Semalam saya dan sejumlah kawan berdiri di ruang terbuka di atas Anjung Salihara. Kami melakukannya tiap saat peralihan tahun, memandang ke seantero horison kota yang dihiasi semburan kembang api dari sudut ke sudut.
Tapi tadi malam berbeda. Di tengah ribuan bunyi letupan, menyelip suara zikir, atau yang semacam itu, dari sejumlah masjid. Ini statemen “Islam”, kata mereka, menghadapi kemeriahan pesta orang kufur.
Saya sedih. Makin jelas, malam awal 2018, masyarakat kita terpecah — atau berhasil dipecah.
Tak lama lagi, ketika persaingan politik memanas, perpecahan itu akan jadi problem yang mengemuka, mendesak, mengancam.
Tahun 2018 akan bergumul dengan problem itu.
Masa depan Indonesia dipertaruhkan: kehidupan akan berubah jika agama jadi satu-satunya pengukur politik, kekuasaan, perilaku, kreativitas dan pemikiran.
Jika mereka menang, Indonesia macam apa yang akan jadi ruang kehidupan anak cucu kita?
Di tahun 2018, umur saya 77 tahun. Seharusnya saya menjauh dari benturan yang akan terjadi, dari perlawanan yang akan melibatkan banyak orang.
Kadang-kadang saya ingin jeda — dan masuk ke dalam ruang yang lebih hening.
Tapi saya cemas.
Saya bersyukur masih banyak teman yang ikut, teguh, berpikir dan bertindak untuk menyelamatkan Indonesia.
Mari. Tahun 2018 tak bisa dihindari: tahun politik, tahun memproduksi harapan dari latar yang tak tenteram.
Goenawan Mohamad
Tags
Aktual