Jakarta, 30/9 (Benhil) - Peristiwa Gerakan 30 September atau dikenal sebagai G30S merupakan fakta sejarah Indonesia, dan tiap tahun selalu "diperingati" dengan muncul berbagai isu yang mengulang, mulai dari siapa dalang utama peristiwa itu hingga kekhawatiran bangkitnya Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tahun ini tampaknya "peringatan" G30S lebih menarik perhatian masyarakat setelah Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo memerintahkan seluruh anggota TNI dan keluarga menonton film G30S/PKI karya Arifin C Noer yang dibuat tahun 1984.
Film tersebut sebenarnya berhenti tayang secara nasional pada Oktober 1998 karena dianggap sebagai bentuk propaganda rezim Soeharto dan menampilkan adegan kekerasan yang tidak layak ditonton anak-anak.
Namun tahun ini, film yang ceritanya hanya bersumber dari buku berjudul "Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI" karya sejarawan militer Nugroho Notosusanto, ramai-ramai ditonton masyarakat luas.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon ini berpendapat isu komunisme bukan disengajakan muncul menjelang akhir September dan awal Oktober, namun selalu muncul karena ada pihak yang berupaya mengganti narasi sejarah soal tragedi berdarah 30 September 1965.
Dia menjelaskan ada yang ingin mengganti sejarah bahwa seolah-olah PKI itu korban, padahal itu tidak bisa dilepaskan konteks kejadian-kejadian sebelumnya, bahkan dari peristiwa pemberontakan PKI di Madium tahun 1948.
Menurut Fadli hal itu menjadi masalah di Indonesia karena sudah lebih dari 50 tahun dan ada yang berusaha menghapus jejak sejarah serta berusaha mengatakan PKI tidak kudeta.
Wakil Ketua DPR itu menilai ada pihak-pihak yang terkait dengan peristiwa 1965 atau simpatisan PKI tidak mau berdamai dengan sejarah dan berusaha untuk membuat satu sejarah baru dengan mendeklarasikan dirinya sebagai korban dan Soeharto sebagai pelaku kudeta.
Menurut dia, Soeharto tidak melakukan kudeta, namun memang tampil di dalam satu waktu yang tepat, di tengah situasi yang tepat.
Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini mengapresiasi dan mendukung peningkatan kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya laten komunisme dan kemungkinan bangkitnya PKI, yang ditunjukkan dengan animo masyarakat untuk memutar kembali atau menonton bareng/nobar film G30S/PKI di berbagai daerah.
Menurut Jazuli nobar film tersebut merupakan sarana efektif untuk mengingatkan masyarakat, terutama generasi muda, tentang pentingnya menjaga ideologi negara dan ikatan kebangsaan dari bahaya komunisme dan anasir-anasirnya.
Dia mengatakan tujuan utamanya adalah untuk membangun dan mengokohkan rasa nasionalisme, terutama untuk generasi muda, menanamkan kepada mereka beratnya perjuangan mempertahankan republik hingga nyawa taruhannya.
Jazuli mengharapkan dengan nobar film yang menceritakan episode kelam kekejaman PKI, yang membunuh para jenderal, umara, dan ulama di masa lalu, ini semangat dan patriotisme generasi bangsa semakin kuat untuk menjaga ideologi bangsa dan negara dari ancaman anasir-anasir jahat, seperti yang pernah dilakukan oleh PKI di masa lalu.
Film Pembanding Lainnya Film mengenai sejarah peristiwa tahun 1965 bukan hanya film G30S/PKI karya Arifin C Noer yang mengambil perspektif pelaku dan sangat kental nuansa politis kepentingan Orde Baru untuk meyakinkan masyarakat bahwa pelaku G30S adalah PKI.
Politisi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari menilai film G30S/PKI merupakan propaganda Orde Baru (ORBA) sehingga dirinya mengkritik keras langkah Panglima TNI, mengapa hanya film tersebut yang diperbolehkan diputar.
Padahal, menurut dia, ada beberapa film bisa menjadi perbandingan seperti Jagal dan Senyap yang merupakan karya Joshua Oppenheimer, yang menawarkan sudut pandang berbeda.
Film Senyap atau The Look of Silence mengambil sudut pandang keluarga korban sebagai jalan utama ceritanya. Meletusnya peristiwa 30 Septermber 1965 berdampak pada pembunuhan jutaan simpatisan PKI dari 1965-1966, tidak terkecuali di daerah Sumatera Utara tempat Ramli, yang merupakan simpatisan PKI, dan keluarganya tinggal.
Kematian Ramli dinilai sebagai hal yang terbuka karena banyak saksi yang melihat saat akhir hidupnya dan para pembunuh meninggalkan jasadnya di kebun sawit kurang lebih tiga kilometer dari kediaman orang tuanya.
Sang sutradara ingin menarik kembali memori penonton dan para keluarga korban dengan menghadirkan sebuah rekaman video percakapan dan pengakuan para algojo yang membunuh Ramli serta para simpatisan PKI saat itu. Beberapa adegan para algojo itu mengeksekusi korban diperlihatkan kepada Adi (adik Ramli), yang menjadi pemain utama dalam film yang berdurasi 98 menit tersebut.
Berbeda dengan film karya Joshua sebelumnya yaitu Jagal atau The Act of Killing, film Senyap menghadirkan suasana yang hangat dalam keluarga Adi berbincang mengenai masa lalu yaitu peristiwa terbunuhnya Ramli.
Sementara itu di film Jagal, Joshua bertutur dengan menggunakan teknik yang merekonstruksi dengan canggih para subjek dokumenternya yaitu para algojo, bagaimana pembunuh simpatisan PKI beraksi misalnya diperagakan oleh salah satu tokoh Pemuda Pancasila, Anwar Congo.
Namun ada persamaan di antara kedua film tersebut, yaitu menunjukkan kekejaman rakyat dalam membantai orang yang masih dituduh dan simpatisan PKI tanpa ada proses pengadilan hukum yang sah.
Eva Kusuma mengatakan semua pihak harus secara sungguh-sungguh dalam mencerdaskan masyarakat, khususnya mengenai sejarah bangsa Indonesia, sehingga nalar menjadi panjang dan analisa data berjalan baik.
Menurut dia institusi TNI harus progresif menatap ke depan karena tantangan keamanan bukan dari PKI yang tinggal wacana, namun ekstrimisme agama yang sudah meledakkan banyak bom, namun tidak dianggap sebagai ancaman bangsa Indonesia.
Karena itu jangan sampai pemutaran kembali film G30S/PKI hanya menjadikan reproduksi ketidaksadaran atas sejarah bangsa Indonesia yang sebenarnya.
Untuk memahami sejarah, tidak bisa menggunakan "kaca mata kuda" dengan hanya melihat dari satu perspektif namun sudut pandang lain perlu dihadirkan sehingga tidak terjadi monolog pemahaman sejarah.
Politik Aliran Kekinian Kekhawatiran muncul kembali PKI sebagai partai politik dengan paham komunisnya, ditunjukkan dengan maraknya sikap mendukung pemutaran film G30S yang disebut akan mengingatkan sejarah kelam bangsa Indonesia di tahun 1965. Selain itu, aksi penolakan adanya diskusi mengenai korban peristiwa 1965 pun semakin marak karena dinilai disusupi kepentingan bangkitnya komunisme gaya baru.
Lalu seberapa kuat komunisme sebagai ideologi dan politik aliran muncul kembali dan mempengaruhi masyarakat Indonesia saat ini? Herbert Feith dan Lance Castles mengklasifikasikan aliran pemikiran politik Indonesia dalam rentang waktu 1945-1965 ke dalam lima aliran, yaitu Nasionalisme Radikal, Tradisionalisme Jawa, Islam, Sosialisme Demokratis dan Komunisme, yang menjadi warna dalam perpolitikan Indonesia saat itu.
Aliran komunisme muncul dalam Partai Komunis Indonesia, sosialisme demokratis dalam Partai Sosialis Indonesia (PSI) meskipun Feith menyebut bahwa aliran tersebut mempengaruhi pemikiran Partai Masyumi dan Partai Nasionalis Indonesi (PNI). Lalu aliran Islam yang dibagi dua mencakup kelompok reformis yang diwakili Partai Masyumi dan tradisionalis yaitu Nahdlatul Ulama.
Sementara itu, aliran nasionalisme radikal yang berpusat pada PNI, meskipun pada awalnya aliran ini merupakan respons terhadap kolonialisme yang kemudian mencakupi kepada semua aliran yang ada. Terakhir tradisionalisme jawa, hanya Partai Indonesia Raya yang paling dekat mencerminkan aliran tersebut, namun aliran itu tidak muncul sebagai kekuatan politik formal secara konkret dalam perpolitikan Indonesia saat itu.
Dalam perkembangannya, Komunisme dan PKI sudah tidak mendapat ruang lagi dalam perpolitikan Indonesia saat ini disebabkan berbagai aturan konstitusional yang melarang keberadaan ideologi dan PKI di Indonesia.
Misalnya saja peristiwa 1965 yang mencoreng nama PKI dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI, dan pelarangan partai tersebut beserta ideologi komunisme/marxisme-leninisme.
Seperti halnya komunisme, nasionalisme radikal telah kehilangan eksistensinya, namun pemikiran mengenai anti-imperialisme masih tetap ada di kalangan masyarakat.
Karena itu komunisme sebagai ideologi maupun aliran politik tidak laku "dijual" kepada masyarakat Indonesia saat ini karena secara hukum dilarang untuk berkembang.
Terlebih saat ini dari 10 partai nasional di DPR RI, dapat dipetakan hanya dua asas yang digunakan, yaitu Islam dan pancasila (nasionalis), keberadaan politik aliran cenderung hanya untuk mewakili pluralitas masyarakat, artinya sebagai pemenuhan kepentingan publik tanpa adanya proses ideologisasi yang kuat di internal.
Dan secara sosiologis-politik, masyarakat Indonesia saat ini tidak menjadikan politik aliran sebagai pertimbangan utama dalam memilih di Pemilu Legislatif karena ada kecenderungan mereka memilih figur, bukan parpol yang mengusungnya. (Ben/An)
Tahun ini tampaknya "peringatan" G30S lebih menarik perhatian masyarakat setelah Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo memerintahkan seluruh anggota TNI dan keluarga menonton film G30S/PKI karya Arifin C Noer yang dibuat tahun 1984.
Film tersebut sebenarnya berhenti tayang secara nasional pada Oktober 1998 karena dianggap sebagai bentuk propaganda rezim Soeharto dan menampilkan adegan kekerasan yang tidak layak ditonton anak-anak.
Namun tahun ini, film yang ceritanya hanya bersumber dari buku berjudul "Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI" karya sejarawan militer Nugroho Notosusanto, ramai-ramai ditonton masyarakat luas.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon ini berpendapat isu komunisme bukan disengajakan muncul menjelang akhir September dan awal Oktober, namun selalu muncul karena ada pihak yang berupaya mengganti narasi sejarah soal tragedi berdarah 30 September 1965.
Dia menjelaskan ada yang ingin mengganti sejarah bahwa seolah-olah PKI itu korban, padahal itu tidak bisa dilepaskan konteks kejadian-kejadian sebelumnya, bahkan dari peristiwa pemberontakan PKI di Madium tahun 1948.
Menurut Fadli hal itu menjadi masalah di Indonesia karena sudah lebih dari 50 tahun dan ada yang berusaha menghapus jejak sejarah serta berusaha mengatakan PKI tidak kudeta.
Wakil Ketua DPR itu menilai ada pihak-pihak yang terkait dengan peristiwa 1965 atau simpatisan PKI tidak mau berdamai dengan sejarah dan berusaha untuk membuat satu sejarah baru dengan mendeklarasikan dirinya sebagai korban dan Soeharto sebagai pelaku kudeta.
Menurut dia, Soeharto tidak melakukan kudeta, namun memang tampil di dalam satu waktu yang tepat, di tengah situasi yang tepat.
Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini mengapresiasi dan mendukung peningkatan kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya laten komunisme dan kemungkinan bangkitnya PKI, yang ditunjukkan dengan animo masyarakat untuk memutar kembali atau menonton bareng/nobar film G30S/PKI di berbagai daerah.
Menurut Jazuli nobar film tersebut merupakan sarana efektif untuk mengingatkan masyarakat, terutama generasi muda, tentang pentingnya menjaga ideologi negara dan ikatan kebangsaan dari bahaya komunisme dan anasir-anasirnya.
Dia mengatakan tujuan utamanya adalah untuk membangun dan mengokohkan rasa nasionalisme, terutama untuk generasi muda, menanamkan kepada mereka beratnya perjuangan mempertahankan republik hingga nyawa taruhannya.
Jazuli mengharapkan dengan nobar film yang menceritakan episode kelam kekejaman PKI, yang membunuh para jenderal, umara, dan ulama di masa lalu, ini semangat dan patriotisme generasi bangsa semakin kuat untuk menjaga ideologi bangsa dan negara dari ancaman anasir-anasir jahat, seperti yang pernah dilakukan oleh PKI di masa lalu.
Film Pembanding Lainnya Film mengenai sejarah peristiwa tahun 1965 bukan hanya film G30S/PKI karya Arifin C Noer yang mengambil perspektif pelaku dan sangat kental nuansa politis kepentingan Orde Baru untuk meyakinkan masyarakat bahwa pelaku G30S adalah PKI.
Politisi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari menilai film G30S/PKI merupakan propaganda Orde Baru (ORBA) sehingga dirinya mengkritik keras langkah Panglima TNI, mengapa hanya film tersebut yang diperbolehkan diputar.
Padahal, menurut dia, ada beberapa film bisa menjadi perbandingan seperti Jagal dan Senyap yang merupakan karya Joshua Oppenheimer, yang menawarkan sudut pandang berbeda.
Film Senyap atau The Look of Silence mengambil sudut pandang keluarga korban sebagai jalan utama ceritanya. Meletusnya peristiwa 30 Septermber 1965 berdampak pada pembunuhan jutaan simpatisan PKI dari 1965-1966, tidak terkecuali di daerah Sumatera Utara tempat Ramli, yang merupakan simpatisan PKI, dan keluarganya tinggal.
Kematian Ramli dinilai sebagai hal yang terbuka karena banyak saksi yang melihat saat akhir hidupnya dan para pembunuh meninggalkan jasadnya di kebun sawit kurang lebih tiga kilometer dari kediaman orang tuanya.
Sang sutradara ingin menarik kembali memori penonton dan para keluarga korban dengan menghadirkan sebuah rekaman video percakapan dan pengakuan para algojo yang membunuh Ramli serta para simpatisan PKI saat itu. Beberapa adegan para algojo itu mengeksekusi korban diperlihatkan kepada Adi (adik Ramli), yang menjadi pemain utama dalam film yang berdurasi 98 menit tersebut.
Berbeda dengan film karya Joshua sebelumnya yaitu Jagal atau The Act of Killing, film Senyap menghadirkan suasana yang hangat dalam keluarga Adi berbincang mengenai masa lalu yaitu peristiwa terbunuhnya Ramli.
Sementara itu di film Jagal, Joshua bertutur dengan menggunakan teknik yang merekonstruksi dengan canggih para subjek dokumenternya yaitu para algojo, bagaimana pembunuh simpatisan PKI beraksi misalnya diperagakan oleh salah satu tokoh Pemuda Pancasila, Anwar Congo.
Namun ada persamaan di antara kedua film tersebut, yaitu menunjukkan kekejaman rakyat dalam membantai orang yang masih dituduh dan simpatisan PKI tanpa ada proses pengadilan hukum yang sah.
Eva Kusuma mengatakan semua pihak harus secara sungguh-sungguh dalam mencerdaskan masyarakat, khususnya mengenai sejarah bangsa Indonesia, sehingga nalar menjadi panjang dan analisa data berjalan baik.
Menurut dia institusi TNI harus progresif menatap ke depan karena tantangan keamanan bukan dari PKI yang tinggal wacana, namun ekstrimisme agama yang sudah meledakkan banyak bom, namun tidak dianggap sebagai ancaman bangsa Indonesia.
Karena itu jangan sampai pemutaran kembali film G30S/PKI hanya menjadikan reproduksi ketidaksadaran atas sejarah bangsa Indonesia yang sebenarnya.
Untuk memahami sejarah, tidak bisa menggunakan "kaca mata kuda" dengan hanya melihat dari satu perspektif namun sudut pandang lain perlu dihadirkan sehingga tidak terjadi monolog pemahaman sejarah.
Politik Aliran Kekinian Kekhawatiran muncul kembali PKI sebagai partai politik dengan paham komunisnya, ditunjukkan dengan maraknya sikap mendukung pemutaran film G30S yang disebut akan mengingatkan sejarah kelam bangsa Indonesia di tahun 1965. Selain itu, aksi penolakan adanya diskusi mengenai korban peristiwa 1965 pun semakin marak karena dinilai disusupi kepentingan bangkitnya komunisme gaya baru.
Lalu seberapa kuat komunisme sebagai ideologi dan politik aliran muncul kembali dan mempengaruhi masyarakat Indonesia saat ini? Herbert Feith dan Lance Castles mengklasifikasikan aliran pemikiran politik Indonesia dalam rentang waktu 1945-1965 ke dalam lima aliran, yaitu Nasionalisme Radikal, Tradisionalisme Jawa, Islam, Sosialisme Demokratis dan Komunisme, yang menjadi warna dalam perpolitikan Indonesia saat itu.
Aliran komunisme muncul dalam Partai Komunis Indonesia, sosialisme demokratis dalam Partai Sosialis Indonesia (PSI) meskipun Feith menyebut bahwa aliran tersebut mempengaruhi pemikiran Partai Masyumi dan Partai Nasionalis Indonesi (PNI). Lalu aliran Islam yang dibagi dua mencakup kelompok reformis yang diwakili Partai Masyumi dan tradisionalis yaitu Nahdlatul Ulama.
Sementara itu, aliran nasionalisme radikal yang berpusat pada PNI, meskipun pada awalnya aliran ini merupakan respons terhadap kolonialisme yang kemudian mencakupi kepada semua aliran yang ada. Terakhir tradisionalisme jawa, hanya Partai Indonesia Raya yang paling dekat mencerminkan aliran tersebut, namun aliran itu tidak muncul sebagai kekuatan politik formal secara konkret dalam perpolitikan Indonesia saat itu.
Dalam perkembangannya, Komunisme dan PKI sudah tidak mendapat ruang lagi dalam perpolitikan Indonesia saat ini disebabkan berbagai aturan konstitusional yang melarang keberadaan ideologi dan PKI di Indonesia.
Misalnya saja peristiwa 1965 yang mencoreng nama PKI dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI, dan pelarangan partai tersebut beserta ideologi komunisme/marxisme-leninisme.
Seperti halnya komunisme, nasionalisme radikal telah kehilangan eksistensinya, namun pemikiran mengenai anti-imperialisme masih tetap ada di kalangan masyarakat.
Karena itu komunisme sebagai ideologi maupun aliran politik tidak laku "dijual" kepada masyarakat Indonesia saat ini karena secara hukum dilarang untuk berkembang.
Terlebih saat ini dari 10 partai nasional di DPR RI, dapat dipetakan hanya dua asas yang digunakan, yaitu Islam dan pancasila (nasionalis), keberadaan politik aliran cenderung hanya untuk mewakili pluralitas masyarakat, artinya sebagai pemenuhan kepentingan publik tanpa adanya proses ideologisasi yang kuat di internal.
Dan secara sosiologis-politik, masyarakat Indonesia saat ini tidak menjadikan politik aliran sebagai pertimbangan utama dalam memilih di Pemilu Legislatif karena ada kecenderungan mereka memilih figur, bukan parpol yang mengusungnya. (Ben/An)
Tags
Sosial Politik