Kebun bambu atau papringan--biasa masyarakat Jawa menyebutnya--selama ini terkesan kotor dan kumuh. Namun, kondisi tersebut sangat berbeda dengan papringan di Dusun Ngadiprono, Desa Ngadimulyo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Papringan di dusun tersebut justru dimanfaatkan warga untuk berjualan setiap minggu wage dan minggu pon. Banyak orang tidak percaya bahwa kebun bambu yang sebelumnya sepi dan kotor tersebut kini mampu menyedot ribuan pengunjung untuk datang ke lokasi itu guna menikmati jajanan tradisional yang dijual warga setempat.
Sejumlah rumpun bambu yang tumbuh subur di lahan seluas 2.500 meter persegi tersebut digunakan warga setempat untuk membuka lapak jualannya sehingga penjual maupun pembeli terlindungi dari terik sinar matahari.
Dipelopori Komunitas Mata Air, warga secara swadaya menggelar pasar dengan konsep ramah lingkungan dan unik. Dalam operasionalnya, pedagang tidak menggunakan plastik, mereka membungkus makanan dengan daun. Jika pembeli membawa barang cukup banyak, pedagang telah menyediakan keranjang kecil dari bambu untuk menentengnya.
Dalam bertransaksi di pasar tersebut, tidak menggunakan uang, tetapi kepingan bambu berbentuk segi empat panjang. Setiap keping bernilai Rp2.000,00.
Pengunjung yang mau membeli produk yang dijual di Pasar Papringan tersebut harus menukarkan uangnya dengan kepingan bambu yang tersedia di beberapa titik penukaran.
Ketua Komunitas Mata Air Imam Abdul Rofik mengatakan bahwa Pasar Papringan Ngadiprono diselenggarakan setiap minggu wage dan minggu pon mulai pukul 06.00 sampai dengan 12.00 WIB.
Tidak hanya sebagai upaya konservasi alam, terutama vegetasi tanaman bambu, tetapi Pasar Papringan juga untuk mengangkat segala kearifan lokal masyarakat sekaligus merangsang pertumbuhan ekonomi warga, kata Imam Abdul Rofik.
Menurut dia, sebelumnya tempat ini hanya digunakan warga sebagai lokasi pembuangan sampah. Bermula dari rasa kepedulian, akhirnya pihaknya memelopori pembukaan Pasar Papringan.
Imam Abdul Rofik menyebutkan ada 60 pedagang yang berjualan di Pasar Papringan. Mayoritas warga Dusun Ngadiprono. Adapun jenis barang yang dijual meliputi kuliner, hasil pertanian, dan kerajinan produksi lokal.
Ia menyebutkan ada yang menjual nasi jagung, mangut, jamu, dawet anget khas Ngadiprono, jajanan pasar, serta yang paling khas adalah makanan bernama nglemeng, yaitu campuran ubi dan gula merah yang dimasukkan ke dalam batang bambu dan dimasak dengan cara dibakar.
Menurut dia, omzet penjualan di Pasar Papringan sebagai pasar wisata ini mencapai Rp35 juta setiap kali beroperasi.
Omzet tersebut khusus untuk penjualan di lokasi pasar, belum termasuk pendapatan parkir.
Setiap kali beroperasi pengunjung mencapai 1.800 hingga 2.000 orang. Pengunjung tidak saja dari wilayah Kabupaten Temanggung, tetapi juga dari Semarang, Yogyakarta, dan sebagainya. Bahkan, wisatawan mancanegara juga tertarik datang di Pasar Papringan.
Makanan tradisional yang dijajakan ada sekitar 100 jenis, antara lain, nasi megono, nasi jagung, nasi kuning, bubur kampung, dawet anget, dan wedang lemeng.
Mereka yang berjualan adalah warga Dusun Ngadiprono dan sekitarnya karena mereka ingin memberdayakan perekonomian masyarakat lokal, katanya.
Jika pengunjung ingin mendapatkan berbagai jenis kuliner tradisional yang masih komplet, merfeka harus datang pada pagi hari karena biasanya sebelum pukul 12.00 WIB dagangan sudah habis.
Pedagang klemet dan bendung jagung warga Dusun Ngadiprono, Artiyana, mengatakan bahwa setiap kali berjualan rata-rata mendapat 150 keping atau senilai Rp300 ribu.
"Keuantungan yang kami dapat sekitar Rp50 ribu hingga Rp70 ribu setiap berjualan. Lumayan untuk menambah penghasilan keluarga," katanya.
Meskipun barang dagangannya berbahan baku ketela pohon dan jagung, ternyata peminatnya cukup banyak dan barang yang dibawa selalu habis terjual.
Noimah, pedagang yang lain, mengaku dengan dibukanya pasar ini cukup berpengaruh dengan pendapatan serta perekonomian warga. Ia menjual satu porsi nasi jagung dengan harga dua keping atau Rp4.000,00. Jika ditambah dengan lauk, seperti tahu atau telur, harganya menjadi tiga hingga empat keping.
Menurut dia, biasanya belum sampai pukul 12.00 WIB dagangannya sudah habis. Nasi jagung ternyata digemari pengunjung, terutama dari luar daerah karena penasaran dengan nasi jagung.
Dengan dibukanya Pasar Papringan sebulan dua kali, kata dia, tidak masalah karena kalau terlalu sering justru masyarakat bisa bosan dan tidak menarik lagi.
Pengunjung dari Yogyakarta Harianto mengaku kegiatan di Pasar Papringan menarik sekali. Selain pengunjung bisa menikmati berbagai kuliner tradisional, pengunjung juga disuguhi kesenian tradisional.
Harianto mengaku baru sekali berkunjung ke Pasar Papringan ini. Menurut dia, ternyata cukup unik dan menarik serta suasananya sangat asri di bawah rimbunan pohon bambu.
Selain menjual berbagai jajanan tradisional, hasil kerajinan, dan hasil pertanian, di Pasar Papringan juga ada jasa pijat dan tukang potong rambut. Guna menarik pengunjung, juga disediakan permainan tradisional, seperi bakiak, egrang, dan dakon.
Heru Suyitno
Papringan di dusun tersebut justru dimanfaatkan warga untuk berjualan setiap minggu wage dan minggu pon. Banyak orang tidak percaya bahwa kebun bambu yang sebelumnya sepi dan kotor tersebut kini mampu menyedot ribuan pengunjung untuk datang ke lokasi itu guna menikmati jajanan tradisional yang dijual warga setempat.
Sejumlah rumpun bambu yang tumbuh subur di lahan seluas 2.500 meter persegi tersebut digunakan warga setempat untuk membuka lapak jualannya sehingga penjual maupun pembeli terlindungi dari terik sinar matahari.
Dipelopori Komunitas Mata Air, warga secara swadaya menggelar pasar dengan konsep ramah lingkungan dan unik. Dalam operasionalnya, pedagang tidak menggunakan plastik, mereka membungkus makanan dengan daun. Jika pembeli membawa barang cukup banyak, pedagang telah menyediakan keranjang kecil dari bambu untuk menentengnya.
Dalam bertransaksi di pasar tersebut, tidak menggunakan uang, tetapi kepingan bambu berbentuk segi empat panjang. Setiap keping bernilai Rp2.000,00.
Pengunjung yang mau membeli produk yang dijual di Pasar Papringan tersebut harus menukarkan uangnya dengan kepingan bambu yang tersedia di beberapa titik penukaran.
Ketua Komunitas Mata Air Imam Abdul Rofik mengatakan bahwa Pasar Papringan Ngadiprono diselenggarakan setiap minggu wage dan minggu pon mulai pukul 06.00 sampai dengan 12.00 WIB.
Tidak hanya sebagai upaya konservasi alam, terutama vegetasi tanaman bambu, tetapi Pasar Papringan juga untuk mengangkat segala kearifan lokal masyarakat sekaligus merangsang pertumbuhan ekonomi warga, kata Imam Abdul Rofik.
Menurut dia, sebelumnya tempat ini hanya digunakan warga sebagai lokasi pembuangan sampah. Bermula dari rasa kepedulian, akhirnya pihaknya memelopori pembukaan Pasar Papringan.
Imam Abdul Rofik menyebutkan ada 60 pedagang yang berjualan di Pasar Papringan. Mayoritas warga Dusun Ngadiprono. Adapun jenis barang yang dijual meliputi kuliner, hasil pertanian, dan kerajinan produksi lokal.
Ia menyebutkan ada yang menjual nasi jagung, mangut, jamu, dawet anget khas Ngadiprono, jajanan pasar, serta yang paling khas adalah makanan bernama nglemeng, yaitu campuran ubi dan gula merah yang dimasukkan ke dalam batang bambu dan dimasak dengan cara dibakar.
Menurut dia, omzet penjualan di Pasar Papringan sebagai pasar wisata ini mencapai Rp35 juta setiap kali beroperasi.
Omzet tersebut khusus untuk penjualan di lokasi pasar, belum termasuk pendapatan parkir.
Setiap kali beroperasi pengunjung mencapai 1.800 hingga 2.000 orang. Pengunjung tidak saja dari wilayah Kabupaten Temanggung, tetapi juga dari Semarang, Yogyakarta, dan sebagainya. Bahkan, wisatawan mancanegara juga tertarik datang di Pasar Papringan.
Makanan tradisional yang dijajakan ada sekitar 100 jenis, antara lain, nasi megono, nasi jagung, nasi kuning, bubur kampung, dawet anget, dan wedang lemeng.
Mereka yang berjualan adalah warga Dusun Ngadiprono dan sekitarnya karena mereka ingin memberdayakan perekonomian masyarakat lokal, katanya.
Jika pengunjung ingin mendapatkan berbagai jenis kuliner tradisional yang masih komplet, merfeka harus datang pada pagi hari karena biasanya sebelum pukul 12.00 WIB dagangan sudah habis.
Pedagang klemet dan bendung jagung warga Dusun Ngadiprono, Artiyana, mengatakan bahwa setiap kali berjualan rata-rata mendapat 150 keping atau senilai Rp300 ribu.
"Keuantungan yang kami dapat sekitar Rp50 ribu hingga Rp70 ribu setiap berjualan. Lumayan untuk menambah penghasilan keluarga," katanya.
Meskipun barang dagangannya berbahan baku ketela pohon dan jagung, ternyata peminatnya cukup banyak dan barang yang dibawa selalu habis terjual.
Noimah, pedagang yang lain, mengaku dengan dibukanya pasar ini cukup berpengaruh dengan pendapatan serta perekonomian warga. Ia menjual satu porsi nasi jagung dengan harga dua keping atau Rp4.000,00. Jika ditambah dengan lauk, seperti tahu atau telur, harganya menjadi tiga hingga empat keping.
Menurut dia, biasanya belum sampai pukul 12.00 WIB dagangannya sudah habis. Nasi jagung ternyata digemari pengunjung, terutama dari luar daerah karena penasaran dengan nasi jagung.
Dengan dibukanya Pasar Papringan sebulan dua kali, kata dia, tidak masalah karena kalau terlalu sering justru masyarakat bisa bosan dan tidak menarik lagi.
Pengunjung dari Yogyakarta Harianto mengaku kegiatan di Pasar Papringan menarik sekali. Selain pengunjung bisa menikmati berbagai kuliner tradisional, pengunjung juga disuguhi kesenian tradisional.
Harianto mengaku baru sekali berkunjung ke Pasar Papringan ini. Menurut dia, ternyata cukup unik dan menarik serta suasananya sangat asri di bawah rimbunan pohon bambu.
Selain menjual berbagai jajanan tradisional, hasil kerajinan, dan hasil pertanian, di Pasar Papringan juga ada jasa pijat dan tukang potong rambut. Guna menarik pengunjung, juga disediakan permainan tradisional, seperi bakiak, egrang, dan dakon.
Heru Suyitno
Tags
Aktual