Songket Aceh |
Seraya duduk, tampak tangan dan kaki wanita itu begitu telaten merangkai helai demi helai benang menggunakan alat tenun kaki tangan hingga membentuk sehelai kain yang indah.
Dahlia, satu-satunya pengrajin tenun songket Aceh di Gampong (desa) Siem, Kecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh Besar, yang tetap setia menenun hingga diusianya yang sudah tidak muda lagi. Pekerjaan menenun bagi perempuan yang telah berusia 58 tahun ini untuk meneruskan dan mempertahankan songket khas Aceh yang diwariskan almarhumah ibundanya, Maryamu Ali yang dikenal dengan nama Nyak Mu.
"Menenun warisan dari ibu saya, yang meminta tenun songket Aceh jangan sampai hilang, karena sudah dikenal," ujar Dahlia yang belajar menenun dari ibundanya semasih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Diapun pernah menyarankan kepada pemerintah untuk memperhatikan kelestarian dan pengembangan songket Aceh. Namun sampai saat ini, belum ada perhatian dan bantuan dari pemerintah untuk pengembangan usaha tenun kain songket di Gampong Siem.
Dahlia bertahan dengan pekerjaan kerajinan tradisional ini, karena sudah ditekuni sejak lama, meski kadang hanya sambilan bukan bisnis utama keluarga, namun telah ikut membantu ekonomi keluarganya.
Ibu enam orang anak ini, sehari-harinya menenun di rumah menggunakan alat tenun kaki tangan (ATKT) dan dibantu enam pekerja.
"Saya bekerja dengan alat tenun tradisional yang saya tempatkan di dalam rumah, tidak ada ruangan khusus," tutur istri Ansyari ini saat dijumpai sedang memperagakan teknik menenun menggunakan alat tenun tradisional miliknya di gedung galeri dewan kerajinan nasional (Dekranas) Aceh Besar.
Menurutnya, menyiapkan satu stel kain dan selendang songket, membutuhkan waktu seminggu, dengan menenun delapan jam sehari.
Dibantu enam pekerja, usahanya bisa menghasilkan delapan stel kain - selendang dalam sebulan. "Dalam sebulan kadang banyak, paling kurang dua stel. Kadang sama sekali tidak ada, karena selain tidak ada pesanan dan saya lagi masa turun ke sawah, sehingga menenun jadi kerja sambilan," jelasnya.
Usahanya memproduksi songket sesuai pesanan, sedangkan harga tebus kepada pemesan, tergantung motif dan bahan.
Harganya kain songket dari ujung barat Nusantara ini bervariasi dari Rp800 ribu hingga Rp1,5 juta per stel, tergantung motif dan bahannya. Kalau bahan sutra harganya Rp1,6 juta.
Ada sejumlah motif tenun songket Aceh yang bisa dibuatnya, diataranya yaitu motif pucuk meria, delima dan motif meulu.
Menghasilkan satu stel kain dan selendang, ia harus mengeluarkan biaya Rp600 ribu untuk membeli bahan dan ongkos pekerja perorang berkisar Rp250 ribu hingga Rp500 ribu. "Kalau bahan sutra, saya pesan di Bandung," katanya.
Turun temurun Masa terang dan suram mewarnai usaha tenun songket yang sudah turun-temurun di Gampong Siem ini.
Dahlia menceritakan semasa ibundanya mengelola usaha tenun songket tahun 70-an, tenun songket Nyak Mu di Gampong Siem dikenal di seluruh Aceh, sampai ke provinsi lainnya. "Kerajinan tenun songket di Gampong Siem ini turun-temurun," ujarnya.
Waktu itu, banyak yang bekerja dan belajar tenun dengan ibunya. Mereka berasal dari berbagai kabupaten di Aceh, termasuk dari Aceh Barat yang sekarang sudah buka usaha mandiri tenun songket.
Karena kegigihan mengembangkan tenun songket khas Aceh, ibundanya, Maryamu Ali mendapat penghargaan Upakarti dari Presiden Suharto tahun 1991. Kecuali itu, konflik politik dan bersenjata yang mendera Aceh tahun 90-an berdampak suramnya usaha tenun di Gampong Siem yang berjarak sekitar 20 kilometer dari pusat Kota Banda Aceh ini.
Pada masa itu, tidak ada orang yang datang ke Gampong Siem memesan kain songket. Praktis, usaha dan kegiatan tenun songket terhenti kala itu.
Menenun tenun pun saat ini hanya Dahlia. Itupun dilakukannya kadang sambilan. "Saya tetap senang menenun, walaupun kadang dilakukan sambilan," katanya.
Diakuinya, walaupun ada dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan universitas yang datang ke Gampong Siem memberikan pelatihan beragam desain model dan interior songket, namun dirinya tetap saja menenun kain dan selendang. Dia tidak bisa mengikuti desain baru dan interior dari songket, karena tenun songket hanya untuk kain ukuran 1,5 meter dan selendang. Tidak bisa dipotong-potong untuk desain lain dan diperpanjang untuk interior.
"Saya hanya fokus tenun kain dan selendang saja," jelasnya.
Menurutnya minat generasi muda, remaja putri untuk menekuni tenun memang ada namun agak susah. Ada juga yang mencoba belajar menenun, namun tidak bertahan karena susah dan tidak betah. Menenun perlu ketrampilan plus kesabaran.
Harapannya, perlu perhatian pemerintah untuk mau mengembangkan tenun songket Aceh.
"Kalau bisa dibuat suatu badan yang mengelola tenun songket. Kalau saya memang sudah tidak sanggup lagi, hanya bisa membantu," ujarnya.
Dahlia telah menunjukkan kesetiannya mempertahankan songket khas Aceh warisan leluhur agar tidak hilang ditelan zaman.
Dahlia, satu-satunya pengrajin tenun songket Aceh di Gampong (desa) Siem, Kecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh Besar, yang tetap setia menenun hingga diusianya yang sudah tidak muda lagi. Pekerjaan menenun bagi perempuan yang telah berusia 58 tahun ini untuk meneruskan dan mempertahankan songket khas Aceh yang diwariskan almarhumah ibundanya, Maryamu Ali yang dikenal dengan nama Nyak Mu.
"Menenun warisan dari ibu saya, yang meminta tenun songket Aceh jangan sampai hilang, karena sudah dikenal," ujar Dahlia yang belajar menenun dari ibundanya semasih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Diapun pernah menyarankan kepada pemerintah untuk memperhatikan kelestarian dan pengembangan songket Aceh. Namun sampai saat ini, belum ada perhatian dan bantuan dari pemerintah untuk pengembangan usaha tenun kain songket di Gampong Siem.
Dahlia bertahan dengan pekerjaan kerajinan tradisional ini, karena sudah ditekuni sejak lama, meski kadang hanya sambilan bukan bisnis utama keluarga, namun telah ikut membantu ekonomi keluarganya.
Ibu enam orang anak ini, sehari-harinya menenun di rumah menggunakan alat tenun kaki tangan (ATKT) dan dibantu enam pekerja.
"Saya bekerja dengan alat tenun tradisional yang saya tempatkan di dalam rumah, tidak ada ruangan khusus," tutur istri Ansyari ini saat dijumpai sedang memperagakan teknik menenun menggunakan alat tenun tradisional miliknya di gedung galeri dewan kerajinan nasional (Dekranas) Aceh Besar.
Menurutnya, menyiapkan satu stel kain dan selendang songket, membutuhkan waktu seminggu, dengan menenun delapan jam sehari.
Dibantu enam pekerja, usahanya bisa menghasilkan delapan stel kain - selendang dalam sebulan. "Dalam sebulan kadang banyak, paling kurang dua stel. Kadang sama sekali tidak ada, karena selain tidak ada pesanan dan saya lagi masa turun ke sawah, sehingga menenun jadi kerja sambilan," jelasnya.
Usahanya memproduksi songket sesuai pesanan, sedangkan harga tebus kepada pemesan, tergantung motif dan bahan.
Harganya kain songket dari ujung barat Nusantara ini bervariasi dari Rp800 ribu hingga Rp1,5 juta per stel, tergantung motif dan bahannya. Kalau bahan sutra harganya Rp1,6 juta.
Ada sejumlah motif tenun songket Aceh yang bisa dibuatnya, diataranya yaitu motif pucuk meria, delima dan motif meulu.
Menghasilkan satu stel kain dan selendang, ia harus mengeluarkan biaya Rp600 ribu untuk membeli bahan dan ongkos pekerja perorang berkisar Rp250 ribu hingga Rp500 ribu. "Kalau bahan sutra, saya pesan di Bandung," katanya.
Turun temurun Masa terang dan suram mewarnai usaha tenun songket yang sudah turun-temurun di Gampong Siem ini.
Dahlia menceritakan semasa ibundanya mengelola usaha tenun songket tahun 70-an, tenun songket Nyak Mu di Gampong Siem dikenal di seluruh Aceh, sampai ke provinsi lainnya. "Kerajinan tenun songket di Gampong Siem ini turun-temurun," ujarnya.
Waktu itu, banyak yang bekerja dan belajar tenun dengan ibunya. Mereka berasal dari berbagai kabupaten di Aceh, termasuk dari Aceh Barat yang sekarang sudah buka usaha mandiri tenun songket.
Karena kegigihan mengembangkan tenun songket khas Aceh, ibundanya, Maryamu Ali mendapat penghargaan Upakarti dari Presiden Suharto tahun 1991. Kecuali itu, konflik politik dan bersenjata yang mendera Aceh tahun 90-an berdampak suramnya usaha tenun di Gampong Siem yang berjarak sekitar 20 kilometer dari pusat Kota Banda Aceh ini.
Pada masa itu, tidak ada orang yang datang ke Gampong Siem memesan kain songket. Praktis, usaha dan kegiatan tenun songket terhenti kala itu.
Menenun tenun pun saat ini hanya Dahlia. Itupun dilakukannya kadang sambilan. "Saya tetap senang menenun, walaupun kadang dilakukan sambilan," katanya.
Diakuinya, walaupun ada dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan universitas yang datang ke Gampong Siem memberikan pelatihan beragam desain model dan interior songket, namun dirinya tetap saja menenun kain dan selendang. Dia tidak bisa mengikuti desain baru dan interior dari songket, karena tenun songket hanya untuk kain ukuran 1,5 meter dan selendang. Tidak bisa dipotong-potong untuk desain lain dan diperpanjang untuk interior.
"Saya hanya fokus tenun kain dan selendang saja," jelasnya.
Menurutnya minat generasi muda, remaja putri untuk menekuni tenun memang ada namun agak susah. Ada juga yang mencoba belajar menenun, namun tidak bertahan karena susah dan tidak betah. Menenun perlu ketrampilan plus kesabaran.
Harapannya, perlu perhatian pemerintah untuk mau mengembangkan tenun songket Aceh.
"Kalau bisa dibuat suatu badan yang mengelola tenun songket. Kalau saya memang sudah tidak sanggup lagi, hanya bisa membantu," ujarnya.
Dahlia telah menunjukkan kesetiannya mempertahankan songket khas Aceh warisan leluhur agar tidak hilang ditelan zaman.
Tags
Aktual