Jakarta, 11/10 (Benhil) - Anthony Chandra Kartawiria adalah tersangka kasus restitusi pajak PT. Mobile 8 yang mengajukan permohonan praperadilan dan dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 29 November 2016.
Akan tetapi penyidik kemudian kembali menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) yang dinilai Anthony hanya dengan memodifikasi sedikit materi dugaan tindak pidana.
Anthony kemudian khawatir adanya potensi penyidik dapat menerbitkan sprindik dan menetapkannya sebagai tersangka atas subjek hukum yang sama dengan menggunakan alat bukti yang sama berulang-ulang.
Atas kejadian tersebut, Anthony merasa mengalami ketidakpastian hukum, sehingga mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan permohonan supaya Mahkamah menyatakan Pasal 83 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Setelah menjalani beberapa persidangan, Mahkamah kemudian memutus untuk menolak permohonan uji materi yang diajukan oleh Anthony.
"Amar putusan Mahkamah mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan amar putusan Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi menilai tidak ada persoalan konstitusionalitas terhadap rumusan norma Pasal 83 ayat (1) KUHAP, sehingga dalil Anthony selaku pemohon dalam perkara ini, dinyatakan hakim Mahkamah Konstitusi tidak beralasan menurut hukum.
Pertimbangan Terkait dengan kekhawatiran Anthony Chandra Kartawiria mengenai potensi penyidik dapat menerbitkan sprindik dan menetapkan pemohon sebagai tersangka atas subjek hukum yang sama dengan menggunakan alat bukti yang sama berulang-ulang, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah persoalan konstitusionalitas norma Pasal 83 ayat (1) KUHAP.
Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menjelaskan hal tersebut merupakan permasalahan implementasi dan dalam hal yang demikian tidak mengurangi hak pemohon untuk menggunakan mekanisme praperadilan .
Menurut Mahkamah Konstitusi, kekhawatiran pemohon tidak perlu terjadi bila penyidik berpedoman pada putusan mahkamah ini, terutama di dalam menggunakan alat bukti sebagai dasar penyidikan kembali adalah alat bukti yang sudah disempurnakan secara substansial dan tidak bersifat formalitas belaka.
Dengan demikian akan diperoleh adanya kepastian hukum tidak saja bagi tersangka, tetapi juga bagi penegak hukum yang tidak akan dengan mudah melepaskan seseorang dari jerat pidana.
Mengenai dalil Anthony selaku pemohon yang meminta frasa "tidak dapat dimintakan banding" dalam Pasal 83 ayat (1) KUHAP adalah bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan bersyarat, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan itu berlebihan.
Hal ini mengingat bahwa telah jelas sifat dari praperadilan adalah perkara yang harus cepat penyelesaiannya dan juga dari normanya sendiri dalam pasal a sudah jelas melarang upaya hukum banding.
Dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman disebutkan bahwa putusan praperadilan sebagaimana dimaksud Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81 KUHAP tidak dapat dimintakan banding, karena proses praperadilan harus dilakukan secara cepat dan semata-mata berfungsi sebagai pengawasan dan kontrol.
Terlebih lagi, upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali jelas tidak diperbolehkan dalam proses praperadilan karena hal ini tentu akan membutuhkan waktu yang lebih lama lagi.
Mahkamah menegaskan lembaga praperadilan hanya berfungsi sebagai bentuk pengawasan terhadap proses prosedural penanganan seorang tersangka oleh penyidik sebelum diajukan di persidangan.
Pada hakikatnya pelaksanaan praperadilan tidak boleh mengganggu bahkan menghentikan proses penanganan perkara pokoknya, jelas Anwar.
Di samping itu, argumentasi Mahkamah Konstitusi tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 45A UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang pada pokoknya menyatakan tidak dapat diajukan kasasi untuk putusan praperadilan.
Selanjutnya, terkait dengan permohonan Anthony yang meminta Mahkamah Konstitusi juga menafsirkan "termasuk penyidik tidak dapat menerbitkan kembali surat perintah penyidikan kecuali memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah dan belum pernah diajukan dalam sidang praperadilan, juga berbeda dari alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara", Mahkamah Konstitusi memiliki pendapat yang sama dengan putusan sebelumnya.
Putusan tersebut menegaskan bahwa penyidik dapat kembali menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik), sehingga penyidikan dapat kembali dilakukan secara ideal dan benar, meskipun praperadilan telah membatalkan status tersangka atas seseorang.
"Hal ini harus dipahami bahwa sepanjang prosedur penyidikan dipenuhi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, maka penyidikan baru tetap dapat dilakukan," ujar Anwar.
Terkait dengan dua alat bukti "baru" yang tercantum dalam ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi berpendapat alat bukti yang digunakan pada penyidikan terdahulu dapat ditolak karena alasan formalitas belaka yang tidak terpenuhi.
Alat bukti tersebut baru dapat dipenuhi secara substansial oleh penyidik pada penyidikan yang baru, dengan demikian sesungguhnya alat bukti dimaksud telah menjadi alat bukti baru, kata Anwar.
Oleh sebab itu, terhadap alat bukti yang telah disempurnakan oleh penyidik tersebut tidak boleh dikesampingkan dan tetap dapat dipergunakan sebagai dasar penyidikan yang baru dan dasar untuk menetapkan kembali seorang menjadi tersangka. (Ben/An)
Akan tetapi penyidik kemudian kembali menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) yang dinilai Anthony hanya dengan memodifikasi sedikit materi dugaan tindak pidana.
Anthony kemudian khawatir adanya potensi penyidik dapat menerbitkan sprindik dan menetapkannya sebagai tersangka atas subjek hukum yang sama dengan menggunakan alat bukti yang sama berulang-ulang.
Atas kejadian tersebut, Anthony merasa mengalami ketidakpastian hukum, sehingga mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan permohonan supaya Mahkamah menyatakan Pasal 83 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Setelah menjalani beberapa persidangan, Mahkamah kemudian memutus untuk menolak permohonan uji materi yang diajukan oleh Anthony.
"Amar putusan Mahkamah mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan amar putusan Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi menilai tidak ada persoalan konstitusionalitas terhadap rumusan norma Pasal 83 ayat (1) KUHAP, sehingga dalil Anthony selaku pemohon dalam perkara ini, dinyatakan hakim Mahkamah Konstitusi tidak beralasan menurut hukum.
Pertimbangan Terkait dengan kekhawatiran Anthony Chandra Kartawiria mengenai potensi penyidik dapat menerbitkan sprindik dan menetapkan pemohon sebagai tersangka atas subjek hukum yang sama dengan menggunakan alat bukti yang sama berulang-ulang, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah persoalan konstitusionalitas norma Pasal 83 ayat (1) KUHAP.
Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menjelaskan hal tersebut merupakan permasalahan implementasi dan dalam hal yang demikian tidak mengurangi hak pemohon untuk menggunakan mekanisme praperadilan .
Menurut Mahkamah Konstitusi, kekhawatiran pemohon tidak perlu terjadi bila penyidik berpedoman pada putusan mahkamah ini, terutama di dalam menggunakan alat bukti sebagai dasar penyidikan kembali adalah alat bukti yang sudah disempurnakan secara substansial dan tidak bersifat formalitas belaka.
Dengan demikian akan diperoleh adanya kepastian hukum tidak saja bagi tersangka, tetapi juga bagi penegak hukum yang tidak akan dengan mudah melepaskan seseorang dari jerat pidana.
Mengenai dalil Anthony selaku pemohon yang meminta frasa "tidak dapat dimintakan banding" dalam Pasal 83 ayat (1) KUHAP adalah bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan bersyarat, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan itu berlebihan.
Hal ini mengingat bahwa telah jelas sifat dari praperadilan adalah perkara yang harus cepat penyelesaiannya dan juga dari normanya sendiri dalam pasal a sudah jelas melarang upaya hukum banding.
Dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman disebutkan bahwa putusan praperadilan sebagaimana dimaksud Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81 KUHAP tidak dapat dimintakan banding, karena proses praperadilan harus dilakukan secara cepat dan semata-mata berfungsi sebagai pengawasan dan kontrol.
Terlebih lagi, upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali jelas tidak diperbolehkan dalam proses praperadilan karena hal ini tentu akan membutuhkan waktu yang lebih lama lagi.
Mahkamah menegaskan lembaga praperadilan hanya berfungsi sebagai bentuk pengawasan terhadap proses prosedural penanganan seorang tersangka oleh penyidik sebelum diajukan di persidangan.
Pada hakikatnya pelaksanaan praperadilan tidak boleh mengganggu bahkan menghentikan proses penanganan perkara pokoknya, jelas Anwar.
Di samping itu, argumentasi Mahkamah Konstitusi tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 45A UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang pada pokoknya menyatakan tidak dapat diajukan kasasi untuk putusan praperadilan.
Selanjutnya, terkait dengan permohonan Anthony yang meminta Mahkamah Konstitusi juga menafsirkan "termasuk penyidik tidak dapat menerbitkan kembali surat perintah penyidikan kecuali memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah dan belum pernah diajukan dalam sidang praperadilan, juga berbeda dari alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara", Mahkamah Konstitusi memiliki pendapat yang sama dengan putusan sebelumnya.
Putusan tersebut menegaskan bahwa penyidik dapat kembali menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik), sehingga penyidikan dapat kembali dilakukan secara ideal dan benar, meskipun praperadilan telah membatalkan status tersangka atas seseorang.
"Hal ini harus dipahami bahwa sepanjang prosedur penyidikan dipenuhi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, maka penyidikan baru tetap dapat dilakukan," ujar Anwar.
Terkait dengan dua alat bukti "baru" yang tercantum dalam ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi berpendapat alat bukti yang digunakan pada penyidikan terdahulu dapat ditolak karena alasan formalitas belaka yang tidak terpenuhi.
Alat bukti tersebut baru dapat dipenuhi secara substansial oleh penyidik pada penyidikan yang baru, dengan demikian sesungguhnya alat bukti dimaksud telah menjadi alat bukti baru, kata Anwar.
Oleh sebab itu, terhadap alat bukti yang telah disempurnakan oleh penyidik tersebut tidak boleh dikesampingkan dan tetap dapat dipergunakan sebagai dasar penyidikan yang baru dan dasar untuk menetapkan kembali seorang menjadi tersangka. (Ben/An)