Kupang, 29/12 (Benhil) - Hingga akhir tahun 2017, rakyat Nusa Tenggara Timur (NTT) masih saja disuguhi berita tentang kemiskinan masyarakat di provinsi yang wilayahnya didominasi pulau-pulau itu.
Berita terakhir menyebutkan bahwa daerah itu menempati urutan ketiga termiskin di Indonesia setelah Papua dan Papua Barat. Persentase penduduk miskin NTT mencapai 22,01 persen dari total penduduk daerah itu sekitar 5,2 juta jiwa. Tanggapan bernada pro maupun kontra kemudian bermunculan dari sejumlah pihak baik politikus, birokrat, akademisi, praktisi, agamawan, LSM dan lain-lain.
Jika ditelaah, sebenarnya Pemerintah Provinsi NTT memiliki kepedulian yang kuat terhadap isu kemiskinan. Banyak program pembangunan yang secara implisit maupun eksplisit sarat dengan nuansa penanggulangan kemiskinan yang sudah dirancang dan digulirkan oleh para pemimpin daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ada Gerakan Penghijauan atau Komando Gerakan Makmur (KOGM) pada era Gubernur W.J. Lalamentik (1958-1966), Program Swasembada Pangan (beras) era Gubernur El Tari (1966-1978).
Operasi Nusa Makmur, Operasi Nusa Hijau dan Operasi Nusa Sehat di era pemerintahan Gubernur Ben Mboi (1978-1988), Gerakan Meningkatkan Pendapatan Asli Rakyat (Gempar) dan Gerakan Membangun Desa (Gerbades) pada era Gubernur Hendrik Fernandez.
Hingga program-program pembangunan daerah yang berlandaskan pada filosofi 'membangun dari apa yang ada dan dimiliki rakyat' oleh Gubenur Piet A. Tallo, dan di era Gubernur Frans Lebu Raya saat ini kita mengenal program Desa Mandiri Anggur Merah (DeMAM) yang diluncurkan pada 2011.
Secara keseluruhan, kinerja program-program tersebut sebetulnya sudah cukup baik. Pada tahun 2010, hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS menempatkan NTT pada peringkat 29 dari 33 provinsi dengan persentase kemiskinan mencapai 23,03 persen.
Berada di atas Provinsi Gorontalo (23,19 persen), Maluku (27,74 persen), Papua Barat (34,88 persen) dan Papua (36,80 persen).
Namun memasuki tahun 2017 atau kurang lebih 6 tahun kemudian Provinsi Gorontalo dan Maluku mampu bangkit, menyalip dan melejit meninggalkan Provinsi NTT. Sementara Nusa Tenggara Timur yang diharapkan lebih baik lagi peringkatnya secara nasional malah melorot bersama Papua dan Papua Barat di urutan paling bawah.
Pertanyaannya adalah mengapa NTT tidak bisa bangkit dari keterpurukannya? Peneliti dari Perkumpulan Prakarsa Nusa Tenggara Timur (NTT) Victoria Fanggidae mencatat, sejumlah persoalan menjadi faktor penyebab bertambahnya orang miskin di daerah ini dari waktu ke waktu.
Faktor-faktor penyebab itu antara lain, bahan bakar atau energi untuk memasak, Sumber penerangan, akses air bersih dan fasilitas sanitasi, pendidikan, kesehatan, dan standar hidup serta pendapatan yang tidak layak.
Pemicunya, kata Magister Development Studies University of Melbourne Australia itu, adalah masalah sulitnya akses bahan bakar atau energi untuk memasak bagi masyarakat miskin NTT menjadi indikator paling kritis. Penyebab berikutnya, kata Ria panggilan Victoria Fanggidae, penduduk miskin yang tidak dapat mengakses bahan bakar layak tidak berubah di antaranya pada tahun 2012 ada 99,9 persen penduduk miskin tidak dapat mengakses bahan bakar untuk memasak yang layak, tahun 2014 menjadi 99,8 persen.
Faktor pemicu berikutnya, kata Mahasiswi Doktoral jurusan School of Social and Political Science pada University of Melbourne Australia ini adalah sumber penerangan sebagai indikator kedua paling kritis yaitu lebih kurang 87,2 persen penduduk miskin tidak memiliki sumber penerangan yang layak.
Selain itu, lebih dari dua pertiga (68,7 persen) penduduk miskin tidak punya akses air bersih dan fasilitas sanitasi (67,4 persen) yang layak.
Gubernur Nusa Tenggara Timur, Frans Lebu Raya mengatakan, untuk menurunkan angka kemiskinan di suatu daerah bukanlah pekerjaan yang mudah.
"Kalau bicara tentang kemiskinan, saya harus jujur mengatakan bahwa menurunkan angka kemiskinan bukan perkara mudah. Terlalu banyak variabel yang harus dipenuhi," kata Lebu Raya.
Menurut dia, ada sekitar 14 syarat yang harus dipenuhi oleh seorang warga agar tidak dikategorikan sebagai warga miskin. Rumah misalnya, harus beratap seng, berlantai, berdinding batu dan sudah diplester, dilengkapi jamban. Ukuran rumahnya pun harus delapan meter persegi untuk setiap orang. Artinya, jika ada empat orang dalam satu rumah maka ukuran rumah mereka harus seluas sekitar 40 meter persegi.
"Kalau salah satu syarat dari bangunan rumah ini tidak terpenuhi maka penghuninya tetap masuk kategori miskin," kata Lebu Raya yang akan mengakhiri masa jabatannya sebagai Gubernur Nusa Tenggara Ttimur periode kedua ini.
Padahal, banyak perumahan yang dibangun developer yang saat ini ditempati warga berpenghasilan rendah, umumnya berukuran 21 meter persegi dan ditempati oleh satu keluarga, misal terdiri 3-5 orang.
"Ini baru syarat tempat tinggal bagi seorang warga, belum syarat lainnya yang harus dipenuhi," katanya menambahkan.
Akibatnya semakin banyak warga yang sulit memenuhi kriteria agar tidak tergolong sebagai warga miskin. (Ben/An/BT)
Berita terakhir menyebutkan bahwa daerah itu menempati urutan ketiga termiskin di Indonesia setelah Papua dan Papua Barat. Persentase penduduk miskin NTT mencapai 22,01 persen dari total penduduk daerah itu sekitar 5,2 juta jiwa. Tanggapan bernada pro maupun kontra kemudian bermunculan dari sejumlah pihak baik politikus, birokrat, akademisi, praktisi, agamawan, LSM dan lain-lain.
Jika ditelaah, sebenarnya Pemerintah Provinsi NTT memiliki kepedulian yang kuat terhadap isu kemiskinan. Banyak program pembangunan yang secara implisit maupun eksplisit sarat dengan nuansa penanggulangan kemiskinan yang sudah dirancang dan digulirkan oleh para pemimpin daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ada Gerakan Penghijauan atau Komando Gerakan Makmur (KOGM) pada era Gubernur W.J. Lalamentik (1958-1966), Program Swasembada Pangan (beras) era Gubernur El Tari (1966-1978).
Operasi Nusa Makmur, Operasi Nusa Hijau dan Operasi Nusa Sehat di era pemerintahan Gubernur Ben Mboi (1978-1988), Gerakan Meningkatkan Pendapatan Asli Rakyat (Gempar) dan Gerakan Membangun Desa (Gerbades) pada era Gubernur Hendrik Fernandez.
Hingga program-program pembangunan daerah yang berlandaskan pada filosofi 'membangun dari apa yang ada dan dimiliki rakyat' oleh Gubenur Piet A. Tallo, dan di era Gubernur Frans Lebu Raya saat ini kita mengenal program Desa Mandiri Anggur Merah (DeMAM) yang diluncurkan pada 2011.
Secara keseluruhan, kinerja program-program tersebut sebetulnya sudah cukup baik. Pada tahun 2010, hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS menempatkan NTT pada peringkat 29 dari 33 provinsi dengan persentase kemiskinan mencapai 23,03 persen.
Berada di atas Provinsi Gorontalo (23,19 persen), Maluku (27,74 persen), Papua Barat (34,88 persen) dan Papua (36,80 persen).
Namun memasuki tahun 2017 atau kurang lebih 6 tahun kemudian Provinsi Gorontalo dan Maluku mampu bangkit, menyalip dan melejit meninggalkan Provinsi NTT. Sementara Nusa Tenggara Timur yang diharapkan lebih baik lagi peringkatnya secara nasional malah melorot bersama Papua dan Papua Barat di urutan paling bawah.
Pertanyaannya adalah mengapa NTT tidak bisa bangkit dari keterpurukannya? Peneliti dari Perkumpulan Prakarsa Nusa Tenggara Timur (NTT) Victoria Fanggidae mencatat, sejumlah persoalan menjadi faktor penyebab bertambahnya orang miskin di daerah ini dari waktu ke waktu.
Faktor-faktor penyebab itu antara lain, bahan bakar atau energi untuk memasak, Sumber penerangan, akses air bersih dan fasilitas sanitasi, pendidikan, kesehatan, dan standar hidup serta pendapatan yang tidak layak.
Pemicunya, kata Magister Development Studies University of Melbourne Australia itu, adalah masalah sulitnya akses bahan bakar atau energi untuk memasak bagi masyarakat miskin NTT menjadi indikator paling kritis. Penyebab berikutnya, kata Ria panggilan Victoria Fanggidae, penduduk miskin yang tidak dapat mengakses bahan bakar layak tidak berubah di antaranya pada tahun 2012 ada 99,9 persen penduduk miskin tidak dapat mengakses bahan bakar untuk memasak yang layak, tahun 2014 menjadi 99,8 persen.
Faktor pemicu berikutnya, kata Mahasiswi Doktoral jurusan School of Social and Political Science pada University of Melbourne Australia ini adalah sumber penerangan sebagai indikator kedua paling kritis yaitu lebih kurang 87,2 persen penduduk miskin tidak memiliki sumber penerangan yang layak.
Selain itu, lebih dari dua pertiga (68,7 persen) penduduk miskin tidak punya akses air bersih dan fasilitas sanitasi (67,4 persen) yang layak.
Gubernur Nusa Tenggara Timur, Frans Lebu Raya mengatakan, untuk menurunkan angka kemiskinan di suatu daerah bukanlah pekerjaan yang mudah.
"Kalau bicara tentang kemiskinan, saya harus jujur mengatakan bahwa menurunkan angka kemiskinan bukan perkara mudah. Terlalu banyak variabel yang harus dipenuhi," kata Lebu Raya.
Menurut dia, ada sekitar 14 syarat yang harus dipenuhi oleh seorang warga agar tidak dikategorikan sebagai warga miskin. Rumah misalnya, harus beratap seng, berlantai, berdinding batu dan sudah diplester, dilengkapi jamban. Ukuran rumahnya pun harus delapan meter persegi untuk setiap orang. Artinya, jika ada empat orang dalam satu rumah maka ukuran rumah mereka harus seluas sekitar 40 meter persegi.
"Kalau salah satu syarat dari bangunan rumah ini tidak terpenuhi maka penghuninya tetap masuk kategori miskin," kata Lebu Raya yang akan mengakhiri masa jabatannya sebagai Gubernur Nusa Tenggara Ttimur periode kedua ini.
Padahal, banyak perumahan yang dibangun developer yang saat ini ditempati warga berpenghasilan rendah, umumnya berukuran 21 meter persegi dan ditempati oleh satu keluarga, misal terdiri 3-5 orang.
"Ini baru syarat tempat tinggal bagi seorang warga, belum syarat lainnya yang harus dipenuhi," katanya menambahkan.
Akibatnya semakin banyak warga yang sulit memenuhi kriteria agar tidak tergolong sebagai warga miskin. (Ben/An/BT)
Tags
Aktual