidak ingin petani langsung berjualan dan mengetahui harga komoditas yang sebenarnya dipasar. Berbagai cara unuk menghambat sampai berupa intimidasi kerap menerpa petani, yang ingin berjualan langsung ke pasar.
Ia menyiasatinya dengan memperkuat jaringan mulai dari instansi pemerintah daerah, asosiasi kelompok tani dan nelayan hingga kepolisian.
"Tidak ada undang-undang di negara kita yang melarang petani berjualan langsung ke pasar," kata Suryono.
Menularkan Virus Hortikultura ke Petani Sawit Program "One Village One Product" yang digagas Suryono mulai berjalan. Untuk jangka awal, program itu menyasar ke desa-desa di Kecamatan Tualang. Setiap satu bulan, satu desa yang disambangi Suryono dan kawan-kawan kelompok taninya.
Sejauh ini, dua desa telah ia sambangi. Kedua desa itu adalah Pinang Sebatang Barat dan Kelurahan Perawang. Dari dua lokasi yang ia sambangi, responnya cukup positif. Begitu banyak petani sawit, terutama yang memiliki luas lahan kurang dari lima hektare tertarik beralih ke hortikultura.
Setiap desa memiliki kontur lahan dan topografi berbeda. Perbedaan itu kemudian ia manfaatkan untuk menghasilkan produk hortikultura tertentu dari desa-desa itu. Seperti misalnya untuk Desa Pinang Sebatang masyarakat didorong menanam cabai panjang. Sementara Kelurahan Perawang fokus budidaya padi.
"Sekarang sudah mulai berkembang. Di Kecamatan sudah mulai pelatihan. Jadi setiap desa nanti akan berbeda komoditasnya. Sengaja kita latih masyarakat satu desa satu komoditas," ujarnya.
Semangat Suryono menularkan ilmunya juga dibarengi dengan pelatihan. Setiap hari, pintu rumahnya yang sekarang kondisinya jauh lebih baik dibanding saat menjadi petani sawit selalu terbuka bagi masyarakat.
"Saat memberikan sosialisasi, kita gambarkan pola lahan. Penamaman, sampai pemasaran. Kita ajarkan langsung sampai ke pasar," ujarnya.
Darwin Harahap, pria Tapanuli berusia 42 tahun yang sebelumnya bertanam kepala sawit di lahan satu hektare contohnya. Darwin mulai menumbangkan seluruh kelapa sawit produktif miliknya dan mulai menanam Hortikultura dalam dua tahun terakhir.
Darwin yang merupakan transmigran asal Tapanuli Selatan tersebut mengaku terinspirasi dari kisah sukses Suryono, yang ia sebut sebagai guru-nya. Saat ini, Harahap memiliki dua karyawan dengan penghasilan rata-rata Rp12 juta perbulan. Padahal sebelumnya, dari satu hektare sawit dia hanya meraup pendapatan Rp1,5 juta.
Dalam mengolah lahan miliknya, Darwin membudidayakan beragam tanaman secara tumpang sari. Kacang panjang, cabai, jagung, pepaya, dan timun.
"Kacang panjang rata-rata 70 kilo setiap panen. Itu biasanya dua hari sekali. Kemudian jagung 400 kilogram setiap bulan. Alhamdulillah hasilnya maksimal," ujarnya.
Secara tidak langsung, Darwin mengatakan virus yang disebarluaskan oleh Suryono telah merasuki pola fikirnya untuk siap disebut gila bagi segelintir petani sawit. Namun, dia percaya apa yang dilakukannya tersebut sesuatu yang tepat, dan dia berharap masyarakat lainnya dapat mengikuti jejak dirinya maupun Suryono.
Tags
Aktual