Gedung Mahkamah Konstitusi |
Jakarta, 10/11 (Benhil) - Sejumlah terpidana tindak pidana korupsi yang menjadi warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung mengajukan uji materiil atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan).
Para Pemohon tersebut antara lain mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, Advokat Otto Cornelis Kaligis, mantan Ketua DPD Irman Gusman, mantan Gubernur Papua Barat Periode 2009-2014 Barnabas Suebu, dan mantan Sekjen Kementerian ESDM Waryono Karno.
Melalui kuasa hukum para Pemohon, Muhammad Rullyandi, para Pemohon menyampaikan bahwa norma Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan telah menimbulkan kerugian bagi hak konstitusional para Pemohon.
Adapun Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan menyatakan, "narapidana berhak: i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)".
Para Pemohon merasa ketentuan a quo telah membatasi pemberian remisi terhadap mereka sebagai terpidana kasus korupsi, padahal seharusnya ketentuan tersebut berlaku bagi seluruh warga binaan tanpa diskriminasi, mengingat dalam ketentuan tersebut tidak ada tertulis bahwa narapidana kasus korupsi tidak boleh mendapatkan remisi.
Selain itu para pemohon juga berpendapat bahwa ketentuan a quo tidak sejalan dengan pasal 34A ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang syarat pemberian remisi bagi narapidana korupsi. Syarat dari pemberian remisi dalam ketentuan tersebut adalah narapidana akan diberikan remisi jika bersedia bekerja sama sebagai "justice collaborator", dan narapidana yang bersangkutan telah membayar lunas denda serta uang pengganti.
Dalam kasus korupsi, pihak yang berwenang untuk menentukan "justice collaborator" adalah penegak hukum yang dalam hal ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Terkait dengan hal ini, Rullyandi menyebutkan ketentuan ini jelas merugikan pihaknya, karena KPK dinilai para pemohon akan bersikap subjektif dalam menentukan "justice collaborator".
Oleh karena itu, para Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "pemberian remisi berlaku juga untuk narapidana kasus korupsi".
Mahkamah Tidak Berwenang Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UU tentang Permasyarakatan memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengatur syarat dan tata cara pelaksanaan remisi.
"Berdasarkan hal ini pemerintah memperoleh kewenangan delegasi untuk mengatur pemberian remisi tersebut," ujar Hakim Konstitusi Manahan Sitompul saat membacakan pertimbangan Mahkamah.
Merujuk pada delegasi tersebut dan berdasarkan ketentuan a quo, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang secara lebih detail memberikan panduan pelaksanaan pemberian remisi.
Manahan memaparkan bahwa hak-hak narapidana termasuk dengan remisi, termasuk dalam hak hukum yang diberikan oleh negara kepada narapidana sepanjang telah memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana tertuang dalam ketentuan a quo. Dengan demikian, hak tersebut termasuk remisi, bukanlah hak yang tergolong ke dalam hak asasi manusia dan bukan tergolong hak konstitusional.
"Bahwa setelah membaca dengan seksama permohonan para Pemohon, hal yang dipersoalkan sesungguhnya adalah peraturan pelaksanaan dari UU Permasyarakatan yang telah didelegasikan kepada peraturan pemerintah," ujar Manahan.
Oleh sebab itu Mahkamah menyatakan bahwa keberatan terhadap ketentuan a quo berada di luar yurisdiksi Mahkamah untuk memeriksa, mengadili dan memutus. Berdasarkan penilaian tersebut, amar putusan Mahkamah menyatakan menolak permohonan para pemohon.
"Amar putusan mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Mahkamah dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa meskipun para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, namun Mahkamah tidak memiliki wewenang untuk mengadili permohonan tersebut.
Tidak Diskriminatif Apabila dikaitkan dengan pembatasan, jangankan terhadap hak hukum (legal rights), bahkan hak yang tergolong hak asasi pun dapat dilakukan pembatasan sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan diatur dengan undang-undang.
Dalam batas penalaran yang wajar, Manahan menyebutkan suatu norma dikatakan mengandung materi muatan yang bersifat diskriminatif apabila norma UU tersebut memuat rumusan yang membedakan perlakuan antara seseorang atau sekelompok orang lain semata-mata didasarkan atas perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Lebih lanjut Mahkamah berpendapat bahwa rumusan Pasal 14 ayat (1) UU Permasyarakatan, secara khusus Pasal 14 ayat (1) huruf i, sudah sangat jelas sebab isinya hanya memuat rincian tentang hak-hak narapidana, sehingga tidak mungkin ditafsirkan lain atau diberi pemaknaan berbeda selain apa yang tersurat dalam rumusan norma a quo, lebih-lebih untuk ditafsirkan atau didalilkan diskriminatif.
"Dikatakan demikian, sebab, norma a quo secara jelas memerinci hak-hak apa saja yang dapat diberikan kepada narapidana sesuai dengan filosofi pemasyarakatan yang dianut oleh undang-undang a quo," jelas Manahan.
Atas alasan tersebut Mahkamah menilai keberatan terhadap ketentuan yang diajukan para Pemohon telah berada di luar yurisdiksi Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutusnya.
Oleh karena permohonan a quo telah jelas, maka Mahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi untuk mendengarkan keterangan pihak-pihak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 54 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. (Ben/An)
Para Pemohon tersebut antara lain mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, Advokat Otto Cornelis Kaligis, mantan Ketua DPD Irman Gusman, mantan Gubernur Papua Barat Periode 2009-2014 Barnabas Suebu, dan mantan Sekjen Kementerian ESDM Waryono Karno.
Melalui kuasa hukum para Pemohon, Muhammad Rullyandi, para Pemohon menyampaikan bahwa norma Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan telah menimbulkan kerugian bagi hak konstitusional para Pemohon.
Adapun Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan menyatakan, "narapidana berhak: i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)".
Para Pemohon merasa ketentuan a quo telah membatasi pemberian remisi terhadap mereka sebagai terpidana kasus korupsi, padahal seharusnya ketentuan tersebut berlaku bagi seluruh warga binaan tanpa diskriminasi, mengingat dalam ketentuan tersebut tidak ada tertulis bahwa narapidana kasus korupsi tidak boleh mendapatkan remisi.
Selain itu para pemohon juga berpendapat bahwa ketentuan a quo tidak sejalan dengan pasal 34A ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang syarat pemberian remisi bagi narapidana korupsi. Syarat dari pemberian remisi dalam ketentuan tersebut adalah narapidana akan diberikan remisi jika bersedia bekerja sama sebagai "justice collaborator", dan narapidana yang bersangkutan telah membayar lunas denda serta uang pengganti.
Dalam kasus korupsi, pihak yang berwenang untuk menentukan "justice collaborator" adalah penegak hukum yang dalam hal ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Terkait dengan hal ini, Rullyandi menyebutkan ketentuan ini jelas merugikan pihaknya, karena KPK dinilai para pemohon akan bersikap subjektif dalam menentukan "justice collaborator".
Oleh karena itu, para Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 14 ayat (1) huruf i UU Pemasyarakatan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "pemberian remisi berlaku juga untuk narapidana kasus korupsi".
Mahkamah Tidak Berwenang Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UU tentang Permasyarakatan memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengatur syarat dan tata cara pelaksanaan remisi.
"Berdasarkan hal ini pemerintah memperoleh kewenangan delegasi untuk mengatur pemberian remisi tersebut," ujar Hakim Konstitusi Manahan Sitompul saat membacakan pertimbangan Mahkamah.
Merujuk pada delegasi tersebut dan berdasarkan ketentuan a quo, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang secara lebih detail memberikan panduan pelaksanaan pemberian remisi.
Manahan memaparkan bahwa hak-hak narapidana termasuk dengan remisi, termasuk dalam hak hukum yang diberikan oleh negara kepada narapidana sepanjang telah memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana tertuang dalam ketentuan a quo. Dengan demikian, hak tersebut termasuk remisi, bukanlah hak yang tergolong ke dalam hak asasi manusia dan bukan tergolong hak konstitusional.
"Bahwa setelah membaca dengan seksama permohonan para Pemohon, hal yang dipersoalkan sesungguhnya adalah peraturan pelaksanaan dari UU Permasyarakatan yang telah didelegasikan kepada peraturan pemerintah," ujar Manahan.
Oleh sebab itu Mahkamah menyatakan bahwa keberatan terhadap ketentuan a quo berada di luar yurisdiksi Mahkamah untuk memeriksa, mengadili dan memutus. Berdasarkan penilaian tersebut, amar putusan Mahkamah menyatakan menolak permohonan para pemohon.
"Amar putusan mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Mahkamah dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa meskipun para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, namun Mahkamah tidak memiliki wewenang untuk mengadili permohonan tersebut.
Tidak Diskriminatif Apabila dikaitkan dengan pembatasan, jangankan terhadap hak hukum (legal rights), bahkan hak yang tergolong hak asasi pun dapat dilakukan pembatasan sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan diatur dengan undang-undang.
Dalam batas penalaran yang wajar, Manahan menyebutkan suatu norma dikatakan mengandung materi muatan yang bersifat diskriminatif apabila norma UU tersebut memuat rumusan yang membedakan perlakuan antara seseorang atau sekelompok orang lain semata-mata didasarkan atas perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Lebih lanjut Mahkamah berpendapat bahwa rumusan Pasal 14 ayat (1) UU Permasyarakatan, secara khusus Pasal 14 ayat (1) huruf i, sudah sangat jelas sebab isinya hanya memuat rincian tentang hak-hak narapidana, sehingga tidak mungkin ditafsirkan lain atau diberi pemaknaan berbeda selain apa yang tersurat dalam rumusan norma a quo, lebih-lebih untuk ditafsirkan atau didalilkan diskriminatif.
"Dikatakan demikian, sebab, norma a quo secara jelas memerinci hak-hak apa saja yang dapat diberikan kepada narapidana sesuai dengan filosofi pemasyarakatan yang dianut oleh undang-undang a quo," jelas Manahan.
Atas alasan tersebut Mahkamah menilai keberatan terhadap ketentuan yang diajukan para Pemohon telah berada di luar yurisdiksi Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutusnya.
Oleh karena permohonan a quo telah jelas, maka Mahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi untuk mendengarkan keterangan pihak-pihak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 54 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. (Ben/An)
Maria Rosari
Tags
Hukum