Makassar, 4/9 (Benhil) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta memantau jalannya persidangan kasus penyewaan lahan negara di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo Makassar, Sulawesi Selatan.
"Kami sudah menyurat resmi ke KPK untuk bisa memantau jalannya persidangan, mengingat adanya dugaan intervensi mafia hukum bermain dalam kasus itu," sebut Sekertaris Lembaga Anti Corupption Committee (ACC) Sulawesi, Kadir Wokanubun di Makassar, Rabu.
Berdasarkan penelusuran, beberapa informasi dan fakta ada pergerakan sindikan yang ingin melemahkan dan memengaruhi proses persidangan dugaan korupsi tersebut yang merugikan negara, bahkan mereka telah bergerak sejak awal persidangan.
Sindikat ini, ungkap Kadir, berjalan rapi dan terorganisir dalam kuasa salah seorang seorang pemain bernama Soedirjo Aliman alias Jen Tang diketahui pemilik PT Jujur Jaya Sakti.
Dirinya bisa mengendalikan oknum peradilan, oknum pakar hukum, oknum pejabat pemerintahan hingga masyarakat sipil yang dijadikan boneka untuk mendapatkan tujuannya.
"Kerja-kerja para sindikat ini sangat rapi, bahkan terorganisir secara massif, Jen Tang pun diduga sebagai aktor utama pada kasus korupsi sewa lahan negara di Buloa kepada PT Pembangunan Perumahan dalam proyek reklamasi Makassar New Port," bebernya.
Sistem yang diduga digunakan sindikat ini bergerak, misalnya oknum pakar hukum berperan sebagai tempat berkonsultasi dan memikirkan ide serta gagasan langkah hukum apa selanjutnya untuk tidak menjerat Jen Tang.
Dalam kasus ini, tiga terdakwa sedang menjalani proses hukum, yakni mantan Asisten I Pemkot Makasar M Sabri, dan dua warga sipil diketahui karyawan Jen Tang yakni Rusdi dan Andi Jayanti Ramli.
"Skenarionya, bisa saja kedua terdakwa dari sipil ini menggugat kasus ini menjadi perdata atau dengan kata lain wanprestasi ke PT PP di pengadilan. Kalau itu dikabulkan, putusannya akan digunakan sebagai bahan mementahkan kasus Tipikor yang sedang berjalan," ungkap mantan aktivis PMII ini.
Sehingga guna memuluskan jalan gugatannya nanti di persidangan perdata, peran dari oknum peradilan ini bergerak untuk menggagalkan upaya peradilan Tipikor, dan peluang agar menang itu ada dalam perkara perdata kepada PT PP.
"Diduga putusan yang dikeluarkan akan dilaksanakan malam hari, biasanya menghindari media agar proses persidangan tidak terganggu. Mengingat keterbatasan wartawan meliput pada malam hari dimanfaatkan mereka," jelas Alumnus Fakultas Hukum UMI Makassar ini Kronologis Perkara Dugaan Korupsi Penyewaan Lahan Negara Buloa Berdasarkan hasil investigasi ACC Sulawesi, kronoligis terjadinya dugaan korupsi tersebut bermula saat PT PP merupakan kontraktor yang ditunjuk PT Pelindo IV Makassar untuk melaksanakan proyek Makasssar New Port pada 2015.
PT PP sebagai pelaksana proyek strategis nasional percepatan pembangunan tol laut yang dicanangkan Presiden Joko Widodo berlokasi di Pesisir Pantai Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar dengan alokasi anggaran sebesar Rp.340 miliar oleh PT Pelindo.
Kala itu proyek ini terhambat karena akses jalan tidak ada, sehingga pada 10 Juni 2015 PT Pelindo IV mengirim surat ke Pemkot Makassar untuk memberitahukan rencana akses jalan masuk ke lokasi MNP, namun surat tidak ditanggapi Pemerintah Kota.
Sementara ada lahan untuk akses tersebut diklaim dua warga sipil masing-masing Jayanti dan Rusdin dengan gabungan lahan seluar 39.994 meter persegi. Selanjutnya disewakan Rp.500 juta belum termasuk pajak final dengan perjanjian pemakaian satu tahun 31 Juli 2015-31 Juli 2016 dan dapat diperpanjang.
Aktor yang terlibat dalam bisnis perjanjian sewa lahan kini berstatus quo itu adalah Jen Tang merupakan orang yang melakukan penimbunan di wilayah laut pesisir Buloa. Jayanti diketahui staf sekertaris PT Bumi Anugerah Sakti dan Rusdin sebagai supir di perusahaan ini milik Jen Tang.
Dari riwayat tanah negara di Pesisir Buloa inilah menjadi objek perkara Tipikor sedang disidik Kejaksaan, karena lokasi itu dulunya laut kemudian ditimbun Jen Tang. Sesuai sesuai UUPA nomor 5 Tahun 1960 dan Pasal 33 UUD 1945, maka status tanah tersebut adalah tanah negara.
Di wilayah laut itu, dulunya rawa ditumbuhi pohon bakau, belakangan aktivitas penimbunan diatas lahan a quo itu dijalankan Jen Tang sejak 1990-an. Dan pada 2003, dua warga sipil Jayanti bersama Rusdin orang suruhan Jen Tang mengajukan permohonan Surat Keterangan (SK) tanah garapan dilokasi itu kepada Pemerintah Kota Makassar.
Dari kasus ini menyeret tiga orang. Bahkan dalam persidangan sejumlah nama penting turut disebut dalam berkas dakwaan perkara itu.
Nama-nama tersebut diantaranya pemilik PT Jujur Jaya Sakti, Soedirjo Aliman alias Jeng Tang Bin Liem Eng Tek, dan laywer senior Ulil Amri. Pada berkas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Irma Arriani, menyebut, Jen Tang dan Ulil hadir di semua pertemuan proses sewa lahan negara tersebut.
Proses terjadinya penyewaan lahan negara di sebut terjadi setelah difasilitasi M Sabri, yang mempertemukan pihak penyewa PT Pelindo dan PT PP dengan Rusdin dan Jayanti selaku pengelola tanah garapan yang juga berstatus terdakwa dalam perkara ini.
Keduanya mengklaim pengelola tanah garapan didasari SK tanah garapan register nomor 31/BL/IX/2003 diketahui Lurah Buloa Ambo Tuwo Rahman dan Camat Tallo AU Gippyng Lantara nomor registrasi 88/07/IX/2003 untuk Rusdin. Dan Jayanti nomor registrasi 30/BL/IX/2003 saksi lurah dan camat nomor registrasi 87/07/IX/2003 dengan luas 39.9 meter persegi.
Pada pertemuan pertama turut dihadiri Jen Tang selaku pimpinan Rusdin dan Jayanti yang bekerja di PT Jujur Jaya Sakti serta Ulil Amri yang bertindak sebagai kuasa hukum keduanya. Pertemuan pertama pada 28 Juli 2015 di ruang rapat Sabri selaku Asisten I hingga terjadi negosiasi antara kedua belah pihak.
Selanjutnya pada pertemuan kedua, 30 Juli 2015. Jen Tang dan Ulil Amri kembali hadir bersama Rusdin bertindak mewakili Jayanti. Dalam pertemuan itu disepakati harga sewa lahan negara Buloa senilai Rp500 juta atau lebih rendah dari tawaran Jen Tang dkk meminta sebesar Rp.1 miliar.
Draf sewa lahan akhirnya disetujui, dalam pertemuan berikutnya di ruko Astra Daihatsu jalan Gunung Bawakaraeng. Pertemuan kembali dihadiri Jen Tang, Ulil Amri dan Rusdin mewakili Jayanti.
Hingga 31 Juli 2015 PT melalukan pembayaran kepada Jayanti dan Rusdin di kantor Cabang Bank Mandiri juga dihadiri Jen Tang dan Ulil Amri. Uang tersebut senilai Rp.500 miliar diterima keduanya, belakang kemudian disetorkan ke Jen Tang untuk membagikan jatahnya masing-masing.
"Kami sudah menyurat resmi ke KPK untuk bisa memantau jalannya persidangan, mengingat adanya dugaan intervensi mafia hukum bermain dalam kasus itu," sebut Sekertaris Lembaga Anti Corupption Committee (ACC) Sulawesi, Kadir Wokanubun di Makassar, Rabu.
Berdasarkan penelusuran, beberapa informasi dan fakta ada pergerakan sindikan yang ingin melemahkan dan memengaruhi proses persidangan dugaan korupsi tersebut yang merugikan negara, bahkan mereka telah bergerak sejak awal persidangan.
Sindikat ini, ungkap Kadir, berjalan rapi dan terorganisir dalam kuasa salah seorang seorang pemain bernama Soedirjo Aliman alias Jen Tang diketahui pemilik PT Jujur Jaya Sakti.
Dirinya bisa mengendalikan oknum peradilan, oknum pakar hukum, oknum pejabat pemerintahan hingga masyarakat sipil yang dijadikan boneka untuk mendapatkan tujuannya.
"Kerja-kerja para sindikat ini sangat rapi, bahkan terorganisir secara massif, Jen Tang pun diduga sebagai aktor utama pada kasus korupsi sewa lahan negara di Buloa kepada PT Pembangunan Perumahan dalam proyek reklamasi Makassar New Port," bebernya.
Sistem yang diduga digunakan sindikat ini bergerak, misalnya oknum pakar hukum berperan sebagai tempat berkonsultasi dan memikirkan ide serta gagasan langkah hukum apa selanjutnya untuk tidak menjerat Jen Tang.
Dalam kasus ini, tiga terdakwa sedang menjalani proses hukum, yakni mantan Asisten I Pemkot Makasar M Sabri, dan dua warga sipil diketahui karyawan Jen Tang yakni Rusdi dan Andi Jayanti Ramli.
"Skenarionya, bisa saja kedua terdakwa dari sipil ini menggugat kasus ini menjadi perdata atau dengan kata lain wanprestasi ke PT PP di pengadilan. Kalau itu dikabulkan, putusannya akan digunakan sebagai bahan mementahkan kasus Tipikor yang sedang berjalan," ungkap mantan aktivis PMII ini.
Sehingga guna memuluskan jalan gugatannya nanti di persidangan perdata, peran dari oknum peradilan ini bergerak untuk menggagalkan upaya peradilan Tipikor, dan peluang agar menang itu ada dalam perkara perdata kepada PT PP.
"Diduga putusan yang dikeluarkan akan dilaksanakan malam hari, biasanya menghindari media agar proses persidangan tidak terganggu. Mengingat keterbatasan wartawan meliput pada malam hari dimanfaatkan mereka," jelas Alumnus Fakultas Hukum UMI Makassar ini Kronologis Perkara Dugaan Korupsi Penyewaan Lahan Negara Buloa Berdasarkan hasil investigasi ACC Sulawesi, kronoligis terjadinya dugaan korupsi tersebut bermula saat PT PP merupakan kontraktor yang ditunjuk PT Pelindo IV Makassar untuk melaksanakan proyek Makasssar New Port pada 2015.
PT PP sebagai pelaksana proyek strategis nasional percepatan pembangunan tol laut yang dicanangkan Presiden Joko Widodo berlokasi di Pesisir Pantai Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar dengan alokasi anggaran sebesar Rp.340 miliar oleh PT Pelindo.
Kala itu proyek ini terhambat karena akses jalan tidak ada, sehingga pada 10 Juni 2015 PT Pelindo IV mengirim surat ke Pemkot Makassar untuk memberitahukan rencana akses jalan masuk ke lokasi MNP, namun surat tidak ditanggapi Pemerintah Kota.
Sementara ada lahan untuk akses tersebut diklaim dua warga sipil masing-masing Jayanti dan Rusdin dengan gabungan lahan seluar 39.994 meter persegi. Selanjutnya disewakan Rp.500 juta belum termasuk pajak final dengan perjanjian pemakaian satu tahun 31 Juli 2015-31 Juli 2016 dan dapat diperpanjang.
Aktor yang terlibat dalam bisnis perjanjian sewa lahan kini berstatus quo itu adalah Jen Tang merupakan orang yang melakukan penimbunan di wilayah laut pesisir Buloa. Jayanti diketahui staf sekertaris PT Bumi Anugerah Sakti dan Rusdin sebagai supir di perusahaan ini milik Jen Tang.
Dari riwayat tanah negara di Pesisir Buloa inilah menjadi objek perkara Tipikor sedang disidik Kejaksaan, karena lokasi itu dulunya laut kemudian ditimbun Jen Tang. Sesuai sesuai UUPA nomor 5 Tahun 1960 dan Pasal 33 UUD 1945, maka status tanah tersebut adalah tanah negara.
Di wilayah laut itu, dulunya rawa ditumbuhi pohon bakau, belakangan aktivitas penimbunan diatas lahan a quo itu dijalankan Jen Tang sejak 1990-an. Dan pada 2003, dua warga sipil Jayanti bersama Rusdin orang suruhan Jen Tang mengajukan permohonan Surat Keterangan (SK) tanah garapan dilokasi itu kepada Pemerintah Kota Makassar.
Dari kasus ini menyeret tiga orang. Bahkan dalam persidangan sejumlah nama penting turut disebut dalam berkas dakwaan perkara itu.
Nama-nama tersebut diantaranya pemilik PT Jujur Jaya Sakti, Soedirjo Aliman alias Jeng Tang Bin Liem Eng Tek, dan laywer senior Ulil Amri. Pada berkas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Irma Arriani, menyebut, Jen Tang dan Ulil hadir di semua pertemuan proses sewa lahan negara tersebut.
Proses terjadinya penyewaan lahan negara di sebut terjadi setelah difasilitasi M Sabri, yang mempertemukan pihak penyewa PT Pelindo dan PT PP dengan Rusdin dan Jayanti selaku pengelola tanah garapan yang juga berstatus terdakwa dalam perkara ini.
Keduanya mengklaim pengelola tanah garapan didasari SK tanah garapan register nomor 31/BL/IX/2003 diketahui Lurah Buloa Ambo Tuwo Rahman dan Camat Tallo AU Gippyng Lantara nomor registrasi 88/07/IX/2003 untuk Rusdin. Dan Jayanti nomor registrasi 30/BL/IX/2003 saksi lurah dan camat nomor registrasi 87/07/IX/2003 dengan luas 39.9 meter persegi.
Pada pertemuan pertama turut dihadiri Jen Tang selaku pimpinan Rusdin dan Jayanti yang bekerja di PT Jujur Jaya Sakti serta Ulil Amri yang bertindak sebagai kuasa hukum keduanya. Pertemuan pertama pada 28 Juli 2015 di ruang rapat Sabri selaku Asisten I hingga terjadi negosiasi antara kedua belah pihak.
Selanjutnya pada pertemuan kedua, 30 Juli 2015. Jen Tang dan Ulil Amri kembali hadir bersama Rusdin bertindak mewakili Jayanti. Dalam pertemuan itu disepakati harga sewa lahan negara Buloa senilai Rp500 juta atau lebih rendah dari tawaran Jen Tang dkk meminta sebesar Rp.1 miliar.
Draf sewa lahan akhirnya disetujui, dalam pertemuan berikutnya di ruko Astra Daihatsu jalan Gunung Bawakaraeng. Pertemuan kembali dihadiri Jen Tang, Ulil Amri dan Rusdin mewakili Jayanti.
Hingga 31 Juli 2015 PT melalukan pembayaran kepada Jayanti dan Rusdin di kantor Cabang Bank Mandiri juga dihadiri Jen Tang dan Ulil Amri. Uang tersebut senilai Rp.500 miliar diterima keduanya, belakang kemudian disetorkan ke Jen Tang untuk membagikan jatahnya masing-masing.
Tags
Hukum