Jakarta, 7/10 (Benhil) - Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar pada 29 September 2017 mengabulkan gugatan praperadilan Setya Novanto sehingga menyatakan bahwa penetapan Ketua Dewan Perwakilan Raktat (DPR) itu sebagai tersangka tidak sesuai prosedur.
Hakim Cepi berkesimpulan bahwa penetapan tersangka yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak didasarkan pada prosedur dan tata cara UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan standar prosedur KPK.
Putusan ini kemudian menimbulkan polemik di masyarakat karena banyak yang menilai ada yang janggal dalam putusan Hakim Cepi tersebut. Hal tersebut terlihat dari banyaknya protes melalui media sosial hingga bermunculan meme satir yang menyindir Setya Novanto terkait dengan putusan tersebut.
Mengenai hal ini Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Abdullah menegaskan putusan praperadilan itu merupakan tanggung jawab mutlak hakim pemutus perkara.
Baik ketua pengadilan maupun pimpinan Mahkamah Agung tidak boleh intervensi, ujar Abdullah.
Mahkamah Agung menghormati apa yang telah diputuskan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas praperadilan Setya Novanto, kata Abdullah.
Dia mengatakan ketua pengadilan telah melakukan pembinaan dan pengawasan agar tidak terjadi penyalahgunaan atau pelanggaran etika hakim.
Kendati demikian dalam porsi pengawasan MA tidak bisa masuk ke dalam substansi perkara, karena setiap hakim memiliki independensi yang harus dihormati termasuk oleh MA sendiri.
MA pun berpendapat mengatakan tidak sulit untuk KPK kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka, meskipun putusan peradilan sudah mengabulkan permohonan Setya Novanto.
Tampaknya hal tersebut dikatakan oleh pihak MA sebagai bentuk usaha untuk menenangkan masyarakat yang ramai di media sosial atas putusan tersebut.
Putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka, dikatakan Abdullah tidak akan menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan kembali menjadi tersangka.
Apalagi bila terdapat ada dua alat bukti baru yang sah, yang berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara.
Hal tersebut tertuang dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan.
KPK sendiri dalam pernyataannya sempat menyebutkan bahwa pihaknya memiliki ratusan alat bukti untuk kembali menjerat Setya Novanto, selain itu KPK juga berencana bekerja sama dengan FBI (Federal Bureau of Investigation) untuk kasus KTP-elektronik, mengingat adanya aliran dana dari wilayah Amerikat Serikat oleh Johannes Marliem.
Sekarang semua tergantung kepada KPK dan kita hanya perlu menyerahkan saja kepada KPK karena mereka tentu sudah punya perhitungan sendiri.
Laporan Pengaduan Resahnya masyarakat terutama lembaga swadaya masyarakat (LSM) kemudian tertuang dalam laporan pengaduan kepada Badan Pengawas (Bawas) MA.
Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi, sejumlah LSM, dan Madrasah Antikorupsi baru-baru ini mengadukan Hakim Cepi atas proses dan putusan praperadilan yang dinilai janggal dan bikin Setnov hepi.
Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mewakili para pelapor mengatakan ingin meminta Bawas MA supaya berperan aktif.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan para pelapor menemukan tujuh temuan selama proses praperadilan Setya Novanto yang janggal.
Sebagai contoh, Hakim Cepi Iskandar tidak memutar rekaman yang diajukan oleh KPK. Selain itu Hakim Cepi juga menunda proses pemeriksaan ahli dari KPK.
Seperti contoh membuka rekaman itu menurut KPK adalah bukti kuat yang menunjukkan keterlibatan Setya Novanto dalam kasus KTP-elektronik, kenapa itu tidak diakomodir oleh hakim.
Kejanggalan juga dirasakan para pelapor ketika Hakim Cepi menanyakan keberadaan lembaga KPK yang ad hoc.
Itu bukan materi praperadilan dan sangat melenceng dari objek yang digugat Setya Novanto, ujar Kurnia, artikel ini menulis dengan tajuk Setnov Sang "Dewa Kegelapan".
Oleh sebab itu para pelapor berharap Bawas MA dapat memanggil Hakim Cepi dan mempelajari lebih lanjut pertimbangan-pertimbanganya, sehingga bila terbukti adanya pelanggaran maka MA diminta untuk menindak tegas Hakim Cepi.
Para pelapor melampirkan data berupa temuan dalam fakta persidangan, serta sejumlah bukti yang menunjukkan kejanggalan praperadilan Setya Novanto.
Terkait dengan laporan tersebut MA mengatakan pihaknya akan segera memprosesnya.
Kendati demikian, mengenai kecepatan proses pengaduan tersebut, Abdullah mengatakan semua tergantung pada bukti-bukti serta data yang diserahkan.
Bawas MA sendiri telah menerjunkan timnya untuk melakukan pengawasan sidang praperadilan Setya Novanto, namun hingga kini hasil pengawasan tersebut dikatakan Abdullah masih dalam pengkajian Bawas MA.
Abdullah mengatakan MA akan melakukan tindakan tegas bila memang ditemukan adanya pelanggaran etika oleh Hakim Cepi Iskandar dalam menangani dan memutus perkara praperadilan Setya Novanto.
Namun, bila yang diadukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil masuk ke dalam ranah teknis yuridis, Abdullah mengatakan MA tidak bisa melakukan tindakan apapun.
Karena kita harus menghormati independensi hakim dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, ujar Abdullah.
Semoga saja kebenaran dalam kasus ini dapat memperlihatkan kekuatannya, sehingga semua yang salah dapat segera diluruskan. (Ben/An)
Hakim Cepi berkesimpulan bahwa penetapan tersangka yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak didasarkan pada prosedur dan tata cara UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan standar prosedur KPK.
Putusan ini kemudian menimbulkan polemik di masyarakat karena banyak yang menilai ada yang janggal dalam putusan Hakim Cepi tersebut. Hal tersebut terlihat dari banyaknya protes melalui media sosial hingga bermunculan meme satir yang menyindir Setya Novanto terkait dengan putusan tersebut.
Mengenai hal ini Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Abdullah menegaskan putusan praperadilan itu merupakan tanggung jawab mutlak hakim pemutus perkara.
Baik ketua pengadilan maupun pimpinan Mahkamah Agung tidak boleh intervensi, ujar Abdullah.
Mahkamah Agung menghormati apa yang telah diputuskan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas praperadilan Setya Novanto, kata Abdullah.
Dia mengatakan ketua pengadilan telah melakukan pembinaan dan pengawasan agar tidak terjadi penyalahgunaan atau pelanggaran etika hakim.
Kendati demikian dalam porsi pengawasan MA tidak bisa masuk ke dalam substansi perkara, karena setiap hakim memiliki independensi yang harus dihormati termasuk oleh MA sendiri.
MA pun berpendapat mengatakan tidak sulit untuk KPK kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka, meskipun putusan peradilan sudah mengabulkan permohonan Setya Novanto.
Tampaknya hal tersebut dikatakan oleh pihak MA sebagai bentuk usaha untuk menenangkan masyarakat yang ramai di media sosial atas putusan tersebut.
Putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka, dikatakan Abdullah tidak akan menggugurkan kewenangan penyidik untuk menetapkan yang bersangkutan kembali menjadi tersangka.
Apalagi bila terdapat ada dua alat bukti baru yang sah, yang berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara.
Hal tersebut tertuang dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan.
KPK sendiri dalam pernyataannya sempat menyebutkan bahwa pihaknya memiliki ratusan alat bukti untuk kembali menjerat Setya Novanto, selain itu KPK juga berencana bekerja sama dengan FBI (Federal Bureau of Investigation) untuk kasus KTP-elektronik, mengingat adanya aliran dana dari wilayah Amerikat Serikat oleh Johannes Marliem.
Sekarang semua tergantung kepada KPK dan kita hanya perlu menyerahkan saja kepada KPK karena mereka tentu sudah punya perhitungan sendiri.
Laporan Pengaduan Resahnya masyarakat terutama lembaga swadaya masyarakat (LSM) kemudian tertuang dalam laporan pengaduan kepada Badan Pengawas (Bawas) MA.
Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi, sejumlah LSM, dan Madrasah Antikorupsi baru-baru ini mengadukan Hakim Cepi atas proses dan putusan praperadilan yang dinilai janggal dan bikin Setnov hepi.
Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mewakili para pelapor mengatakan ingin meminta Bawas MA supaya berperan aktif.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan para pelapor menemukan tujuh temuan selama proses praperadilan Setya Novanto yang janggal.
Sebagai contoh, Hakim Cepi Iskandar tidak memutar rekaman yang diajukan oleh KPK. Selain itu Hakim Cepi juga menunda proses pemeriksaan ahli dari KPK.
Seperti contoh membuka rekaman itu menurut KPK adalah bukti kuat yang menunjukkan keterlibatan Setya Novanto dalam kasus KTP-elektronik, kenapa itu tidak diakomodir oleh hakim.
Kejanggalan juga dirasakan para pelapor ketika Hakim Cepi menanyakan keberadaan lembaga KPK yang ad hoc.
Itu bukan materi praperadilan dan sangat melenceng dari objek yang digugat Setya Novanto, ujar Kurnia, artikel ini menulis dengan tajuk Setnov Sang "Dewa Kegelapan".
Oleh sebab itu para pelapor berharap Bawas MA dapat memanggil Hakim Cepi dan mempelajari lebih lanjut pertimbangan-pertimbanganya, sehingga bila terbukti adanya pelanggaran maka MA diminta untuk menindak tegas Hakim Cepi.
Para pelapor melampirkan data berupa temuan dalam fakta persidangan, serta sejumlah bukti yang menunjukkan kejanggalan praperadilan Setya Novanto.
Terkait dengan laporan tersebut MA mengatakan pihaknya akan segera memprosesnya.
Kendati demikian, mengenai kecepatan proses pengaduan tersebut, Abdullah mengatakan semua tergantung pada bukti-bukti serta data yang diserahkan.
Bawas MA sendiri telah menerjunkan timnya untuk melakukan pengawasan sidang praperadilan Setya Novanto, namun hingga kini hasil pengawasan tersebut dikatakan Abdullah masih dalam pengkajian Bawas MA.
Abdullah mengatakan MA akan melakukan tindakan tegas bila memang ditemukan adanya pelanggaran etika oleh Hakim Cepi Iskandar dalam menangani dan memutus perkara praperadilan Setya Novanto.
Namun, bila yang diadukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil masuk ke dalam ranah teknis yuridis, Abdullah mengatakan MA tidak bisa melakukan tindakan apapun.
Karena kita harus menghormati independensi hakim dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, ujar Abdullah.
Semoga saja kebenaran dalam kasus ini dapat memperlihatkan kekuatannya, sehingga semua yang salah dapat segera diluruskan. (Ben/An)
Tags
Hukum