Satu regu pekerja berada di selokan di Jalan Matraman Jakarta Timur, Kamis. Sebagian menarik dan mengangkat lumpur serta sampah-sampah di selokan dan sebagian memasukannya ke karung-karung, kemudian diangkut dengan truk.
Mereka yang biasa disebut "pasukan orange" yang berjaya dimasa kepemimpinana Ahok, bekerja membersihkan selokan yang kotor, penuh lumpur dan sampah. Bekerja di tempat seperti itu menyebabkan lumpur kehitaman mengotori badan dan seragam mereka.
Belum lagi, bau yang senantiasa menyertai selama kerja di tempat-tempat seperti itu. Ketabahan dan kesabaran tampaknya harus mereka tunjukan.
Mengingat selokan atau drainase di DKI Jakarta umumnya tertutup, baik cor-coran semen maupun lempengan-lempengan cor-coran, membongkarnya sering tak terelakan. Mereka berbagi tugas, dari menarik atau menguras umur dan sampah hingga memasukan ke karung-karung.
Badan yang kotor dan sergam yang tepercik lumpur itu menandai kerja keras "pasukan orange" membersihkan selokan pada musim hujan ini. Tujuannya adalah membuat selokan atau drainase bersih dari kotoran yang bisa dan biasa membendung aliran air saat hujan. Inilah kerja keras mereka yang merupakan salah satu indikator kerja keras Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Adalah kenyataan yang sangat rutin bahwa hingga hari-hari ini musibah banjir masih menghantui Jakarta. Entah sampai kapan Ibu Kota NKRI terbebas dari banjir yang sudah bisa dikatakan merupakan persoalan menahun dan kronis.
Dikatakan menahun dan kronis karena musibah itu selalu datang setiap tahun dan sudah berlangsung puluhan tahun. Bahan kalau melacak informasi dan data yang sudah banyak beredar di media, musibah ini sudah terjadi sejak zaman kerajaan. Saat Belanda menguasai Batavia, kemudian menjadikannya sebagai pusat pengendalian pemerintahan kolonisasi juga sudah bergelut dengan persoalan banjir.
Oleh karena itu, dibuatlah kanal-kanal atau sungai-sungai kecil untuk memperlancar aliran air yang meluap saat musim hujan. Bedanya, kalau dahulu kanal-kanal itu lebar, kini harus diakui telah sempit dan dipenuhi bangunan di sisi kanan dan kirinya. Berbagai daya dan upaya telah dilakukan Pemerintah DKI Jakarta untuk menyelesaikan masalah satu ini. Bisa dikatakan siapa pun gubernur dan wakil gubernur yang memimpin Jakarta, persoalan banjir adalah pekerjaan utama yang harus dihadapi saat awal kepemimpinannya.
Kini Gubernur Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno pun menghadapinya. Bahkan, tugas itu harus dihadapi saat awal kepemimpinannya. Mereka dilantik 17 Oktober 2017 dan berdasarkan kalender iklim bulan itu adalah awal memasuki musim hujan. Artinya, banjir sudah di depan mata ketika mereka mengawali tugasnya.
Oleh sebab itu, mereka pun harus tancap gas begitu pelantikan di Istana Negara usai. Fakta-fakta membenarkan bahwa mereka sudah harus bekerja keras mengatasi banjir karena ketika beberapa pekan setelah dilantik, banjir sudah melanda Jakarta akibat jebolnya tanggul di Jati Padang Jakarta ditambah genangan air di beberapa lokasi.
Anggap saja itu sebagai ujian pertama dalam tugas mereka. Keduanya pun menyatakan hal itu bisa diatasi, bahkan dikatakan banjir lebih cepat surut karena berfungsinya perangkat pemerintah daerah dari SDM hingga pompa-pompa air.
Namun, lolos ujian pertama ini belum bisa dikatakan melegakan untuk jangka panjang, paling tidak hingga beberapa bulan mendatang karena berdasarkan analisis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang sudah disampaikan ke publik bahwa hujan cenderung meningkat pada bulan Desember 2017 dan Januari 2018.
Analisis prakiraan cuaca itu tampaknya membuat warga yang selama ini menjadi korban banjir tidak bisa tidur. Kalaupun bisa tidur, mungkin tidak bisa nyenyak karena di tengah guyuran hujan, musibah banjir sedang mengancam. Inilah hari-hari ini salah satu sisi kehidupan di Jakarta.
Apalagi, fakta yang sudah dihadapi selama ini, Jakarta mendapat "serbuan" air yang menyebabkan banjir dari beragam sisi, setidaknya empat mata angin. Dari arah selatan, Jakarta selalu mendapat "kiriman" air yang biasa disebut sebagai "banjir kiriman" dari Bogor melalui Sungai Ciliwung dan anak-anak sungainya.
Dari arah barat, Jakarta juga sering mendapatkan limpasan banjir akibat meluapnya air Sungai Cisadane di wilayah Tangeran (Provinsi Banten). Dari arah timur, tiga sungai masuk Jakarta Timur, yakni Kali Cakung, Kali Buaran dan Kali Jati Kramat. Ketiganya saling terhubung hingga muara di Teluk Jakarta di kawasan Marunda melalui Cakung Drain.
Dari wilayah utara, sebagian Jakarta Utara juga sering dilanda banjir akibat pasang air laut. Sebelum terjadinya banjir pada bulan November lalu akibat hujan dan jebolnya tanggul di Jati Padang, banjir akibat pasang air laut (rob) melanda sebagian wilayah Jakarta Utara.
Bukan hanya ancaman banjir dari empat penjuru mata angin itu, melainkan banjir di Jakarta juga terjadi akibat hujan lebat. Air dan genangannya sering memenuhi jalanan Ibu Kota. Genangan itu terhambat alirannya karena selokan dan dainase tersumbat sampah dan lumpur. Gubernur Anies beberapa hari lalu menyebutkan bahwa di saluran-saluran drainase di Jakarta banyak terdapat kabel.
Kalau drainase yang semestinya bisa secara penuh untuk mengalirkan genangan air di jalanan dan permukiman kemudian terdapat kabel, sudah bisa dibayangkan akibat lanjutannya, yaitu terhambatnya aliran air dari genangan di jalanan dan permukiman. Sifat dasar air adalah menetes dan mengalir ke bawah sehingga kalau saluran atau drainase tersumbat, air jelas melimpas ke samping.
Pada struktur bangun tata kota, drainase umumnya berdampingan dengan jalanan raya dan permukiman. Maka, jalan dan permukiman itu terkena limpasan air yang tersumbat di saluran semestinya. Ternyata masalah belum sampai di situ karena saluran air menuju sungai terhambat sampah, lumpur, dan kabel. Maka, bertambah runyam ketika sungainya juga sempit akibat adanya bangunan gedung dan pemukiman.
Dengan mencermati bahwa sifat dasar air yang menetas dan mengalir ke bawah terhambat, limpasan air yang menyebabkan genangan dan banjir tidak terelakan lagi. Permasalahan seperti itu yang tampaknya telah, sedang, dan masih akan dihadapi Jakarta.
Pompa Menyadari bahwa persoalan banjir demikian kompleks (beragam), Anies-Sandi beserta seluruh jajaran Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta harus bekerja keras mengatasi banjir. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, khususnya Dinas Lingkungan Hidup mengerahkan sebanyak 4.100 anggota "pasukan oranye" atau pembersih sampah sepanjang musim hujan ini.
Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Isnawa Adji, mereka (pasukan orange) siap sedia menangani sampah-sampah di drainase dan selokan air. "Pasukan oranye" tersebut telah diberikan instruksi agar selalu siaga setiap hari selama 24 jam, terutama mengingat pada musim hujan, volume sampah cenderung meningkat. Apalagi, selama musim hujan, volume sampah meningkat.
Pada hari-hari biasa, volume sampah sekitar 7.000 ton per hari. Namun, pada musim hujan, volume sampah diperkirakan mengalami peningkatan. Entah mengapa volume sampah mengalami penaikan pada musim hujan ini.
Yang melelahkan dan memprihatinkan salah sampah terus ada meskipun sudah dibersihkan. Ribuan "pasukan oranye" itu disiagakan terus dengan sistem sif atau bergantian. Selain membersihkan drainase dan saluran air, "pasukan oranye" itu paling banyak ditempatkan di pintu air serta saringan sampah karena sampah paling banyak ditemukan di area-area tersebut.
Dengan menempatkan banyak "pasukan oranye" di area-area tersebut, diharapkan sampah langsung bisa ditangani sehingga tidak menghambat aliran air. Apalagi, aliran sampah di selokan atau drainase dan sungai-sungai juga sering disertai potongan kayu, dahan dan ranting pohon, bahkan batang pohon.
Kalau melihat aliran sungai di Jakarta saat banjir, bukan hanya sampah-sampah seperti itu, tidak jarang sampah-sampah jenis atau berbentuk lainnya, seperti potongan meja kayu atau kursi, sofa, bahkan tempat tidur juga ikut terseret air dan menambah seret aliran sungai. Demikian berat beban upaya mengatasi masalah banjir di Jakarta.
"Pasukan orange" yang dikerahkan Dinas Lingkungan Hidup sudah disiagakan di berbagai lokasi untuk mengantisipasi dan mengatasi banjir. Bersamaan dengan hal itu Dinas Bina Marga DKI juga terus menyiagakan pompa air stasioner di sejumlah "underpass" (kolong jembatan) yang ada di wilayah Ibu Kota.
Pompa-pompa stasioner itu akan digunakan untuk menangani genangan yang muncul, baik di jalanan maupun di lingkungan warga. Menurut Kepala Dinas Bina Marga DKI Yusmada Faizal, dari total 18 "underpass" yang tersebar di wilayah DKI Jakarta, sebanyak enam di antaranya tidak memiliki pompa sehingga hanya memanfaatkan gravitasi langsung untuk membuang air ke sungai.
Dengan demikian, dari total 18 "underpass", hanya ada 12 "underpass" yang memiliki pompa dan satu pompa, di antaranya masih menjadi tanggung jawab pihak pengembang. Dengan kata lain, saat ini terdapat sebanyak 11 "underpass" yang tersebar di lima lokasi dan merupakan tanggung jawab Dinas Bina Marga DKI Jakarta. Masing-masing "underpass" itu memiliki empat pompa stasioner.
Namun, di enam lokasi lain, pompanya masih dalam proses perbaikan. Selain pompa stasioner, di setiap "underpass" juga terdapat dua kolam penampungan yang dilengkapi dengan dua pompa. Lokasi "underpass" yang saat ini pompanya berada dalam kondisi yang baik, antara lain di "underpass" Angkasa, Manggarai, Cawang, Pramuka, Panjaitan, dan Tomang.
Untuk menangani genangan, juga sudah dilakukan koordinasi dengan Dinas Tata Air serta Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta untuk penempatan pompa jenis mobile. Posko-posko penanggulangan banjir di tingkat kecamatan dan kelurahan serta kawasan disiagakan dengan berikut dukungan peralatan dan personel.
Itu sudah menunjukkan daya dan upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bisa dikatakan maksimal. Tak berlebihan bila publik berharap agar hal itu mampu mengantisipasi dan mengatasi banjir yang kini benar-benar menjadi ancaman nyata.
Kalaupun ancaman banjir itu terjadi, tidak bisa dielakkan selain kerja keras untuk mengatasinya dengan target meminimalkan korban dan kerugian. (Sri Muryono)
Mereka yang biasa disebut "pasukan orange" yang berjaya dimasa kepemimpinana Ahok, bekerja membersihkan selokan yang kotor, penuh lumpur dan sampah. Bekerja di tempat seperti itu menyebabkan lumpur kehitaman mengotori badan dan seragam mereka.
Belum lagi, bau yang senantiasa menyertai selama kerja di tempat-tempat seperti itu. Ketabahan dan kesabaran tampaknya harus mereka tunjukan.
Mengingat selokan atau drainase di DKI Jakarta umumnya tertutup, baik cor-coran semen maupun lempengan-lempengan cor-coran, membongkarnya sering tak terelakan. Mereka berbagi tugas, dari menarik atau menguras umur dan sampah hingga memasukan ke karung-karung.
Badan yang kotor dan sergam yang tepercik lumpur itu menandai kerja keras "pasukan orange" membersihkan selokan pada musim hujan ini. Tujuannya adalah membuat selokan atau drainase bersih dari kotoran yang bisa dan biasa membendung aliran air saat hujan. Inilah kerja keras mereka yang merupakan salah satu indikator kerja keras Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Adalah kenyataan yang sangat rutin bahwa hingga hari-hari ini musibah banjir masih menghantui Jakarta. Entah sampai kapan Ibu Kota NKRI terbebas dari banjir yang sudah bisa dikatakan merupakan persoalan menahun dan kronis.
Dikatakan menahun dan kronis karena musibah itu selalu datang setiap tahun dan sudah berlangsung puluhan tahun. Bahan kalau melacak informasi dan data yang sudah banyak beredar di media, musibah ini sudah terjadi sejak zaman kerajaan. Saat Belanda menguasai Batavia, kemudian menjadikannya sebagai pusat pengendalian pemerintahan kolonisasi juga sudah bergelut dengan persoalan banjir.
Oleh karena itu, dibuatlah kanal-kanal atau sungai-sungai kecil untuk memperlancar aliran air yang meluap saat musim hujan. Bedanya, kalau dahulu kanal-kanal itu lebar, kini harus diakui telah sempit dan dipenuhi bangunan di sisi kanan dan kirinya. Berbagai daya dan upaya telah dilakukan Pemerintah DKI Jakarta untuk menyelesaikan masalah satu ini. Bisa dikatakan siapa pun gubernur dan wakil gubernur yang memimpin Jakarta, persoalan banjir adalah pekerjaan utama yang harus dihadapi saat awal kepemimpinannya.
Kini Gubernur Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno pun menghadapinya. Bahkan, tugas itu harus dihadapi saat awal kepemimpinannya. Mereka dilantik 17 Oktober 2017 dan berdasarkan kalender iklim bulan itu adalah awal memasuki musim hujan. Artinya, banjir sudah di depan mata ketika mereka mengawali tugasnya.
Oleh sebab itu, mereka pun harus tancap gas begitu pelantikan di Istana Negara usai. Fakta-fakta membenarkan bahwa mereka sudah harus bekerja keras mengatasi banjir karena ketika beberapa pekan setelah dilantik, banjir sudah melanda Jakarta akibat jebolnya tanggul di Jati Padang Jakarta ditambah genangan air di beberapa lokasi.
Anggap saja itu sebagai ujian pertama dalam tugas mereka. Keduanya pun menyatakan hal itu bisa diatasi, bahkan dikatakan banjir lebih cepat surut karena berfungsinya perangkat pemerintah daerah dari SDM hingga pompa-pompa air.
Namun, lolos ujian pertama ini belum bisa dikatakan melegakan untuk jangka panjang, paling tidak hingga beberapa bulan mendatang karena berdasarkan analisis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang sudah disampaikan ke publik bahwa hujan cenderung meningkat pada bulan Desember 2017 dan Januari 2018.
Analisis prakiraan cuaca itu tampaknya membuat warga yang selama ini menjadi korban banjir tidak bisa tidur. Kalaupun bisa tidur, mungkin tidak bisa nyenyak karena di tengah guyuran hujan, musibah banjir sedang mengancam. Inilah hari-hari ini salah satu sisi kehidupan di Jakarta.
Apalagi, fakta yang sudah dihadapi selama ini, Jakarta mendapat "serbuan" air yang menyebabkan banjir dari beragam sisi, setidaknya empat mata angin. Dari arah selatan, Jakarta selalu mendapat "kiriman" air yang biasa disebut sebagai "banjir kiriman" dari Bogor melalui Sungai Ciliwung dan anak-anak sungainya.
Dari arah barat, Jakarta juga sering mendapatkan limpasan banjir akibat meluapnya air Sungai Cisadane di wilayah Tangeran (Provinsi Banten). Dari arah timur, tiga sungai masuk Jakarta Timur, yakni Kali Cakung, Kali Buaran dan Kali Jati Kramat. Ketiganya saling terhubung hingga muara di Teluk Jakarta di kawasan Marunda melalui Cakung Drain.
Dari wilayah utara, sebagian Jakarta Utara juga sering dilanda banjir akibat pasang air laut. Sebelum terjadinya banjir pada bulan November lalu akibat hujan dan jebolnya tanggul di Jati Padang, banjir akibat pasang air laut (rob) melanda sebagian wilayah Jakarta Utara.
Bukan hanya ancaman banjir dari empat penjuru mata angin itu, melainkan banjir di Jakarta juga terjadi akibat hujan lebat. Air dan genangannya sering memenuhi jalanan Ibu Kota. Genangan itu terhambat alirannya karena selokan dan dainase tersumbat sampah dan lumpur. Gubernur Anies beberapa hari lalu menyebutkan bahwa di saluran-saluran drainase di Jakarta banyak terdapat kabel.
Kalau drainase yang semestinya bisa secara penuh untuk mengalirkan genangan air di jalanan dan permukiman kemudian terdapat kabel, sudah bisa dibayangkan akibat lanjutannya, yaitu terhambatnya aliran air dari genangan di jalanan dan permukiman. Sifat dasar air adalah menetes dan mengalir ke bawah sehingga kalau saluran atau drainase tersumbat, air jelas melimpas ke samping.
Pada struktur bangun tata kota, drainase umumnya berdampingan dengan jalanan raya dan permukiman. Maka, jalan dan permukiman itu terkena limpasan air yang tersumbat di saluran semestinya. Ternyata masalah belum sampai di situ karena saluran air menuju sungai terhambat sampah, lumpur, dan kabel. Maka, bertambah runyam ketika sungainya juga sempit akibat adanya bangunan gedung dan pemukiman.
Dengan mencermati bahwa sifat dasar air yang menetas dan mengalir ke bawah terhambat, limpasan air yang menyebabkan genangan dan banjir tidak terelakan lagi. Permasalahan seperti itu yang tampaknya telah, sedang, dan masih akan dihadapi Jakarta.
Pompa Menyadari bahwa persoalan banjir demikian kompleks (beragam), Anies-Sandi beserta seluruh jajaran Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta harus bekerja keras mengatasi banjir. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, khususnya Dinas Lingkungan Hidup mengerahkan sebanyak 4.100 anggota "pasukan oranye" atau pembersih sampah sepanjang musim hujan ini.
Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Isnawa Adji, mereka (pasukan orange) siap sedia menangani sampah-sampah di drainase dan selokan air. "Pasukan oranye" tersebut telah diberikan instruksi agar selalu siaga setiap hari selama 24 jam, terutama mengingat pada musim hujan, volume sampah cenderung meningkat. Apalagi, selama musim hujan, volume sampah meningkat.
Pada hari-hari biasa, volume sampah sekitar 7.000 ton per hari. Namun, pada musim hujan, volume sampah diperkirakan mengalami peningkatan. Entah mengapa volume sampah mengalami penaikan pada musim hujan ini.
Yang melelahkan dan memprihatinkan salah sampah terus ada meskipun sudah dibersihkan. Ribuan "pasukan oranye" itu disiagakan terus dengan sistem sif atau bergantian. Selain membersihkan drainase dan saluran air, "pasukan oranye" itu paling banyak ditempatkan di pintu air serta saringan sampah karena sampah paling banyak ditemukan di area-area tersebut.
Dengan menempatkan banyak "pasukan oranye" di area-area tersebut, diharapkan sampah langsung bisa ditangani sehingga tidak menghambat aliran air. Apalagi, aliran sampah di selokan atau drainase dan sungai-sungai juga sering disertai potongan kayu, dahan dan ranting pohon, bahkan batang pohon.
Kalau melihat aliran sungai di Jakarta saat banjir, bukan hanya sampah-sampah seperti itu, tidak jarang sampah-sampah jenis atau berbentuk lainnya, seperti potongan meja kayu atau kursi, sofa, bahkan tempat tidur juga ikut terseret air dan menambah seret aliran sungai. Demikian berat beban upaya mengatasi masalah banjir di Jakarta.
"Pasukan orange" yang dikerahkan Dinas Lingkungan Hidup sudah disiagakan di berbagai lokasi untuk mengantisipasi dan mengatasi banjir. Bersamaan dengan hal itu Dinas Bina Marga DKI juga terus menyiagakan pompa air stasioner di sejumlah "underpass" (kolong jembatan) yang ada di wilayah Ibu Kota.
Pompa-pompa stasioner itu akan digunakan untuk menangani genangan yang muncul, baik di jalanan maupun di lingkungan warga. Menurut Kepala Dinas Bina Marga DKI Yusmada Faizal, dari total 18 "underpass" yang tersebar di wilayah DKI Jakarta, sebanyak enam di antaranya tidak memiliki pompa sehingga hanya memanfaatkan gravitasi langsung untuk membuang air ke sungai.
Dengan demikian, dari total 18 "underpass", hanya ada 12 "underpass" yang memiliki pompa dan satu pompa, di antaranya masih menjadi tanggung jawab pihak pengembang. Dengan kata lain, saat ini terdapat sebanyak 11 "underpass" yang tersebar di lima lokasi dan merupakan tanggung jawab Dinas Bina Marga DKI Jakarta. Masing-masing "underpass" itu memiliki empat pompa stasioner.
Namun, di enam lokasi lain, pompanya masih dalam proses perbaikan. Selain pompa stasioner, di setiap "underpass" juga terdapat dua kolam penampungan yang dilengkapi dengan dua pompa. Lokasi "underpass" yang saat ini pompanya berada dalam kondisi yang baik, antara lain di "underpass" Angkasa, Manggarai, Cawang, Pramuka, Panjaitan, dan Tomang.
Untuk menangani genangan, juga sudah dilakukan koordinasi dengan Dinas Tata Air serta Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta untuk penempatan pompa jenis mobile. Posko-posko penanggulangan banjir di tingkat kecamatan dan kelurahan serta kawasan disiagakan dengan berikut dukungan peralatan dan personel.
Itu sudah menunjukkan daya dan upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bisa dikatakan maksimal. Tak berlebihan bila publik berharap agar hal itu mampu mengantisipasi dan mengatasi banjir yang kini benar-benar menjadi ancaman nyata.
Kalaupun ancaman banjir itu terjadi, tidak bisa dielakkan selain kerja keras untuk mengatasinya dengan target meminimalkan korban dan kerugian. (Sri Muryono)
Tags
Aktual