Melihat tingginya limbah sampah yang dihasilkan oleh warung-warung makan di kawasan kampus di Yogyakarta, Hijrah Purnama Putra (34) tidak semata-mata memandangnya sebagai masalah yang harus segera disingkirkan atau dibakar.
Ia memandang bahwa sampah-sampah tersebut sebagai potensi ekonomi baru yang dapat dikembangkan bersama masyarakat.
Dengan optimisme dan kegigihannya, Hijrah yang dosen Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu, berhasil mengubah sampah-sampah dari warung di sekitar kampus menjadi aneka suvenir dan produk kerajinan bernilai ekonomi tinggi melalui Butik Daur Ulang yang ia dirikan di Jalan Sukoharjo Nomor 132 Condongcatur, Kabupaten Sleman.
Pada 2005, Hijrah bersama teman-temannya sesama mahasiswa pascasarjana di Yogyakarta berinisiatif mengumpulkan aneka sampah kemasan plastik yang dibeli dari para pemilik warung makanan di kawasan tersebut.
Mereka diminta mengumpulkan sampah dari berbagai bahan kemasan tersebut, seperti mi instan. Hijrah kemudian membeli sampah yang telah terkumpul setiap sepekan itu dengan harga berkisar Rp20.000 hingga Rp30.000.
Berbagai sampah yang diperoleh dari para pemilik warung makanan itu, awalnya sekadar dikumpulkan.
Ia mencontohkan keprihatinannya tentang sampah dari kemasan mi instan berbahan aluminium foil yang hanya dibuang dan dibakar karena tidak laku dijual.
Baru pada 2009, Hijrah mulai "memutar otak" untuk mengubah sampah dari bahan kemasan itu menjadi barang yang bernilai jual.
Merasa tidak mampu mengolah sendiri, Hijrah meminta para ibu rumah tangga untuk menyulapnya menjadi tas.
Orderan pertama berjumlah 250 tas untuk acara seminar di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
"Dan hasilnya luar biasa, banyak yang tertarik," kata dia.
Bank Sampah Oleh karena produk daur ulangnya banyak diminati, akhirnya Hijrah tidak sekadar menggandeng para pemilik warung makanan.
Ia mulai mengajak masyarakat lainnya di Yogyakarta untuk mengumpulkan sampah dari bahan kemasan melalui konsep bank sampah. Saat ini, sudah ada 230 kelompok warga dari lima kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta yang bergabung dalam pengelolaan bank sampah tersebut.
Melalui bank sampah itu, setiap kelompok masyarakat akan memiliki rekening. Setiap bulan, ia memberikan laporan rekapitulasi hasil penjualan dan pembagian keuntungan atas sampah yang mereka kumpulkan.
Setelah produk penjualannya berkembang pesat, pada 2011 ia mendirikan Butik Daur Ulang.
Dengan menggandeng 18 ibu rumah tangga, sampah-sampah kemasan tidak hanya berhasil disulap menjadi tas seminar.
Mereka juga menghasilkan aneka produk layak jual lainnya, seperti miniatur, mainan anak-anak, tas sekolah, dan tas komputer jinjing, dengan harga bervariasi, mulai Rp6.000 hingga Rp275.000 per unit.
"Kini permintaan bisa sampai Aceh hingga Papua," kata dia.
Apresiasi Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Daerah Istimewa Yogyakarta Halik Sandera mengapresiasi gagasan Hijrah yang memelopori pendirian Butik Daur Ulang serta bank sampah.
Dengan model pengelolaan seperti itu masyarakat terdorong memperhatikan sampah di sekitarnya secara berkelanjutan. Setidaknya, masyarakat menjadi lebih peduli dengan sampah. Meski demikian, persoalan mengenai sampah tidak akan selesai jika hanya mengandalkan penyelesaiannya di tingkat kesadaran masyarakat.
Dari sisi perusahaan yang memproduksi sampah, juga harus didorong untuk melakukan evaluasi dan berbenah agar mampu menghasilkan produk dengan kemasan yang ramah lingkungan.
Ia mencontohkan tentang sampah dari bahan plastik kemasan. Meskipun telah diubah menjadi produk berguna lain, seperti tas, pada akhirnya barang itu tidak dimanfaatkan juga dan menjadi sampah lagi yang tidak bisa diurai.
Hingga saat ini, masih banyak produk yang beredar dengan kemasan plastik berlapis-lapis yang pada akhirnya makin mempersulit pengolahannya.
Tanggung jawab penanggulangan dampak penggunaan plastik terhadap pengelolaan sampah oleh produsen tertuang dalam Pasal 15 Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Tanggung Jawab Produsen (Extended Producer Responsibility/EPR).
Melalui undang-undang itu, perusahaan atau peritel wajib mengurangi sampah plastik anorganik yang sulit terurai secara alami.
"Artinya perusahaan tidak cukup hanya memberikan pembinaan pengelolaan sampah kepada masyarakat melalui dana CSR (Program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, red.) saja," kata Halik.
Tidak sekadar untung Meski mengapresiasi ide pengelolaan sampah menjadi barang bernilai jual, Kepala Bidang Pengembangan Kapasitas Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta Very Tri Jatmiko mengingatkan kembali bahwa tujuan utama pembentukan bank sampah seharusnya bukan sekadar mencari keuntungan.
Akan tetapi, membantu mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan.
Jika tujuan utama pembentukan bank sampah adalah mencari keuntungan, maka ketika tujuan tersebut tidak tercapai, bank sampah cenderung tidak berkembang.
"Ini yang perlu kami ingatkan kembali," kata dia.
Selama ini, BLH Yogyakarta memang ikut mendukung terbentuknya bank sampah karena manfaatnya yang cukup signifikan dalam mengurangi sampah.
Hingga 2016, jumlah bank sampah di wilayah Kota Yogyakarta telah mencapai 405 unit berbasis rukun warga, namun tidak semuanya dalam kondisi berkembang. Pengelolaan beberapa bank sampah berbasis RW itu "mati suri".
Keberadaan bank sampah membantu warga di Yogyakarta untuk memiliki komitmen tinggi melalui pemilahan sampah sejak dari rumah tangga.
Sampah anorganik yang masih memiliki nilai jual dikumpulkan dan kemudian ditabung di bank sampah.
Selain melalui bank sampah, BLH Kota Yogyakarta memberikan pendidikan mengenai sampah dan pemilahan sampah kepada anak usia dini agar pemilahan sampah sejak dari sumbernya menjadi budaya warga pada masa yang akan datang.
Ia memandang bahwa sampah-sampah tersebut sebagai potensi ekonomi baru yang dapat dikembangkan bersama masyarakat.
Dengan optimisme dan kegigihannya, Hijrah yang dosen Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu, berhasil mengubah sampah-sampah dari warung di sekitar kampus menjadi aneka suvenir dan produk kerajinan bernilai ekonomi tinggi melalui Butik Daur Ulang yang ia dirikan di Jalan Sukoharjo Nomor 132 Condongcatur, Kabupaten Sleman.
Pada 2005, Hijrah bersama teman-temannya sesama mahasiswa pascasarjana di Yogyakarta berinisiatif mengumpulkan aneka sampah kemasan plastik yang dibeli dari para pemilik warung makanan di kawasan tersebut.
Mereka diminta mengumpulkan sampah dari berbagai bahan kemasan tersebut, seperti mi instan. Hijrah kemudian membeli sampah yang telah terkumpul setiap sepekan itu dengan harga berkisar Rp20.000 hingga Rp30.000.
Berbagai sampah yang diperoleh dari para pemilik warung makanan itu, awalnya sekadar dikumpulkan.
Ia mencontohkan keprihatinannya tentang sampah dari kemasan mi instan berbahan aluminium foil yang hanya dibuang dan dibakar karena tidak laku dijual.
Baru pada 2009, Hijrah mulai "memutar otak" untuk mengubah sampah dari bahan kemasan itu menjadi barang yang bernilai jual.
Merasa tidak mampu mengolah sendiri, Hijrah meminta para ibu rumah tangga untuk menyulapnya menjadi tas.
Orderan pertama berjumlah 250 tas untuk acara seminar di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
"Dan hasilnya luar biasa, banyak yang tertarik," kata dia.
Bank Sampah Oleh karena produk daur ulangnya banyak diminati, akhirnya Hijrah tidak sekadar menggandeng para pemilik warung makanan.
Ia mulai mengajak masyarakat lainnya di Yogyakarta untuk mengumpulkan sampah dari bahan kemasan melalui konsep bank sampah. Saat ini, sudah ada 230 kelompok warga dari lima kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta yang bergabung dalam pengelolaan bank sampah tersebut.
Melalui bank sampah itu, setiap kelompok masyarakat akan memiliki rekening. Setiap bulan, ia memberikan laporan rekapitulasi hasil penjualan dan pembagian keuntungan atas sampah yang mereka kumpulkan.
Setelah produk penjualannya berkembang pesat, pada 2011 ia mendirikan Butik Daur Ulang.
Dengan menggandeng 18 ibu rumah tangga, sampah-sampah kemasan tidak hanya berhasil disulap menjadi tas seminar.
Mereka juga menghasilkan aneka produk layak jual lainnya, seperti miniatur, mainan anak-anak, tas sekolah, dan tas komputer jinjing, dengan harga bervariasi, mulai Rp6.000 hingga Rp275.000 per unit.
"Kini permintaan bisa sampai Aceh hingga Papua," kata dia.
Apresiasi Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Daerah Istimewa Yogyakarta Halik Sandera mengapresiasi gagasan Hijrah yang memelopori pendirian Butik Daur Ulang serta bank sampah.
Dengan model pengelolaan seperti itu masyarakat terdorong memperhatikan sampah di sekitarnya secara berkelanjutan. Setidaknya, masyarakat menjadi lebih peduli dengan sampah. Meski demikian, persoalan mengenai sampah tidak akan selesai jika hanya mengandalkan penyelesaiannya di tingkat kesadaran masyarakat.
Dari sisi perusahaan yang memproduksi sampah, juga harus didorong untuk melakukan evaluasi dan berbenah agar mampu menghasilkan produk dengan kemasan yang ramah lingkungan.
Ia mencontohkan tentang sampah dari bahan plastik kemasan. Meskipun telah diubah menjadi produk berguna lain, seperti tas, pada akhirnya barang itu tidak dimanfaatkan juga dan menjadi sampah lagi yang tidak bisa diurai.
Hingga saat ini, masih banyak produk yang beredar dengan kemasan plastik berlapis-lapis yang pada akhirnya makin mempersulit pengolahannya.
Tanggung jawab penanggulangan dampak penggunaan plastik terhadap pengelolaan sampah oleh produsen tertuang dalam Pasal 15 Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Tanggung Jawab Produsen (Extended Producer Responsibility/EPR).
Melalui undang-undang itu, perusahaan atau peritel wajib mengurangi sampah plastik anorganik yang sulit terurai secara alami.
"Artinya perusahaan tidak cukup hanya memberikan pembinaan pengelolaan sampah kepada masyarakat melalui dana CSR (Program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, red.) saja," kata Halik.
Tidak sekadar untung Meski mengapresiasi ide pengelolaan sampah menjadi barang bernilai jual, Kepala Bidang Pengembangan Kapasitas Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta Very Tri Jatmiko mengingatkan kembali bahwa tujuan utama pembentukan bank sampah seharusnya bukan sekadar mencari keuntungan.
Akan tetapi, membantu mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan.
Jika tujuan utama pembentukan bank sampah adalah mencari keuntungan, maka ketika tujuan tersebut tidak tercapai, bank sampah cenderung tidak berkembang.
"Ini yang perlu kami ingatkan kembali," kata dia.
Selama ini, BLH Yogyakarta memang ikut mendukung terbentuknya bank sampah karena manfaatnya yang cukup signifikan dalam mengurangi sampah.
Hingga 2016, jumlah bank sampah di wilayah Kota Yogyakarta telah mencapai 405 unit berbasis rukun warga, namun tidak semuanya dalam kondisi berkembang. Pengelolaan beberapa bank sampah berbasis RW itu "mati suri".
Keberadaan bank sampah membantu warga di Yogyakarta untuk memiliki komitmen tinggi melalui pemilahan sampah sejak dari rumah tangga.
Sampah anorganik yang masih memiliki nilai jual dikumpulkan dan kemudian ditabung di bank sampah.
Selain melalui bank sampah, BLH Kota Yogyakarta memberikan pendidikan mengenai sampah dan pemilahan sampah kepada anak usia dini agar pemilahan sampah sejak dari sumbernya menjadi budaya warga pada masa yang akan datang.
Luqman Hakim
Tags
Aktual