Jakarta, 22/10 (Benhil) - Di masa lalu, manusia belum mengenal peralatan dari logam, mereka membuat segala perabotannya dari apa yang didapat dari alam sekitar, seperti kayu, daun, tulang, kulit binatang, dan juga dari batu.
Peninggalan batu-batu besar berbentuk tugu (menhir), bejana batu (kalamba), meja batu (dolmen), tempat jenazah (sarkofagus), atau punden berundak, menjadi bukti-bukti yang tak mudah lekang digerus zaman soal adanya peradaban beratus dan berpuluh abad silam di berbagai tempat.
Di Indonesia, salah satu lokasi peninggalan kebudayaan zaman megalitik (batu besar) tertua bisa disaksikan di kawasan Cagar Budaya Lore-Lindu di Sulawesi Tengah, di mana telah ditemukan antara 67 hingga 83 situs.
Peninggalan batu-batu besar berbentuk tugu (menhir), bejana batu (kalamba), meja batu (dolmen), tempat jenazah (sarkofagus), atau punden berundak, menjadi bukti-bukti yang tak mudah lekang digerus zaman soal adanya peradaban beratus dan berpuluh abad silam di berbagai tempat.
Di Indonesia, salah satu lokasi peninggalan kebudayaan zaman megalitik (batu besar) tertua bisa disaksikan di kawasan Cagar Budaya Lore-Lindu di Sulawesi Tengah, di mana telah ditemukan antara 67 hingga 83 situs.
Hasil uji pertanggalan karbon peninggalan megalitikum yang tersebar di kawasan Lore menunjukkan usia kebudayaan ini berada di kisaran 2000 tahun sebelum masehi.
Sedangkan, hasil penelitian berdasarkan temuan tulang-tulang rangka manusia di salah satu kubur tempayan di situs Wineki, Lembah Behoa mengungkapkan sisa-sisa peninggalan tersebut diperkirakan berusia sekitar 2351-1416 sebelum masehi yang kemudian punah pada sekitar tahun 1452-1527 masehi.
Peninggalan zaman megalitikum tersebut tersebar di lebih dari 200 ribu hektare di kawasan Taman Nasional Lore Lindu di Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah yang masih berkarakter vegetasi hutan hujan dataran rendah dan hutan hujan pegunungan.
Di Kabupaten Sigi, kawasan yang memiliki persebaran megalitik dikenal dengan nama Lindu, sedangkan di Kabupaten Poso, dikenal dengan kawasan Lore di mana terdapat tiga lembah yang memiliki persebarannya, yakni Lembah Napu, Lembah Behoa dan Lembah Bada. Artikel menarik lainnya: Memetakan Hutan Adat Lindu, Melindungi Jantung Sulawesi.
Temuan megalitik tersebut berupa bejana batu (kalamba), tempayan kubur, arca, menhir, batu lumpang, batu dakon, batu lesung, batu dulang, punden berundak, hingga pagar/benteng.
Dari aspek sejarah, kehadiran cagar budaya kawasan Lore-Lindu dinilai memberi sumbangan sangat berarti dalam perkembangan migrasi penutur bahasa Austronesia yang secara teoritis masuk ke wilayah Nusantara melalui wilayah Sulawesi (jalur utara) dan diketahui sebagai moyang bangsa Indonesia.
DNA Austronesia Dari hasil analisis DNA pada pendukung budaya di Situs Tadulako di Lembah Behoa, menurut arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Dwi Yani Yuniawati Umar, diketahui dapat digolongkan sebagai sekuens DNA manusia modern yang termasuk dalam suku bangsa Austronesia.
Dari pendekatan filogenetik dengan menggunakan "genetic distance" menunjukkan adanya kedekatan kekerabatan DNA manusia Tadulako dengan lima populasi di Sulawesi saat ini, yakni etnik Kajang di Bulukumba dan etnik Toraja di Provinsi Sulawesi Selatan, etnik Mandar di Sulawesi Barat, etnik Kaili di Sulawesi Tengah, dan etnik Minahasa di Sulawesi Utara.
Diperkirakan, masyarakat pendukung budaya megalitik yang dibawa oleh penutur Austronesia protosejarah ini sudah mengenal dan membuat rumah-rumah bertiang sederhana sebagai tempat bermukim yang dari hasil etnoarsitektur tampaknya dibangun dengan menggunakan batu sebagai alasnya.
Dari hasil survei dan ekskavasi yang dilakukan di tiga lembah, Lembah Napu, Lembah Behoa dan Lembah Bada, memang diketahui bahwa situs-situs yang ditemukan merupakan suatu pemukiman.
Dalam pemukiman tersebut terdapat ruang untuk tempat berdiam, ruang untuk melakukan upacara ritual, ruang untuk penguburan, ruang perbengkelan, dan ruang sumber bahan baku.
Ditemukan pula dalam kalamba-kalamba tersebut fragmen-fragmen gerabah berupa wadah dan manik-manik, serta temuan di sekitarnya berupa gelang logam, batu gerinda, senjata logam, dan pemukul dari batu, ujar dia.
Dari hasil penelitian, kehidupan masyarakat ini diperkirakan juga telah menetap dalam bentuk kelompok-kelompok menyerupai kehidupan di perkampungan seperti di masa sekarang dan mengenal adanya stratifikasi sosial dan strata kepemimpinan.
Masyarakat zaman megalitik ini juga memiliki pembagian kerja antara kaum laki-laki yang lebih fokus pada mengerjakan perbengkelan dan pertanian serta kaum perempuan yang mengurusi rumah tangga.
Warisan Dunia Saat ini kawasan cagar budaya Lore-Lindu sedang disiapkan untuk diajukan ke United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menjadi warisan dunia (world heritage).
Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Gorontalo yang menangani wilayah Sulawesi Zakaria Kasimin menargetkan sedikitnya lima tahun kawasan ini sudah siap dicalonkan masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia yang terdapat di Indonesia.
Ini berarti bisa melengkapi delapan situs yang saat ini sudah menjadi warisan dunia, yakni empat situs alam, Taman Nasional Komodo, Ujung Kulon, Lorentz, dan Hutan Hujan Tropis Sumatera, serta empat situs budaya, Candi Borobudur, Prambanan, situs manusia purba Sangiran dan Subak di Bali.
Apalagi, temuan bejana batu prasejarah di situs ini cukup langka di dunia yang hanya ditemukan dalam jumlah terbatas seperti di "Plain of Jars" di Laos yang sudah masuk dalam daftar tentatif nominasi warisan budaya dunia.
Ditambah lagi, dari hasil riset, kawasan dengan luasnya yang lebih dari 200 ribu hektare ini bisa jadi merupakan yang terbesar persebarannya di Asia Tenggara dibanding peninggalan di Laos yang terkenal itu.
Untuk target menjadi warisan dunia, BPCB, kata Zakaria, pada 2018 berencana melakukan deliniasi (mencari batas-batas persebaran situs) yang diperkirakan tersebar antara Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Barat serta melakukan zonasi inti, penyangga, pengembangan, dan zonasi penunjang.
Namun demikian, suatu warisan yang diusulkan memang harus melewati tahap yang tidak mudah, seperti harus menjadi warisan nasional lebih dulu yang benar-benar bernilai tinggi dan berpotensi mendapat pengakuan dunia.
Setelah seleksi di tingkat nasional, baru warisan nasional tersebut bisa diusulkan menjadi warisan dunia, yang kemudian diajukan ke dalam Daftar Sementara (Tentative List) ke Sekretariat World Heritage.
Lembaga tersebut kemudian akan melakukan kajian terhadap naskah serta peninjauan ke lokasi dan hasilnya akan dibahas bersama sesuai kriteria dalam Sidang Komisi Warisan UNESCO.
Saat ini secara nasional, ada belasan calon warisan dunia lainnya yang juga sudah mendaftar, seperti pemukiman tradisional Tana Toraja, situs percandian Muara Takus, kompleks candi Muarajambi, situs Trowulan ibu kota Kerajaan Majapahit, situs goa prasejarah di Maros-Pangkep, hingga Kota Tua Jakarta.
Karena itu berbagai pihak terkait, termasuk pemda dan masyarakat setempat seharusnya juga mendukung persiapan ini, selain karena sejarah kebudayaan situs megalitik ini sangat penting untuk terus digali dan diungkap, juga akan membantu masyarakat Nusantara mengenal jati dirinya.
Sedangkan dari aspek praktis, cagar budaya ini akan sangat bermanfaat sebagai aset daerah dan jika dikembangkan bisa bermanfaat untuk kepentingan ekonomi masyarakat setempat menjadi lokasi wisata nasional. (Ben/An)
Dewanti Lestari
Tags
Wisata