Mendengar kata gambut bagi sebagian orang di Indonesia yang terbayang adalah sebuah kawasan lahan basah serta rawa-rawa yang sulit ditanami dan hamparan sering terbakar di musim kering atau kemarau.
Tetapi dalam beberapa tahun terakhir bayangan dan pandangan itu mulai bergeser seiring dengan keberhasilan memanfaatkan kawasan gambut untuk budi daya perkebunan, buah-buahan dan hortikultura. Bahkan tak sedikit perusahaan yang mengubahnya menjadi perkebunan yang cukup luas.
Kini tak sedikit pula warga di sekitar lahan gambut yang berhasil mengembangkan budi daya perkebunan, sayuran dan palawija. Hamparan yang semula agak sulit diolah, kini potensinya semakin bisa dikelola, bahkan untuk sekala yang tidak terlalu luas. Jenis tanamannya juga semakin beragam. Selain perkebunan sekala kecil, juga untuk budi daya tanaman yang sangat dibutuhkan sehari-hari.
Keberhasilan itu telah ditunjukkan seorang petani di Kepulauan Meranti, Riau, bernama Adi yang berhasil mengolah lahan gambut menjadi hamparan perkebunan bawang merah di Desa Tanjung Kecamatan Tebingtinggi Barat.
Dia membuka lahan gambut untuk ditanami bawang merah sejak beberapa waktu lalu. Lahan yang sekarang sudah dibuka dan ditanam komoditas itu hampir dua hektare. Adapun target panen dari luas kebun tersebut lebih kurang 3,5 ton dengan target pasar di Kota Selatpanjang. Untuk menanami lahan seluas sekitar dua hektare itu, dia menghabiskan bibit 150 kilogram.
Umurnya dari tanam hingga panen lebih kurang 60 hari atau dua bulan. Ini karena lahan gambut kalau diolah secara baik merupakan lahan yang subur. Untuk bibit dia sengaja menggunakan jenis bawang merah yang dipesan langsung dari Jawa karena harga jualnya cukup tinggi dibanding jenis bawang merah dari Malaysia.
Harga bibitnya sekitar Rp30 ribu termasuk ongkos kirim dari Jawa ke Selatpanjang. Bibit itulah yang dia semai untuk kemudian ditanam di lahan dua hektare.
Adi memang bukan petani pertama yang menanam bawang merah di wilayah Kepulauan Meranti, tapi untuk lahan gambut dia yang pertama kali.
Percobaan pertama dari benih gagal, kedua dengan benih super juga gagal. Kegagalan tak membuatkan patah semangat. "Yang ketiga saya pakai dalam bentuk bibit, baru berhasil," katanya.
Dalam mengolah lahan gambut tentunya menemui berbagai hambatan, mulai dari pemilihan benih atau bibit hingga manajemen air untuk penyiraman bawang. Doa dibantu beberapa warga sekitar sebagai pekerja Yang pekerja tetap ada dua dan pekerja borongan ada enam orang. Pengolahan lahan gambut untuk bawang merah ini cukup unik, yakni dengan mengupas lapisan kulit gambut yang menutupi tanah tanpa ada pembakaran seperti cara-cara tradisional yang tidak jarang menyebabkan kebakaran lahan dan hutan.
Nantinya jika semakin banyak warga yang mengembangkan bawang merah di lahan gambut di Riau, dipastikan semakin mengurangi ketergantungan provinsi ini terhadap pasokan dari Pulau Jawa atau daerah lain di Sumatera.
Setelah pencapaian keberhasilan itu tampaknya yang dibutuhkan ke depan adalah menjadikannya sebagai pijakan untuk lebih serius dan lebih fokus dengan pembinaan terarah dari jajaran pemerintah. Dengan demikian, ada pemahaman mengenai pengelolan gambut yang baik dan hasil yang maksimal.
Yang menggembirakan adalah sasaran dan harapan ke arah tersebut sudah dipahami dan direspon oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) nahkan telah mencetak kader-kader restorasi gambut dari 21 desa di Propinsi Riau.
"Kesimpulan kami yang dapat mencegah kebakaran gambut adalah warga lokal, bukan orang yang jauh dari lokasi," kata Kelapa Sub Kelompok Kerja Edukasi Deputi III BRG RI Deasy Efnida Westy.
Kebakaran hebat kawasan gambut pada 2016 tampaknya mendorong BRG melakukan penanganan serius dan komprehensif dalam merestorasi gambut. BRG pun melibatkan lebih banyak partisipasi masyarakat untuk mencegah bencana serupa terulang kembali.
Program restorasi gambut memiliki skema 3R (reweting, revegetasi dan revitalisasi) yang langsung melibatkan penuh masyarakat lokal. Tanpa mereka program pusat hanya di atas kertas, kata Deasy.
Petani Desa Peduli Gambut (DPG) yang dibentuk diharapkan menjadi subjek pemulihan gambut.
Sekolah Lapang Untuk kepentingan itu, BRG menggandeng Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Institut Agroekologi Indonesia (Inagri) untuk menggelar Sekolah Lapang Gambut di Riau pada 2-8 April 2018. Program ini berjalan juga untuk tujuh provinsi target.
Peserta berjumlah 42 petani perwakilan 21 desa peduli gambut di enam kabupaten. Sekolah berlangsung di Desa Harapan Jaya, Kecamatan Tempuling, Kabupaten Indragiri Hilir.
Menurut Direkur Inagri Syahroni, sekolah lapang ini akan melahirkan kader desa yang terampil mengelola lahan gambut tanpa bakar. Selanjutnya mereka menjadi pemandu lapangan di desa masing-masing dalam merestorasi gambut.
Tiga keterampilan yang diberikan kepada peserta sekolah lapangan ini berupa keterampilan menjadi pemandu lapangan, keterampilan mengelola lahan dan budidaya pertanian ramah gambut tanpa bakar. Selain itu keterampilan memanfaatkan sumberdaya alam menjadi sumber pendapatan ekonomi masyarakat.
Kepala Desa Harapan Jaya, Rasidi mengatakan desa yang dipilih menjadi sekolah lapang gambut ini ke depan akan memiliki diklat mandiri pertanian ekologis ramah gambut. Konsep materi pendidikan dan latihan (diklat) berupa demplot pertanian terpadu di lahan gambut sebagai model dan percontohan bagi masyarakat sekitar. Dengan sekolah lapangan ini diharapkan pandangan atau penilaian sebagian warga terhadap gambut akan berubah.
Apalagi telah ada contoh yang nyata bahwa pengelolaan yang baik, bisa menghasilkan beraneka tanaman perkebunan, sayuran dan hortikultura termasuk bawang merah bisa menghasilkan. (Sri Muryono)
Tetapi dalam beberapa tahun terakhir bayangan dan pandangan itu mulai bergeser seiring dengan keberhasilan memanfaatkan kawasan gambut untuk budi daya perkebunan, buah-buahan dan hortikultura. Bahkan tak sedikit perusahaan yang mengubahnya menjadi perkebunan yang cukup luas.
Kini tak sedikit pula warga di sekitar lahan gambut yang berhasil mengembangkan budi daya perkebunan, sayuran dan palawija. Hamparan yang semula agak sulit diolah, kini potensinya semakin bisa dikelola, bahkan untuk sekala yang tidak terlalu luas. Jenis tanamannya juga semakin beragam. Selain perkebunan sekala kecil, juga untuk budi daya tanaman yang sangat dibutuhkan sehari-hari.
Keberhasilan itu telah ditunjukkan seorang petani di Kepulauan Meranti, Riau, bernama Adi yang berhasil mengolah lahan gambut menjadi hamparan perkebunan bawang merah di Desa Tanjung Kecamatan Tebingtinggi Barat.
Dia membuka lahan gambut untuk ditanami bawang merah sejak beberapa waktu lalu. Lahan yang sekarang sudah dibuka dan ditanam komoditas itu hampir dua hektare. Adapun target panen dari luas kebun tersebut lebih kurang 3,5 ton dengan target pasar di Kota Selatpanjang. Untuk menanami lahan seluas sekitar dua hektare itu, dia menghabiskan bibit 150 kilogram.
Umurnya dari tanam hingga panen lebih kurang 60 hari atau dua bulan. Ini karena lahan gambut kalau diolah secara baik merupakan lahan yang subur. Untuk bibit dia sengaja menggunakan jenis bawang merah yang dipesan langsung dari Jawa karena harga jualnya cukup tinggi dibanding jenis bawang merah dari Malaysia.
Harga bibitnya sekitar Rp30 ribu termasuk ongkos kirim dari Jawa ke Selatpanjang. Bibit itulah yang dia semai untuk kemudian ditanam di lahan dua hektare.
Adi memang bukan petani pertama yang menanam bawang merah di wilayah Kepulauan Meranti, tapi untuk lahan gambut dia yang pertama kali.
Percobaan pertama dari benih gagal, kedua dengan benih super juga gagal. Kegagalan tak membuatkan patah semangat. "Yang ketiga saya pakai dalam bentuk bibit, baru berhasil," katanya.
Dalam mengolah lahan gambut tentunya menemui berbagai hambatan, mulai dari pemilihan benih atau bibit hingga manajemen air untuk penyiraman bawang. Doa dibantu beberapa warga sekitar sebagai pekerja Yang pekerja tetap ada dua dan pekerja borongan ada enam orang. Pengolahan lahan gambut untuk bawang merah ini cukup unik, yakni dengan mengupas lapisan kulit gambut yang menutupi tanah tanpa ada pembakaran seperti cara-cara tradisional yang tidak jarang menyebabkan kebakaran lahan dan hutan.
Nantinya jika semakin banyak warga yang mengembangkan bawang merah di lahan gambut di Riau, dipastikan semakin mengurangi ketergantungan provinsi ini terhadap pasokan dari Pulau Jawa atau daerah lain di Sumatera.
Setelah pencapaian keberhasilan itu tampaknya yang dibutuhkan ke depan adalah menjadikannya sebagai pijakan untuk lebih serius dan lebih fokus dengan pembinaan terarah dari jajaran pemerintah. Dengan demikian, ada pemahaman mengenai pengelolan gambut yang baik dan hasil yang maksimal.
Yang menggembirakan adalah sasaran dan harapan ke arah tersebut sudah dipahami dan direspon oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) nahkan telah mencetak kader-kader restorasi gambut dari 21 desa di Propinsi Riau.
"Kesimpulan kami yang dapat mencegah kebakaran gambut adalah warga lokal, bukan orang yang jauh dari lokasi," kata Kelapa Sub Kelompok Kerja Edukasi Deputi III BRG RI Deasy Efnida Westy.
Kebakaran hebat kawasan gambut pada 2016 tampaknya mendorong BRG melakukan penanganan serius dan komprehensif dalam merestorasi gambut. BRG pun melibatkan lebih banyak partisipasi masyarakat untuk mencegah bencana serupa terulang kembali.
Program restorasi gambut memiliki skema 3R (reweting, revegetasi dan revitalisasi) yang langsung melibatkan penuh masyarakat lokal. Tanpa mereka program pusat hanya di atas kertas, kata Deasy.
Petani Desa Peduli Gambut (DPG) yang dibentuk diharapkan menjadi subjek pemulihan gambut.
Sekolah Lapang Untuk kepentingan itu, BRG menggandeng Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Institut Agroekologi Indonesia (Inagri) untuk menggelar Sekolah Lapang Gambut di Riau pada 2-8 April 2018. Program ini berjalan juga untuk tujuh provinsi target.
Peserta berjumlah 42 petani perwakilan 21 desa peduli gambut di enam kabupaten. Sekolah berlangsung di Desa Harapan Jaya, Kecamatan Tempuling, Kabupaten Indragiri Hilir.
Menurut Direkur Inagri Syahroni, sekolah lapang ini akan melahirkan kader desa yang terampil mengelola lahan gambut tanpa bakar. Selanjutnya mereka menjadi pemandu lapangan di desa masing-masing dalam merestorasi gambut.
Tiga keterampilan yang diberikan kepada peserta sekolah lapangan ini berupa keterampilan menjadi pemandu lapangan, keterampilan mengelola lahan dan budidaya pertanian ramah gambut tanpa bakar. Selain itu keterampilan memanfaatkan sumberdaya alam menjadi sumber pendapatan ekonomi masyarakat.
Kepala Desa Harapan Jaya, Rasidi mengatakan desa yang dipilih menjadi sekolah lapang gambut ini ke depan akan memiliki diklat mandiri pertanian ekologis ramah gambut. Konsep materi pendidikan dan latihan (diklat) berupa demplot pertanian terpadu di lahan gambut sebagai model dan percontohan bagi masyarakat sekitar. Dengan sekolah lapangan ini diharapkan pandangan atau penilaian sebagian warga terhadap gambut akan berubah.
Apalagi telah ada contoh yang nyata bahwa pengelolaan yang baik, bisa menghasilkan beraneka tanaman perkebunan, sayuran dan hortikultura termasuk bawang merah bisa menghasilkan. (Sri Muryono)
Tags
Pendidikan