Jakarta, 18/10 (Benhil) - Inspektur Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Sugito meminta agar menjalani masa hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Cibinong bila dinyatakan bersalah.
"Saya mohon ditempatkan di Lapas Cibinong, Bogor, dengan pertimbangan keluarga saya di Bogor dan saya saat ini tidak ada lagi penghasilan sehingga kalau ditempatkan di tempat lain keluarga akan butuh biaya transportasi dan akan menjadi beban," kata Sugito saat membacakan nota pembelaan (pledoi) pribadi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Dalam perkara hukum ini, Sugito dituntut dua tahun penjara ditambah denda Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan karena terbukti memberikan suap senilai Rp240 juta kepada auditor utama BPK Rochmadi Saptogiri dan anak buahnya Ali Sadli agar laporan keuangan Kemendes PDTT tahun anggaran 2016 mendapat Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
"Saya tidak menampik bahkan dengan kata ikhlas pada 10 Mei 2017 dan 26 Mei 2017 saya telah meminta Jarot Budi Prabowo mengantarkan uang atensi sebesar Rp200 juta dan Rp40 juta kepada Ali Sadli di kantor BPK," kata Sugito.
Namun dia mengaku tidak berupaya untuk mempengaruhi Rochmadi dan Ali agar membuat opini WTP untuk Kemendes PDTT. Sugito mengaku memberikan uang karena didesak oleh auditor BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang masuk dalam tim pemeriksa bernama Choirul Anam dan juga Ali Sadli.
"Pada 22-28 April 2017 Choirul Anam hampir setiap hari mengejar saya untuk memberikan atensi atau perhatian kepada Rochmadi dan Ali Sadli sekitar Rp250 juta," katanya.
"Akibat terdesaknya saya atas permintaan Choirul Anam, lalu saya mengajak Anam bertemu sekjen dan Choirul mengatakan opini Kemendes adalah WTP dan mengatakan perlunya atensi sebesar 250 juta. Saya tegaskan bahwa Choirul yang menginisiasi dan menetapkan nominal pemberian uang itu," ungkap Sugito.
Iapun menyayangkan sangkalan Choirul Anam mengenai pertemuan itu termasuk saat penyangkalan Choirul Anam mengenai konfirmasi dari Ali Sadli.
"Tekanan Choirul Anamlah penyebab bencana bagi saya yang puncaknya terjadi pada Mei 2017," kata Sugito.
Sugito pun mengaku sudah bekerja sebagai PNS sebagai 36 tahun dan tidak pernah dijatuhi hukuman selama menjadi PNS.
"Kerinduan saya kepada anak dan istri, karena ikut menderita dan saya sedih, anak saya yang masih SMP tidak tahu saya dibawa penahanan KPK," katanya.
"Saya sering menangis sendiri karena tidak mampu berbuat banyak dan ditahan di tempat terbatas dan tidak berdaya. Saya menyesali melukai hati dan hari-hari mereka," kata Sugito sambil tersedu.
Sedangkan anak buah Sugito, Kepala Bagian Tata Usaha dan Keuangan pada Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Jarot Budi yang dituntut penjara selama 2 tahun ditambah denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan juga meminta menghabiskan masa hukuman di Lapas Cibinong.
"Saya minta dihukum di Lapas Cibinong, keluarga saya tinggal di Sukmajaya Depok. Jadi keluarga butuh biaya transportasi besar bila saya ditahan di tempat lain," kata Jarot. (Ben/An)
"Saya mohon ditempatkan di Lapas Cibinong, Bogor, dengan pertimbangan keluarga saya di Bogor dan saya saat ini tidak ada lagi penghasilan sehingga kalau ditempatkan di tempat lain keluarga akan butuh biaya transportasi dan akan menjadi beban," kata Sugito saat membacakan nota pembelaan (pledoi) pribadi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Dalam perkara hukum ini, Sugito dituntut dua tahun penjara ditambah denda Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan karena terbukti memberikan suap senilai Rp240 juta kepada auditor utama BPK Rochmadi Saptogiri dan anak buahnya Ali Sadli agar laporan keuangan Kemendes PDTT tahun anggaran 2016 mendapat Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
"Saya tidak menampik bahkan dengan kata ikhlas pada 10 Mei 2017 dan 26 Mei 2017 saya telah meminta Jarot Budi Prabowo mengantarkan uang atensi sebesar Rp200 juta dan Rp40 juta kepada Ali Sadli di kantor BPK," kata Sugito.
Namun dia mengaku tidak berupaya untuk mempengaruhi Rochmadi dan Ali agar membuat opini WTP untuk Kemendes PDTT. Sugito mengaku memberikan uang karena didesak oleh auditor BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang masuk dalam tim pemeriksa bernama Choirul Anam dan juga Ali Sadli.
"Pada 22-28 April 2017 Choirul Anam hampir setiap hari mengejar saya untuk memberikan atensi atau perhatian kepada Rochmadi dan Ali Sadli sekitar Rp250 juta," katanya.
"Akibat terdesaknya saya atas permintaan Choirul Anam, lalu saya mengajak Anam bertemu sekjen dan Choirul mengatakan opini Kemendes adalah WTP dan mengatakan perlunya atensi sebesar 250 juta. Saya tegaskan bahwa Choirul yang menginisiasi dan menetapkan nominal pemberian uang itu," ungkap Sugito.
Iapun menyayangkan sangkalan Choirul Anam mengenai pertemuan itu termasuk saat penyangkalan Choirul Anam mengenai konfirmasi dari Ali Sadli.
"Tekanan Choirul Anamlah penyebab bencana bagi saya yang puncaknya terjadi pada Mei 2017," kata Sugito.
Sugito pun mengaku sudah bekerja sebagai PNS sebagai 36 tahun dan tidak pernah dijatuhi hukuman selama menjadi PNS.
"Kerinduan saya kepada anak dan istri, karena ikut menderita dan saya sedih, anak saya yang masih SMP tidak tahu saya dibawa penahanan KPK," katanya.
"Saya sering menangis sendiri karena tidak mampu berbuat banyak dan ditahan di tempat terbatas dan tidak berdaya. Saya menyesali melukai hati dan hari-hari mereka," kata Sugito sambil tersedu.
Sedangkan anak buah Sugito, Kepala Bagian Tata Usaha dan Keuangan pada Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Jarot Budi yang dituntut penjara selama 2 tahun ditambah denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan juga meminta menghabiskan masa hukuman di Lapas Cibinong.
"Saya minta dihukum di Lapas Cibinong, keluarga saya tinggal di Sukmajaya Depok. Jadi keluarga butuh biaya transportasi besar bila saya ditahan di tempat lain," kata Jarot. (Ben/An)
Tags
Hukum