Kehadiran Presiden Joko Widodo di tengah-tengah keluarga korban bencana letusan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, bukan saja penting bagi kelangsungan hidup para pengungsi, yang sebagian telah direlokasi, tapi juga bagi perintisan tradisi laku politik yang menempatkan rakyat lapisan bawah sebagai prioritas pengabdian.
Dengan banyak memikirkan, memberikan prioritas kebijakan yang meringankan beban derita rakyat, terutama yang sedang menderita, seorang Presiden telah memaknai populisme secara bermakna, secara konkret.
Selama ini konsep populisme lebih dipahami sebagai strategi politik dari mereka yang bertungkus-lumus dalam kekuasaan dengan lebih banyak mengobral janji manis yang tak selalu ditepati ketika kuasa itu sudah dalam genggaman tangan.
Rakyat menengah ke bawah, yang umumnya merupakan pemilik suara terbanyak dalam pemilu di mana pun, perlu dirayu, diberi iming-iming agar memberikan suara mereka kepada politisi yang menjanjikan kemudahan dan kemanfaatan bagi mereka.
Ketika sebuah bangsa sedang dilanda problem besar pengangguran yang diakibatkan oleh banyaknya pekerja migran yang menyerobot lapangan kerja warga pribumi, politisi yang sedang berkampanye dalam pemilu dapat mengobral kebijakan populis.
Kebijakan itu bisa berupa penghentian penerimaan pekerja migran dan lapangan kerja akan dibuka hanya untuk warga pribumi atau warga lokal yang sedang menganggur.
Hampir semua capres menerapkan strategi meraih kekuasaan dengan menjual janji-janji populis. Semua itu lumrah. Yang menjadi poin penting adalah: sejauhmana janji-janji populis itu dikonkretkan setelah kekuasaan tergapai? Di sisa masa jabatannya yang dua tahun ini tampaknya Jokowi perlu lebih banyak menggunakan waktunya untuk bersentuhan dengan publik kalangan bawah, yang menjadi basis utamanya dalam kemenangannya berkompetisi memimpin negeri ini.
Problem yang dihadapi setiap pemimpin bangsa selalu tak pernah ringan. Dalam kasus pengungsi korban letusan Gunung Sinabung, misalnya, Jokowi harus memastikan bahwa ribuan keluarga perlu direlokasi, disediakan lahan tempat tinggal dan lahan bertani. Ketika pilihannya adalah harus mengorbankan lahan konservasi, yang tentu saja sangat vital bagi kesintasan lingkungan, Jokowi dengan tegas mengatakan bahwa pengungsi harus diutamakan.
Menyaksikan penderitaan warga yang sedang menderita adalah modal psikis yang sangat penting bagi seorang pemimpin terutama presiden. Semakin banyak Jokowi berinteraksi dengan rakyatnya yang sedang dilanda penderitaan karena menjadi korban bencana alam, semakin menguatlah komitmennya bekerja untuk rakyat.
Modal psikis itu juga dapat digunakan untuk memperteguh pendirian bahwa tindakan tegas dan keras terhadap siapa pun yang melakukan usaha memperkaya diri dengan melanggar hukum adalah mutlak tak bisa ditawar lagi alias harga mati.
Ketika seorang pemimpin berinteraksi dengan para pengungsi yang umumnya hidup dalam kondisi kekurangan dan tak wajar sebagaimana warga bisa yang hidup terteram dalam keluarga yang jauh dari bencana, hati nuraninya akan terketuk untuk menggulirkan kebijakan yang meringankan beban pengungsi.
Bisa dipahami jika Jokowi meminta pejabat di bawahnya untuk memastikan bahwa sampai akhir 2018, ribuan pengungsi korban letusan Gunung Sinabung harus sudah direlokasi, diberi tempat tinggal tetap dan lahan untuk bekerja.
Sangat bermakna Bagi lawan politiknya yang akan bersaing dengan Jokowi pada Pemilu Presiden 2019, pernyataan Jokowi itu bisa ditafsirkan serbagai salah satu kiat berkampanye menjelang pilpres. Namun, bagi pengungsi, yang tak mustahil bahwa sebagian di antara mereka bukan simpatisan atau bukan pemilih Jokowi pada Pilpres 2014, pernyataan Jokowi tentang relokasi harus tuntas sebelum 2019 sangatlah bermakna.
Masalah pengungsi Gunung Sinabung belum tuntas, kini disusul masalah pengungsi warga yang tinggal di lereng-lereng Gunung Agung di Bali, yang diprediksi akan memuntahkan lahar sewaktu-waktu. Kehadiran Jokowi di tengah-tengah pengungsi di Bali itu pun sangat diharapkan dan penting untuk mengejahwantahan populisme yang pernah digaungkan di masa kampanye.
Makna kehadiran Jokowi di lingkungan masyarakat yang sedang menderita sangat urgen karena hal itu dapat meningkatkan perhatian dan penanganan terhadap para pengungsi yang membutuhkan banyak bantuan dan pertolongan.
Ketegasan Jokowi terhadap pejabat yang nekat "bermain api" dengan memanipulasi dana bantuan bagi rakyat yang sedang mengalami kesulitan seperti terdampak bencana alam akan dirasakan oleh oknum bersangkutan dengan kehadiran sang Presiden di tengah-tengah warga yang mengungsi.
Semakin banyak persentuhan sosial Jokowi dengan rakyat bawah, yang menjadi mayoritas pemilik suara dalam pemilu, semakin ringan Jokowi menghadapi pesaingnya dalam Pilpres 2019.
Akibat dari semua itu justru menguntungan bukan saja buat Jokowi tapi juga rakyat. Artinya, Jokowi tak membutuhkan sokongan dana kampanye berlebihan untuk menumbangkan pesaingnya. Dengan demikian, Jokowi tak terlalu bergantung pada penyandang dana kampanye dalam berlaga sebagai petahana.
Memberikan perhatian utama kepada para warga yang sedang mengalami penderitaan dan meringankan beban mereka adalah bentuk konkret populisme yang bermakna, yang imbasnya juga memberikan poin plus bagi Jokowi dalam berbakti di periode kedua.
Dalam konteks inilah, kebijakan agraria Jokowi untuk membagikan jutaan lembar sertifikat tanah ke masyarakat yang berhak juga bisa dibaca sebagai populisme yang diwujudkan dalam aksi konkret yang bermakna.
Birokrasi yang bertanggung jawab melaksanakan apa yang menjadi kebijakan Jokowi agaknya tinggal bekerja tanpa berpikir atau pilih kasih lagi sebagaimana yang dicirikan oleh birokrasi modern weberian.
Semakin banyak rakyat, yang bukan kroni Jokowi, merasakan manfaat kepemimpinan Jokowi, semakin kuat juga Jokowi meletakkan landasan bagi kiat berpolitik yang populis konkret bermakna.
Dengan banyak memikirkan, memberikan prioritas kebijakan yang meringankan beban derita rakyat, terutama yang sedang menderita, seorang Presiden telah memaknai populisme secara bermakna, secara konkret.
Selama ini konsep populisme lebih dipahami sebagai strategi politik dari mereka yang bertungkus-lumus dalam kekuasaan dengan lebih banyak mengobral janji manis yang tak selalu ditepati ketika kuasa itu sudah dalam genggaman tangan.
Rakyat menengah ke bawah, yang umumnya merupakan pemilik suara terbanyak dalam pemilu di mana pun, perlu dirayu, diberi iming-iming agar memberikan suara mereka kepada politisi yang menjanjikan kemudahan dan kemanfaatan bagi mereka.
Ketika sebuah bangsa sedang dilanda problem besar pengangguran yang diakibatkan oleh banyaknya pekerja migran yang menyerobot lapangan kerja warga pribumi, politisi yang sedang berkampanye dalam pemilu dapat mengobral kebijakan populis.
Kebijakan itu bisa berupa penghentian penerimaan pekerja migran dan lapangan kerja akan dibuka hanya untuk warga pribumi atau warga lokal yang sedang menganggur.
Hampir semua capres menerapkan strategi meraih kekuasaan dengan menjual janji-janji populis. Semua itu lumrah. Yang menjadi poin penting adalah: sejauhmana janji-janji populis itu dikonkretkan setelah kekuasaan tergapai? Di sisa masa jabatannya yang dua tahun ini tampaknya Jokowi perlu lebih banyak menggunakan waktunya untuk bersentuhan dengan publik kalangan bawah, yang menjadi basis utamanya dalam kemenangannya berkompetisi memimpin negeri ini.
Problem yang dihadapi setiap pemimpin bangsa selalu tak pernah ringan. Dalam kasus pengungsi korban letusan Gunung Sinabung, misalnya, Jokowi harus memastikan bahwa ribuan keluarga perlu direlokasi, disediakan lahan tempat tinggal dan lahan bertani. Ketika pilihannya adalah harus mengorbankan lahan konservasi, yang tentu saja sangat vital bagi kesintasan lingkungan, Jokowi dengan tegas mengatakan bahwa pengungsi harus diutamakan.
Menyaksikan penderitaan warga yang sedang menderita adalah modal psikis yang sangat penting bagi seorang pemimpin terutama presiden. Semakin banyak Jokowi berinteraksi dengan rakyatnya yang sedang dilanda penderitaan karena menjadi korban bencana alam, semakin menguatlah komitmennya bekerja untuk rakyat.
Modal psikis itu juga dapat digunakan untuk memperteguh pendirian bahwa tindakan tegas dan keras terhadap siapa pun yang melakukan usaha memperkaya diri dengan melanggar hukum adalah mutlak tak bisa ditawar lagi alias harga mati.
Ketika seorang pemimpin berinteraksi dengan para pengungsi yang umumnya hidup dalam kondisi kekurangan dan tak wajar sebagaimana warga bisa yang hidup terteram dalam keluarga yang jauh dari bencana, hati nuraninya akan terketuk untuk menggulirkan kebijakan yang meringankan beban pengungsi.
Bisa dipahami jika Jokowi meminta pejabat di bawahnya untuk memastikan bahwa sampai akhir 2018, ribuan pengungsi korban letusan Gunung Sinabung harus sudah direlokasi, diberi tempat tinggal tetap dan lahan untuk bekerja.
Sangat bermakna Bagi lawan politiknya yang akan bersaing dengan Jokowi pada Pemilu Presiden 2019, pernyataan Jokowi itu bisa ditafsirkan serbagai salah satu kiat berkampanye menjelang pilpres. Namun, bagi pengungsi, yang tak mustahil bahwa sebagian di antara mereka bukan simpatisan atau bukan pemilih Jokowi pada Pilpres 2014, pernyataan Jokowi tentang relokasi harus tuntas sebelum 2019 sangatlah bermakna.
Masalah pengungsi Gunung Sinabung belum tuntas, kini disusul masalah pengungsi warga yang tinggal di lereng-lereng Gunung Agung di Bali, yang diprediksi akan memuntahkan lahar sewaktu-waktu. Kehadiran Jokowi di tengah-tengah pengungsi di Bali itu pun sangat diharapkan dan penting untuk mengejahwantahan populisme yang pernah digaungkan di masa kampanye.
Makna kehadiran Jokowi di lingkungan masyarakat yang sedang menderita sangat urgen karena hal itu dapat meningkatkan perhatian dan penanganan terhadap para pengungsi yang membutuhkan banyak bantuan dan pertolongan.
Ketegasan Jokowi terhadap pejabat yang nekat "bermain api" dengan memanipulasi dana bantuan bagi rakyat yang sedang mengalami kesulitan seperti terdampak bencana alam akan dirasakan oleh oknum bersangkutan dengan kehadiran sang Presiden di tengah-tengah warga yang mengungsi.
Semakin banyak persentuhan sosial Jokowi dengan rakyat bawah, yang menjadi mayoritas pemilik suara dalam pemilu, semakin ringan Jokowi menghadapi pesaingnya dalam Pilpres 2019.
Akibat dari semua itu justru menguntungan bukan saja buat Jokowi tapi juga rakyat. Artinya, Jokowi tak membutuhkan sokongan dana kampanye berlebihan untuk menumbangkan pesaingnya. Dengan demikian, Jokowi tak terlalu bergantung pada penyandang dana kampanye dalam berlaga sebagai petahana.
Memberikan perhatian utama kepada para warga yang sedang mengalami penderitaan dan meringankan beban mereka adalah bentuk konkret populisme yang bermakna, yang imbasnya juga memberikan poin plus bagi Jokowi dalam berbakti di periode kedua.
Dalam konteks inilah, kebijakan agraria Jokowi untuk membagikan jutaan lembar sertifikat tanah ke masyarakat yang berhak juga bisa dibaca sebagai populisme yang diwujudkan dalam aksi konkret yang bermakna.
Birokrasi yang bertanggung jawab melaksanakan apa yang menjadi kebijakan Jokowi agaknya tinggal bekerja tanpa berpikir atau pilih kasih lagi sebagaimana yang dicirikan oleh birokrasi modern weberian.
Semakin banyak rakyat, yang bukan kroni Jokowi, merasakan manfaat kepemimpinan Jokowi, semakin kuat juga Jokowi meletakkan landasan bagi kiat berpolitik yang populis konkret bermakna.
M Sunyoto
Rayuan Ibu di Siosar Ajak Pak Jokowi Kerumahnya Saat Sedang Jalan Meninjau Kawasan Hunian Relokasi pic.twitter.com/1wBvg4hY33— Murtadha (@MurtadhaOne) October 15, 2017
Tags
Aktual