Untuk kesekian kalinya ummat Islam di Jakarta khususnya dan warga negara RI pada umumnya, menunjukkan kekompakan mereka dalam menghadapi masalah-masalah di dalam negeri maupun persoalan luar negeri yang sedikit banyak berkaitan dengan Indonesia.
Pada hari Minggu, 17 Desember 2017, ratusan ribu bahkan bisa jadi jutaan muslim dan muslimah dari Jabodetabek dan daerah-daerah lain di Tanah Air berkumpul di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat dan kemudian beralih ke kawasan Monumen Nasional alias Monas, untuk "unjuk gigi" kepada negara-negara lain terutama negara adidaya Amerika Serikat setelah Presiden AS Donald Trump mengakui putusan Israel untuk memindahkan ibu kotanya dari Tel Aviv ke Yerusalam.
Bahkan gara-gara putusan Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu itu, maka kemudian Presiden Donald Trump berjanji akan memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalam.
Alasan atau dalih presiden teranyar negara adikuasa itu adalah beberapa presiden terdahulunya seperti Barrack Obama dan George Bush sebenarnya sudah mengakui Yerusalem sebagai pusat pemerintahan negara Yauhudi itu, tapi "ogah "memindahkan pusat pemerintahannya tersebut dari Tel Aviv ke Yerusalem. Keputusan Presiden AS yang terakhir itu kemudian mengakibatkan munculnya kritik bahkan kecaman dari berbagai pemerintahan baik yang warganya ummat muslim maupun bukan.
Sejak Sabtu (16/12) malam, ratusan ribu orang Indonesia mulai dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi atau Jabodetabek hingga Bandung, Kuningan, Surabaya, serta berbagai kota di Sumatera seperti Bandarlampung mulai mengalir deras, berdatangan ke arah ibu kota Jakarta.
Bisa dibilang 99,99 persen para peserta unjuk rasa itu mengenakan baju koko yang mencerminkan busana muslim serta muslimah yang hampir 100 persen berbaju khas Islam seperti baju panjang yang dilengkapi dengan kerudung yang kini lebih sering disebut hijab.
Tanpa dibayar alias dibiayai cukong mana pun juga atau partai politik yang mana saja, para peserta "Aksi Bela Palestina" harus rela mengocek dompet mereka masing-masing alias swabayar untuk membiayai perjalanan mereka ke ibu kota. Setelah sampai di ibu kota Betawi ini-- kalau beruntung" mereka bisa menikmati makan siang gratis yang disediakan panitia penyelenggara acara dan juga kelompok-kelompok warga yang secara sukarela memberikan sumbangan mulai dari air minum hingga makanan ala kadarnya. Kalau tak beruntung, maka mereka terpaksa harus merogoh lagi kantong pribadinya.
"Aksi Bela Palestina" yang diikuti ratusan ribu, bahkan bisa sampai lebih dari satu juta orang itu, pasti akan mengembalikan pikiran orang terhadap "aksi 212", yakni demonstrasi pada tanggal 2 Desember 2016 saat ratusan ribu orang berunjuk rasa juga di Jakarta untuk menuntut gubernur Jakarta Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama untuk diturunkan secara paksa dari "kursi empuknya" karena dinilai telah menghina ummat Islam Indonesia. Ahok saat itu mengomentari Surat Al Maidah, padahal penguasa pemerintahan DKI Jakarta tersebut sama sekali bukan pemeluk agama Islam sehingga tak patut sedikitpun untuk berujar tentang kitab suci ummat Islam itu.
Unjuk rasa 212 itu mengagetkan banyak diplomat asing yang bertugas di Jakarta karena mereka belum pernah melihat secara langsung betapa kompaknya ummat Islam di Jakarta khususnya dan Indonesia pada umumnya untuk menentang seorang kepala daerah.
Para diplomat itu merasa heran kenapa ummat Islam Indonesia begitu kompaknya-- solid bahasa gagahnya" untuk menghadapi satu orang pemimpin yang namanya Ahok. Namun pada akhirnya para diplomat itu mulai sadar atau hakan semakin sadar bahwa orang Islam tak mau "diinjak- injak" lagi.
Karena itu, "Aksi Bela Palestina" pada 17 Desember 2017 ini sangat pantas untuk dikaji atau direnungkan kenapa sampai begitu banyak ummat muslim yang sukarela turun ke Jakarta guna memprotes putusan Donald Trump mengenai Yerusalem.
Mungkin bisa dibilang bahwa salah satu penyebab utamanya adalah karena salah satu "shohib" atau "teman dekat" Presiden AS itu di Tanah Air yakni Ketua DPR nonaktif Setya Novanto kini tinggal menunggu nasib untuk "dibuang alias digusur" dari kursi empuknya di Senayan Jakarta karena diduga ikut terlibat dalam kasus korupsi kartu tanda penduduk (KTP) elektronik yang nilainya tidak kurang dari Rp2,3 triliun dari nilai totalnya Rp5,9 triliun.
Ummat Islam Indonesia Masyarakat di Tanah Air tentu masih ingat bahwa ketika Presiden Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya pada tanggal 21 Mei tahun 1998, praktis sama sekali tidak ada unjuk rasa atau demonstrasi yang khususnya dilakukan oleh rakyat terutama ummat Islam di Tanah Air.
Sebelum presiden Republik Indonesia itu turun dari tahta "kerajaanya" setelah berkuasa 32 tahun memang ada kerusuhan di Jakarta namun pada saat itu yang ada hanyalah demo-demo secara terbatas khususnya di jalan- jalan utama saja. Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie kemudian ditunjuk oleh Soeharto sebagai penggantinya.
Sejak saat itu, maka era reformasi mengenalkan masyarakat untuk bebas berdemonstrasi dalam kerangka tetap tertib, sopan dan tak mengganggu ketertiban umum. Karena itu mulai lahir berbagai partai politik, organisasi kemasyarakatan alias ormas yang bebas menunjukkan ekspresi mereka. Jika dahulu, kalau ingin berunjuk rasa harus minta izin kepada Kepolisian Republik Indonesia maka kini cukup menyampaikan surat pemberitahuan kepada polda atau polres setempat.
Karena kini ummat Islam Indonesia semakin menikmati pendidikan yang lebih baik maka akhirnya tingkat pengetahuan mereka terus membaik mulai dari masalah politik, ekonomi, kesejahteraan hingga pertahanan dan keamanan.
Ummat Islam di sini mendapat pelajaran, pengetahuan dari sekolah mulai sekolah umum seperti SD, SMP, SMA hingga SMK serta dari tokoh-tokoh agama mulai dari ustadz, kiai, habaib seperti Abdulah Gymnasiar alias Aam Gym. Yusuf Mansur dan lain-lain di masjid ataupun mushalla. Para tokoh muda Islam itu mulai memberikan pengajaran bahkan pendidikan mulai dari masalah agama Islam sendiri misalnya tentang surat-surat di kitab suci Al Quran, ajaran Nabi Muhammad SAW atau hadist.
Selain itu juga ada tokoh-tokoh senior seperti Quraish Shihab, serta Ma'ruf Amin.
Tentu saja dengan belajar atau menimba ilmu agama dan ilmu-ilmu umum itu sepantasnyalah jika otak orang-orang Islam kian terisi dengan ilmu yang benar-benar ilmu dan bukannya "ajaran sesat".
Karena itu, sangatlah tidak mengherankan apabila aksi-aksi unjuk rasa semakin berbobot sehingga tak lagi menjadi "aksi sekadar aksi" untuk unjuk rasa atau unjuk kekuatan. Maka tentu saja kepada seluruh ummat Islam sangat diharapkan agar dengan bekal ilmu agama dan ilmu umum maka apa pun tujuan unjuk rasa atau demonstrasi itu akan semakin baik dan tertib serta bukan "unjuk kekuatan" apalagi pemerintahan yang sekarang ini yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla adalah benar-benar hasil pemilihan presiden alias pilpres yang makin bersih.
Kalau misalnya ummat Islam ingin berunjuk rasa di depan sebuah kedutaan besar sebuah negara sahabat atau organisasi internasional seperti PBB atau UNESCO maka tak perlulah bertindak berlebihan misalnya sampai harus membakar ban bekas atau berusaha merusak fasilitas yang ada di kantor perwakilan negara sahabat itu ataupun organisasi internasional apa pun juga.
Jika ummat Islam Indonesia berunjuk rasa secara bertanggung jawab maka dunia internasional bisa yakin bahwa muslim dan muslimah di Tanah Air yang merupakan mayoritas karena sekitar 85 persen penduduk Indonesia beragama Islam, benar-benar menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab, tidak akan "semau gue", maka tentu negara ini akan semakin dihormati, bahkan disegani dan bukannya ditakuti seperti acapkali dirasakan.
Pada hari Minggu, 17 Desember 2017, ratusan ribu bahkan bisa jadi jutaan muslim dan muslimah dari Jabodetabek dan daerah-daerah lain di Tanah Air berkumpul di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat dan kemudian beralih ke kawasan Monumen Nasional alias Monas, untuk "unjuk gigi" kepada negara-negara lain terutama negara adidaya Amerika Serikat setelah Presiden AS Donald Trump mengakui putusan Israel untuk memindahkan ibu kotanya dari Tel Aviv ke Yerusalam.
Bahkan gara-gara putusan Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu itu, maka kemudian Presiden Donald Trump berjanji akan memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalam.
Alasan atau dalih presiden teranyar negara adikuasa itu adalah beberapa presiden terdahulunya seperti Barrack Obama dan George Bush sebenarnya sudah mengakui Yerusalem sebagai pusat pemerintahan negara Yauhudi itu, tapi "ogah "memindahkan pusat pemerintahannya tersebut dari Tel Aviv ke Yerusalem. Keputusan Presiden AS yang terakhir itu kemudian mengakibatkan munculnya kritik bahkan kecaman dari berbagai pemerintahan baik yang warganya ummat muslim maupun bukan.
Sejak Sabtu (16/12) malam, ratusan ribu orang Indonesia mulai dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi atau Jabodetabek hingga Bandung, Kuningan, Surabaya, serta berbagai kota di Sumatera seperti Bandarlampung mulai mengalir deras, berdatangan ke arah ibu kota Jakarta.
Bisa dibilang 99,99 persen para peserta unjuk rasa itu mengenakan baju koko yang mencerminkan busana muslim serta muslimah yang hampir 100 persen berbaju khas Islam seperti baju panjang yang dilengkapi dengan kerudung yang kini lebih sering disebut hijab.
Tanpa dibayar alias dibiayai cukong mana pun juga atau partai politik yang mana saja, para peserta "Aksi Bela Palestina" harus rela mengocek dompet mereka masing-masing alias swabayar untuk membiayai perjalanan mereka ke ibu kota. Setelah sampai di ibu kota Betawi ini-- kalau beruntung" mereka bisa menikmati makan siang gratis yang disediakan panitia penyelenggara acara dan juga kelompok-kelompok warga yang secara sukarela memberikan sumbangan mulai dari air minum hingga makanan ala kadarnya. Kalau tak beruntung, maka mereka terpaksa harus merogoh lagi kantong pribadinya.
"Aksi Bela Palestina" yang diikuti ratusan ribu, bahkan bisa sampai lebih dari satu juta orang itu, pasti akan mengembalikan pikiran orang terhadap "aksi 212", yakni demonstrasi pada tanggal 2 Desember 2016 saat ratusan ribu orang berunjuk rasa juga di Jakarta untuk menuntut gubernur Jakarta Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama untuk diturunkan secara paksa dari "kursi empuknya" karena dinilai telah menghina ummat Islam Indonesia. Ahok saat itu mengomentari Surat Al Maidah, padahal penguasa pemerintahan DKI Jakarta tersebut sama sekali bukan pemeluk agama Islam sehingga tak patut sedikitpun untuk berujar tentang kitab suci ummat Islam itu.
Unjuk rasa 212 itu mengagetkan banyak diplomat asing yang bertugas di Jakarta karena mereka belum pernah melihat secara langsung betapa kompaknya ummat Islam di Jakarta khususnya dan Indonesia pada umumnya untuk menentang seorang kepala daerah.
Para diplomat itu merasa heran kenapa ummat Islam Indonesia begitu kompaknya-- solid bahasa gagahnya" untuk menghadapi satu orang pemimpin yang namanya Ahok. Namun pada akhirnya para diplomat itu mulai sadar atau hakan semakin sadar bahwa orang Islam tak mau "diinjak- injak" lagi.
Karena itu, "Aksi Bela Palestina" pada 17 Desember 2017 ini sangat pantas untuk dikaji atau direnungkan kenapa sampai begitu banyak ummat muslim yang sukarela turun ke Jakarta guna memprotes putusan Donald Trump mengenai Yerusalem.
Mungkin bisa dibilang bahwa salah satu penyebab utamanya adalah karena salah satu "shohib" atau "teman dekat" Presiden AS itu di Tanah Air yakni Ketua DPR nonaktif Setya Novanto kini tinggal menunggu nasib untuk "dibuang alias digusur" dari kursi empuknya di Senayan Jakarta karena diduga ikut terlibat dalam kasus korupsi kartu tanda penduduk (KTP) elektronik yang nilainya tidak kurang dari Rp2,3 triliun dari nilai totalnya Rp5,9 triliun.
Ummat Islam Indonesia Masyarakat di Tanah Air tentu masih ingat bahwa ketika Presiden Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya pada tanggal 21 Mei tahun 1998, praktis sama sekali tidak ada unjuk rasa atau demonstrasi yang khususnya dilakukan oleh rakyat terutama ummat Islam di Tanah Air.
Sebelum presiden Republik Indonesia itu turun dari tahta "kerajaanya" setelah berkuasa 32 tahun memang ada kerusuhan di Jakarta namun pada saat itu yang ada hanyalah demo-demo secara terbatas khususnya di jalan- jalan utama saja. Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie kemudian ditunjuk oleh Soeharto sebagai penggantinya.
Sejak saat itu, maka era reformasi mengenalkan masyarakat untuk bebas berdemonstrasi dalam kerangka tetap tertib, sopan dan tak mengganggu ketertiban umum. Karena itu mulai lahir berbagai partai politik, organisasi kemasyarakatan alias ormas yang bebas menunjukkan ekspresi mereka. Jika dahulu, kalau ingin berunjuk rasa harus minta izin kepada Kepolisian Republik Indonesia maka kini cukup menyampaikan surat pemberitahuan kepada polda atau polres setempat.
Karena kini ummat Islam Indonesia semakin menikmati pendidikan yang lebih baik maka akhirnya tingkat pengetahuan mereka terus membaik mulai dari masalah politik, ekonomi, kesejahteraan hingga pertahanan dan keamanan.
Ummat Islam di sini mendapat pelajaran, pengetahuan dari sekolah mulai sekolah umum seperti SD, SMP, SMA hingga SMK serta dari tokoh-tokoh agama mulai dari ustadz, kiai, habaib seperti Abdulah Gymnasiar alias Aam Gym. Yusuf Mansur dan lain-lain di masjid ataupun mushalla. Para tokoh muda Islam itu mulai memberikan pengajaran bahkan pendidikan mulai dari masalah agama Islam sendiri misalnya tentang surat-surat di kitab suci Al Quran, ajaran Nabi Muhammad SAW atau hadist.
Selain itu juga ada tokoh-tokoh senior seperti Quraish Shihab, serta Ma'ruf Amin.
Tentu saja dengan belajar atau menimba ilmu agama dan ilmu-ilmu umum itu sepantasnyalah jika otak orang-orang Islam kian terisi dengan ilmu yang benar-benar ilmu dan bukannya "ajaran sesat".
Karena itu, sangatlah tidak mengherankan apabila aksi-aksi unjuk rasa semakin berbobot sehingga tak lagi menjadi "aksi sekadar aksi" untuk unjuk rasa atau unjuk kekuatan. Maka tentu saja kepada seluruh ummat Islam sangat diharapkan agar dengan bekal ilmu agama dan ilmu umum maka apa pun tujuan unjuk rasa atau demonstrasi itu akan semakin baik dan tertib serta bukan "unjuk kekuatan" apalagi pemerintahan yang sekarang ini yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla adalah benar-benar hasil pemilihan presiden alias pilpres yang makin bersih.
Kalau misalnya ummat Islam ingin berunjuk rasa di depan sebuah kedutaan besar sebuah negara sahabat atau organisasi internasional seperti PBB atau UNESCO maka tak perlulah bertindak berlebihan misalnya sampai harus membakar ban bekas atau berusaha merusak fasilitas yang ada di kantor perwakilan negara sahabat itu ataupun organisasi internasional apa pun juga.
Jika ummat Islam Indonesia berunjuk rasa secara bertanggung jawab maka dunia internasional bisa yakin bahwa muslim dan muslimah di Tanah Air yang merupakan mayoritas karena sekitar 85 persen penduduk Indonesia beragama Islam, benar-benar menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab, tidak akan "semau gue", maka tentu negara ini akan semakin dihormati, bahkan disegani dan bukannya ditakuti seperti acapkali dirasakan.
Arnaz Firman
Tags
Aktual