Jakarta, 19/12 (Benhil) - Kejadian Luar Biasa difteri yang diberlakukan di sejumlah provinsi membuat berbagai kalangan terkejut, mengapa penyakit yang telah dicegah sejak lama melalui program vaksinasi bisa kembali menjangkiti anak-anak dalam skala yang luas. Difteri sudah dikenal sejak lama merupakan salah satu penyakit yang menyerang khususnya anak-anak dibawah 18 tahun lebih khusus lagi mereka yang berusia di bawah lima tahun.
Data dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) per 16 Desember 2017 terdapat 26 provinsi dan 130 kabupaten yang ditemukan kasus difteri (Corynebacterium diphtheriae).
Kasus yang terbanyak di Jawa Timur dan kemudian disusul di Provinsi Jawa Barat.
Dinas Kesehatan DKI Jakarta misalnya, menghadapi kasus penyakit tersebut mengimbau masyarakat yang menderita gejala difteri agar segera memeriksakan diri ke puskesmas. Kepala Dinas Kesehatan DKI Koesmedi Priharto,pekan lalu mengatakan masyarakat jangan ragu untuk mengunjungi fasilitas kesehatan terdekat bila merasa ada gejala yang terkait.
Secara umum, dia menuturkan gejala penyakit difteri hampir sama seperti penyakit flu yang disertai dengan peningkatan suhu tubuh dan nyeri pada tenggorokan dengan tanda-tanda ruam berwarna putih keabu-abuan pada bagian amandel kiri dan kanan.
Lebih lanjut, Koesmedi pun memastikan warga pemegang BPJS yang datang ke puskesmas itu bisa mendapatkan pengobatan tanpa dipungut biaya atau gratis.
Dinas Kesehatan DKI Jakarta saat ini juga meminta seluruh puskesmas yang ada di wilayah ibukota agar terus meningkatkan kewaspadaan terhadap penyakit difteri.
Sepanjang 2017 di DKI Jakarta saja tercatat ada 22 pasien yang menderita difteri. Oleh karena itu, semua puskesmas diminta waspada, karena puskesmas itu langsung berhubungan dengan masyarakat, tutur Koesmedi.
Koesmedi mengingatkan bahwa apabila ada satu orang yang terjangkit penyakit difteri, maka harus segera dilakukan tindakan surveillance, yang berarti melacak hingga sejauh mana penyakit itu menjangkiti orang tersebut serta asal atau sumber penyakit tersebut.
Kesadaran Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam keterangannya mengatakan salah satu penyeban munculnya masalah ini adalah cakupan imunisasi yang belum merata dan belum sesuai dengan target serta masih ada pendapat yang keliru dalam masyarakat mengenai imunisasi serta kekhawatiran masyarakat terkait efektivitas dan keamanan vaksin anak.
Dalam riset kesehatan Dasar tahun 2013 dilaporkan alasan tidak mengikuti imunisasi karena warga tidak mengijinkan takut anak menjadi panas/demam, sering sakit sehungga tidak dibawa ke tempat-tempat imunisasi.
Ada pula alasan tidak mengetahui tempat imunisasi, lokasi yang jauh dan ada pula yang menentang imunisasi dengan berbagai alasan lainnya.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek meminta kesadaran akan pentingnya imunisasi kepada kelompok masyarakat yang masih menolak imunisasi atau antivaksin menyusul adanya kejadian luar biasa (KLB) difteri di Indonesia.
Nila pekan lalu mengingatkan kepada masyarakat yang menolak anaknya diimunisasi bahwa program imunisasi bermanfaat bagi orang lain dan jika tidak dilaksanakan bisa membahayakan orang lain. Ia menegaskan bahwa imunisasi, dengan menggunakan vaksin yang masih diperdebatkan kandungannya oleh sebagian masyarakat antivaksin, memiliki lebih banyak kemaslahatan ketimbang mudharatnya.
Nila juga menyampaikan bahwa imunisasi merupakan upaya memenuhi hak anak untuk sehat.
Menurut Menkes, KLB difteri terjadi karena adanya kesenjangan imunitas atau "immunity gap" di kalangan penduduk suatu daerah.
"Keadaan ini terjadi karena ada kelompok yang tidak mendapatkan imunisasi atau status imunisasinya tidak lengkap sehingga tidak terbentuk kekebalan tubuh terhadap infeksi bakteri difteri, sehingga mudah tertular difteri," tutur Menkes.
Nila menegaskan meski Difteri sangat mudah menular, berbahaya dan dapat menyebabkan kematian, Difteri ini dapat dicegah dengan imunisasi.
Sementara itu Ketua PP Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr dr Aman Bhakti Pulungan, Sp.A(K) berharap Presiden Joko Widodo turun tangan mengatasi Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri dengan turut mencanangkan imunisasi ulang (Outbreak Response Immunization/ORI).
Aman mengatakan, jika ORI ini canangkan oleh Kepala Negara, dalan enam bulan bisa selesai.
Ia mencontohkan imunisasi "Measless Rubella" (MR) yang turut serta dilaksanakan oleh Presiden, dan penanganan vaksin palsu yang diinstruksikan langsung oleh Presiden bisa berjalan dan diselesaikan dengan cepat. Oleh karena itu, Aman mengharapkan Presiden Joko Widodo berperan serta dalam program imunisasi ulang difteri supaya pelaksanan berjalan dengan cepat.
Terlebih lagi, penyakit difteri ini belum berhenti mewabah dan malah terus bertambah. Data dari IDI mencatat kasus difteri terjadi di 142 kabupaten-kota di 28 provinsi seluruh Indonesia dengan lebih dari 600 pasien dirawat di rumah sakit dan 40 kasus berakhir kematian.
Dia menjelaskan sampai saat ini cakupan ORI yang mulai dilaksanakan pada 11 Desember 2017 capaiannya masih jauh yang diharapkan. "Di Jawa Barat belum sampai 20 persen," kata Aman.
Selain itu, anak-anak sekolah saat ini juga sudah memasuki masa liburan sehingga pelaksanaan ORI tidak dilaksanakan sekolah.
Aman menilai apabila tugas pelaksanaan ORI difteri dibebankan hanya di puskesmas kurang efektif karena tergantung dengan kesadaran masyarakat yang membawa anaknya ke fasilitas kesehatan.
Vaksin ulang dalam rangka penanggulangan wabah sendiri, menurut IDAI, untuk penanganan difteri, sasarannya adalah anak usia 1 tahun hingga kurang dari 19 tahun tanpa memandang riwayat imunisasi.
Vaksinasi tersebut dilakukan dengan menyuntikkan vaksin DPT atau DT atau Td sesuai usia sebanyak 3 kali. Suntikan pertama misalnya, dilakukan pada Desember ini maka suntikan selanjutnya diberikan 1 kali dengan jarak 1 bulan dari suntikan pertama dan suntikan ketiga diberikan berjaran 6 bulan setelah suntikan kedua. Vaksinasi ulang KLB Difteri itu dilakukan di sarana kesehatan pemerintah dan sekolah. Saran kesehatan non pemerintah atau swasta dapat melakukan ORI dengan berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat.
Upaya vaksinasi ribuan anak dalam kurun waktu puluhan tahun bisa saja gagal hanya karena pemahaman yang kurang tepat tentang vaksinasi dan berbagai sebab lainnya.
Kini yang diperlukan bukan saling menyalahkan, namun gerakan bersama untuk melindungi anak-anak dari bahaya penularan difteri. Bangsa yang besar tak hanya ditentukan dari cara mereka menghormati pahlawannya, namun juga kemampuan menghadapi masalah khususnya yang terkait kepentingan nasional, termasuk kesehatan. (Ben/An)
Panca Hari Prabowo
Data dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) per 16 Desember 2017 terdapat 26 provinsi dan 130 kabupaten yang ditemukan kasus difteri (Corynebacterium diphtheriae).
Kasus yang terbanyak di Jawa Timur dan kemudian disusul di Provinsi Jawa Barat.
Dinas Kesehatan DKI Jakarta misalnya, menghadapi kasus penyakit tersebut mengimbau masyarakat yang menderita gejala difteri agar segera memeriksakan diri ke puskesmas. Kepala Dinas Kesehatan DKI Koesmedi Priharto,pekan lalu mengatakan masyarakat jangan ragu untuk mengunjungi fasilitas kesehatan terdekat bila merasa ada gejala yang terkait.
Secara umum, dia menuturkan gejala penyakit difteri hampir sama seperti penyakit flu yang disertai dengan peningkatan suhu tubuh dan nyeri pada tenggorokan dengan tanda-tanda ruam berwarna putih keabu-abuan pada bagian amandel kiri dan kanan.
Lebih lanjut, Koesmedi pun memastikan warga pemegang BPJS yang datang ke puskesmas itu bisa mendapatkan pengobatan tanpa dipungut biaya atau gratis.
Dinas Kesehatan DKI Jakarta saat ini juga meminta seluruh puskesmas yang ada di wilayah ibukota agar terus meningkatkan kewaspadaan terhadap penyakit difteri.
Sepanjang 2017 di DKI Jakarta saja tercatat ada 22 pasien yang menderita difteri. Oleh karena itu, semua puskesmas diminta waspada, karena puskesmas itu langsung berhubungan dengan masyarakat, tutur Koesmedi.
Koesmedi mengingatkan bahwa apabila ada satu orang yang terjangkit penyakit difteri, maka harus segera dilakukan tindakan surveillance, yang berarti melacak hingga sejauh mana penyakit itu menjangkiti orang tersebut serta asal atau sumber penyakit tersebut.
Kesadaran Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam keterangannya mengatakan salah satu penyeban munculnya masalah ini adalah cakupan imunisasi yang belum merata dan belum sesuai dengan target serta masih ada pendapat yang keliru dalam masyarakat mengenai imunisasi serta kekhawatiran masyarakat terkait efektivitas dan keamanan vaksin anak.
Dalam riset kesehatan Dasar tahun 2013 dilaporkan alasan tidak mengikuti imunisasi karena warga tidak mengijinkan takut anak menjadi panas/demam, sering sakit sehungga tidak dibawa ke tempat-tempat imunisasi.
Ada pula alasan tidak mengetahui tempat imunisasi, lokasi yang jauh dan ada pula yang menentang imunisasi dengan berbagai alasan lainnya.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek meminta kesadaran akan pentingnya imunisasi kepada kelompok masyarakat yang masih menolak imunisasi atau antivaksin menyusul adanya kejadian luar biasa (KLB) difteri di Indonesia.
Nila pekan lalu mengingatkan kepada masyarakat yang menolak anaknya diimunisasi bahwa program imunisasi bermanfaat bagi orang lain dan jika tidak dilaksanakan bisa membahayakan orang lain. Ia menegaskan bahwa imunisasi, dengan menggunakan vaksin yang masih diperdebatkan kandungannya oleh sebagian masyarakat antivaksin, memiliki lebih banyak kemaslahatan ketimbang mudharatnya.
Nila juga menyampaikan bahwa imunisasi merupakan upaya memenuhi hak anak untuk sehat.
Menurut Menkes, KLB difteri terjadi karena adanya kesenjangan imunitas atau "immunity gap" di kalangan penduduk suatu daerah.
"Keadaan ini terjadi karena ada kelompok yang tidak mendapatkan imunisasi atau status imunisasinya tidak lengkap sehingga tidak terbentuk kekebalan tubuh terhadap infeksi bakteri difteri, sehingga mudah tertular difteri," tutur Menkes.
Nila menegaskan meski Difteri sangat mudah menular, berbahaya dan dapat menyebabkan kematian, Difteri ini dapat dicegah dengan imunisasi.
Sementara itu Ketua PP Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr dr Aman Bhakti Pulungan, Sp.A(K) berharap Presiden Joko Widodo turun tangan mengatasi Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri dengan turut mencanangkan imunisasi ulang (Outbreak Response Immunization/ORI).
Aman mengatakan, jika ORI ini canangkan oleh Kepala Negara, dalan enam bulan bisa selesai.
Ia mencontohkan imunisasi "Measless Rubella" (MR) yang turut serta dilaksanakan oleh Presiden, dan penanganan vaksin palsu yang diinstruksikan langsung oleh Presiden bisa berjalan dan diselesaikan dengan cepat. Oleh karena itu, Aman mengharapkan Presiden Joko Widodo berperan serta dalam program imunisasi ulang difteri supaya pelaksanan berjalan dengan cepat.
Terlebih lagi, penyakit difteri ini belum berhenti mewabah dan malah terus bertambah. Data dari IDI mencatat kasus difteri terjadi di 142 kabupaten-kota di 28 provinsi seluruh Indonesia dengan lebih dari 600 pasien dirawat di rumah sakit dan 40 kasus berakhir kematian.
Dia menjelaskan sampai saat ini cakupan ORI yang mulai dilaksanakan pada 11 Desember 2017 capaiannya masih jauh yang diharapkan. "Di Jawa Barat belum sampai 20 persen," kata Aman.
Selain itu, anak-anak sekolah saat ini juga sudah memasuki masa liburan sehingga pelaksanaan ORI tidak dilaksanakan sekolah.
Aman menilai apabila tugas pelaksanaan ORI difteri dibebankan hanya di puskesmas kurang efektif karena tergantung dengan kesadaran masyarakat yang membawa anaknya ke fasilitas kesehatan.
Vaksin ulang dalam rangka penanggulangan wabah sendiri, menurut IDAI, untuk penanganan difteri, sasarannya adalah anak usia 1 tahun hingga kurang dari 19 tahun tanpa memandang riwayat imunisasi.
Vaksinasi tersebut dilakukan dengan menyuntikkan vaksin DPT atau DT atau Td sesuai usia sebanyak 3 kali. Suntikan pertama misalnya, dilakukan pada Desember ini maka suntikan selanjutnya diberikan 1 kali dengan jarak 1 bulan dari suntikan pertama dan suntikan ketiga diberikan berjaran 6 bulan setelah suntikan kedua. Vaksinasi ulang KLB Difteri itu dilakukan di sarana kesehatan pemerintah dan sekolah. Saran kesehatan non pemerintah atau swasta dapat melakukan ORI dengan berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat.
Upaya vaksinasi ribuan anak dalam kurun waktu puluhan tahun bisa saja gagal hanya karena pemahaman yang kurang tepat tentang vaksinasi dan berbagai sebab lainnya.
Kini yang diperlukan bukan saling menyalahkan, namun gerakan bersama untuk melindungi anak-anak dari bahaya penularan difteri. Bangsa yang besar tak hanya ditentukan dari cara mereka menghormati pahlawannya, namun juga kemampuan menghadapi masalah khususnya yang terkait kepentingan nasional, termasuk kesehatan. (Ben/An)
Panca Hari Prabowo
Tags
Kesehatan