Semarang, 8/10 (Benhil) - Warganet (netizen) yang Pancasilais (penganut ideologi Pancasila yang baik dan setia) adalah suatu keniscayaan guna menangkal berita hoaks di media sosial.
Sebenarnya, pengejawantahan nilai-nilai Pancasila tidak mengenal tempat. Di mana pun berada, baik di dunia maya (cyberspace) maupun dunia nyata, anak bangsa ini perlu mengimplementasikan dasar negara Indonesia dalam kehidupan mereka.
Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd. berharap nilai-nilai Pancasila tidak sekadar teori tekstual, tetapi perlu mengimplementasikan melalui berbagai profesi.
Jangan hanya teori belaka, lalu dilupakan. Namun, bagaimana bisa betul-betul diwujudkan dalam profesinya, katanya pada Seminar Nasional "Sains dan Teknologi Pancasila untuk Keagungan Bangsa" di Rektorat UNY, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (4/10).
Menurut Sutrisna, lima sila dalam Pancasila tidak sekadar untuk dihapal. Seluruhnya merupakan bingkai pemersatu bangsa yang tidak diganggu gugat oleh siapa pun dan digantikan dengan ideologi apa pun.
Pada seminar dalam rangka meneguhkan Pancasila dan mangayubagya pelantikan Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur DIY itu, Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (Communication and Information System Security Research Center/CISSReC) Dr. Pratama Persadha mengajak semua pihak untuk mewujudkan kehidupan siber berpancasila.
Hal itu perlu mendapat respons positif. Apalagi, pengguna internet Indonesia ternyata menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Bahkan, lembaga riset pasar e-Marketer memperkirakan pengguna teknologi internet Indonesia akan mencapai 112 juta orang, atau mengalahkan Jepang di peringkat ke-5 yang pertumbuhan jumlah pengguna internetnya lebih lamban.
Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Direktur Indoguardika Cipta Kreasi (ICK) Agung Setia Bakti, hampir 80 persen pengguna internet Indonesia adalah generasi muda. Gelombang generasi milenial tidak bisa dipungkiri menjadi ujung tombak penetrasi internet di Indonesia dan menjadi pasar yang tepat bagi pelaku internet marketing.
Suburnya pengguna internet Indonesia menjadi peluang sekaligus ancaman bagi Indonesia. Salah satunya, kata Agung, generasi milenial yang menjadi pengguna internet terbesar Indonesia.
Agung memandang perlu pemerintah memberikan kesadaran keamanan informasi dan komunikasi kepada generasi milenial sedini mungkin. Salah satu contoh implementasinya tidak menampilkan informasi-informasi bersifat pribadi di sosial media.
Selain itu, membiasakan menaruh file yang sifatnya pribadi di tempat penyimpanan "online" gratis juga sangat berbahaya, kata Agung di sela pameran "Sains dan Teknologi Pancasila untuk Keagungan Bangsa" yang pelaksanaannya mulai 4 hingga 6 Oktober 2017 di GOR UNY.
Agung mengatakan bahwa keikutsertaan ICK dalam pameran tersebut menjadi tanggung jawab moral untuk melakukan edukasi dan mendorong generasi milenial agar peduli terhadap keamanan dirinya di dunia maya.
Ia berharap ke depan generasi milenial bisa menjadi garda depan untuk menjaga kedaulatan informasi bangsa.
Siber Berpancasila Memasuki penghujung 2017, Indonesia masih dihadapkan pada tantangan serius di wilayah siber. Oleh karena itu, diperlukan konsep yang tepat sehingga bisa diwujudkan kehidupan siber yang berpancasila di Tanah Air.
Apalagi, saat ini begitu banyak berita yang tidak jelas kebenaranya dan cenderung mendorong masyarakat dalam perpecahan, kata pakar keamanan siber Dr. Pratama Persadha.
Setidaknya ada sejumlah persyaratan untuk mewujudkan kehidupan siber berpancasila, yakni warganet harus cerdas, peraturan perundang-undangan harus progresif, kemandirian industri dan teknologi, kesigapan aparat pemerintah, serta infrastruktur siber yang kuat.
Ia memandang perlu aturan dan teladan dalam kehidupan siber di Tanah Air. Pemerintah bisa memberikan aturan yang jelas, sementara masyarakat bisa secara sendiri ataupun bersama-sama membangun konten positif.
Dalam kehidupan siber bernapaskan Pancasila, anak bangsa ini punya tujuan tidak hanya berkehidupan yang aman dan damai. Lebih dari itu, lewat teknologi dan wilayah siber anak bangsa ini bisa meningkatkan daya saing sekaligus kesejahteraan masyarakat.
Hal senada juga disampaikan oleh Gubernur DIY Sri Sultan H.B. X. Sultan berpendapat bahwa teknologi informasi merupakan kekuatan untuk dapat berproses agar mempunyai daya saing untuk meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan rakyat.
Pada 2015 misalnya, jumlah kasus kejahatan siber di Indonesia meningkat signifikan hingga 389 persen dari data pada 2014, kata Pratama mengutip data dari Microsoft Indonesia.
Pemerintah dan masyarakat sering kali abai terhadap bahaya ancaman siber ini. Pemerintah sering kali mampu membangun teknologi sistem siber yang andal dan terkoneksi dengan standar enterprise.
Namun, acap alpa terhadap pengamanannya. Padahal, makin banyak sistem siber yang terkoneksi, makin rentan terdampak serangan jika tak disiapkan pengamanan yang memadai.
Hal yang sama terjadi di level masyarakat. Survei Kaspersky menunjukan bahwa 58 persen masyarakat Indonesia tidak percaya mereka menjadi target serangan siber. Hasil ini dikuatkan hasil survei lembaga keamanan CISSReC yang mencatat bahwa 67 persen masyarakat di 10 kota besar di Tanah Air tidak mengindahkan imbauan Kominfo saat terjadi serangan wannacry beberapa saat lalu.
Pratama lantas menekankan bahwa hal itu menjadi "pekerjaan rumah" bagi anak bangsa ini untuk bersama-sama meningkatkan kesadaran soal keamanan siber ini.
Pengunaan teknologi informasi yang berlandaskan pada Pancasila tampaknya tidak hanya menangkal berita hoaks yang bermuatan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), tetapi juga lebih mempererat persatuan dan kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sebenarnya, pengejawantahan nilai-nilai Pancasila tidak mengenal tempat. Di mana pun berada, baik di dunia maya (cyberspace) maupun dunia nyata, anak bangsa ini perlu mengimplementasikan dasar negara Indonesia dalam kehidupan mereka.
Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd. berharap nilai-nilai Pancasila tidak sekadar teori tekstual, tetapi perlu mengimplementasikan melalui berbagai profesi.
Jangan hanya teori belaka, lalu dilupakan. Namun, bagaimana bisa betul-betul diwujudkan dalam profesinya, katanya pada Seminar Nasional "Sains dan Teknologi Pancasila untuk Keagungan Bangsa" di Rektorat UNY, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (4/10).
Menurut Sutrisna, lima sila dalam Pancasila tidak sekadar untuk dihapal. Seluruhnya merupakan bingkai pemersatu bangsa yang tidak diganggu gugat oleh siapa pun dan digantikan dengan ideologi apa pun.
Pada seminar dalam rangka meneguhkan Pancasila dan mangayubagya pelantikan Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur DIY itu, Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (Communication and Information System Security Research Center/CISSReC) Dr. Pratama Persadha mengajak semua pihak untuk mewujudkan kehidupan siber berpancasila.
Hal itu perlu mendapat respons positif. Apalagi, pengguna internet Indonesia ternyata menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Bahkan, lembaga riset pasar e-Marketer memperkirakan pengguna teknologi internet Indonesia akan mencapai 112 juta orang, atau mengalahkan Jepang di peringkat ke-5 yang pertumbuhan jumlah pengguna internetnya lebih lamban.
Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Direktur Indoguardika Cipta Kreasi (ICK) Agung Setia Bakti, hampir 80 persen pengguna internet Indonesia adalah generasi muda. Gelombang generasi milenial tidak bisa dipungkiri menjadi ujung tombak penetrasi internet di Indonesia dan menjadi pasar yang tepat bagi pelaku internet marketing.
Suburnya pengguna internet Indonesia menjadi peluang sekaligus ancaman bagi Indonesia. Salah satunya, kata Agung, generasi milenial yang menjadi pengguna internet terbesar Indonesia.
Agung memandang perlu pemerintah memberikan kesadaran keamanan informasi dan komunikasi kepada generasi milenial sedini mungkin. Salah satu contoh implementasinya tidak menampilkan informasi-informasi bersifat pribadi di sosial media.
Selain itu, membiasakan menaruh file yang sifatnya pribadi di tempat penyimpanan "online" gratis juga sangat berbahaya, kata Agung di sela pameran "Sains dan Teknologi Pancasila untuk Keagungan Bangsa" yang pelaksanaannya mulai 4 hingga 6 Oktober 2017 di GOR UNY.
Agung mengatakan bahwa keikutsertaan ICK dalam pameran tersebut menjadi tanggung jawab moral untuk melakukan edukasi dan mendorong generasi milenial agar peduli terhadap keamanan dirinya di dunia maya.
Ia berharap ke depan generasi milenial bisa menjadi garda depan untuk menjaga kedaulatan informasi bangsa.
Siber Berpancasila Memasuki penghujung 2017, Indonesia masih dihadapkan pada tantangan serius di wilayah siber. Oleh karena itu, diperlukan konsep yang tepat sehingga bisa diwujudkan kehidupan siber yang berpancasila di Tanah Air.
Apalagi, saat ini begitu banyak berita yang tidak jelas kebenaranya dan cenderung mendorong masyarakat dalam perpecahan, kata pakar keamanan siber Dr. Pratama Persadha.
Setidaknya ada sejumlah persyaratan untuk mewujudkan kehidupan siber berpancasila, yakni warganet harus cerdas, peraturan perundang-undangan harus progresif, kemandirian industri dan teknologi, kesigapan aparat pemerintah, serta infrastruktur siber yang kuat.
Ia memandang perlu aturan dan teladan dalam kehidupan siber di Tanah Air. Pemerintah bisa memberikan aturan yang jelas, sementara masyarakat bisa secara sendiri ataupun bersama-sama membangun konten positif.
Dalam kehidupan siber bernapaskan Pancasila, anak bangsa ini punya tujuan tidak hanya berkehidupan yang aman dan damai. Lebih dari itu, lewat teknologi dan wilayah siber anak bangsa ini bisa meningkatkan daya saing sekaligus kesejahteraan masyarakat.
Hal senada juga disampaikan oleh Gubernur DIY Sri Sultan H.B. X. Sultan berpendapat bahwa teknologi informasi merupakan kekuatan untuk dapat berproses agar mempunyai daya saing untuk meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan rakyat.
Pada 2015 misalnya, jumlah kasus kejahatan siber di Indonesia meningkat signifikan hingga 389 persen dari data pada 2014, kata Pratama mengutip data dari Microsoft Indonesia.
Pemerintah dan masyarakat sering kali abai terhadap bahaya ancaman siber ini. Pemerintah sering kali mampu membangun teknologi sistem siber yang andal dan terkoneksi dengan standar enterprise.
Namun, acap alpa terhadap pengamanannya. Padahal, makin banyak sistem siber yang terkoneksi, makin rentan terdampak serangan jika tak disiapkan pengamanan yang memadai.
Hal yang sama terjadi di level masyarakat. Survei Kaspersky menunjukan bahwa 58 persen masyarakat Indonesia tidak percaya mereka menjadi target serangan siber. Hasil ini dikuatkan hasil survei lembaga keamanan CISSReC yang mencatat bahwa 67 persen masyarakat di 10 kota besar di Tanah Air tidak mengindahkan imbauan Kominfo saat terjadi serangan wannacry beberapa saat lalu.
Pratama lantas menekankan bahwa hal itu menjadi "pekerjaan rumah" bagi anak bangsa ini untuk bersama-sama meningkatkan kesadaran soal keamanan siber ini.
Pengunaan teknologi informasi yang berlandaskan pada Pancasila tampaknya tidak hanya menangkal berita hoaks yang bermuatan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), tetapi juga lebih mempererat persatuan dan kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tags
Aktual