Semerbak wangi bunga dan dupa di tengah dentingan suara genta menyebar di kawasan Pura Besakih di lereng Gunung Agung Bali, mewarnai suasana persembahyangan sejumlah umat Hindu bertepatan dengan Purnama Kapat.
Purnama Kapat atau purnama keempat adalah penghitungan waktu berdasarkan kalender Bali, yang tahun ini jatuh pada Kamis (5/10).
Puja-pujian sang pendeta maupun jero mangku yang memimpin kegiatan ritual itu diiringi alunan instrumen musik tradisional Bali (gamelan) serta tembang-tembang kekidung dan warga sari yang berlangsung secara khidmat. Ritual tersebut kali ini dilaksanakan sangat sederhana.
Jumlah mereka yang terlibat ritual itu, termasuk melakukan persiapan "Mepepada" ritual penyucian bintang kurban yang dilaksanakan Rabu (4/10), sangat terbatas, yakni petugas adat dan pemangku lokal di Desa Pekraman Besakih.
Hal itu karena terkait dengan status Awas terhadap aktivitas vulkanik Gunung Agung (3.143 meter dari permukaan air laut).
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sejak Jumat (22/9) meningkatkan status Gunung Agung dari Siaga (Level III) menjadi Awas (Level IV). Status Awas tersebut hingga saat ini telah memasuki hari ke-13.
Wilayah steril yang semula radius enam kilometer dari puncak gunung itu diperluas menjadi sembilan kilometer, serta ditambah perluasan wilayah sektoral yang semula 7,5 kilometer menjadi 12 kilometer ke arah utara, timur laut, tenggara, dan selatan-barat daya.
Dengan demikian, kawasan suci Pura Besakih masuk dalam radius wilayah berbahaya yang harus dikosongkan. Namun, para pemangku selama ini secara bergantian dengan didampingi petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tetap melaksanakan persembahyangan di tempat suci terbesar di Pulau Dewata itu.
Persiapan piodalan yang digelar setahun sekali (420 hari sekali) hanya melibatkan prajuru dan mengurus desa adat setempat, sedangkan ritual penyucian bintang kurban atau "Mepepada" untuk kelengkapan ritual dilakukan sangat sederhana, tanpa mengurangi makna yang terkandung di dalamnya.
Ritual "Mepepada" yang dilaksanakan Rabu (4/10) sekaligus ritual khusus "Nedunang" atau menurunkan "Ida Bhatara", yakni manifestasi Tuhan Hyang Maha Esa sebagai Para Dewata pelindung umat.
Rangkaian ritual tersebut, menurut seorang pemangku (pemimpin ritual) Pura Penataran Agung Besakih, I Gusti Mangku Jana, dilaksanakan setiap tahun sekaligus merupakan bagian dari ritual "Loka Phala", yakni untuk menstabilkan alam semesta, baik secara mikro (manusia) dan makro (dunia).
Pura Besakih yang terdiri atas 16 kompleks pura yang merupakan satu kesatuan tak terpisahkan itu menyimpan ketenangan dan kedamaian. Konon, fondasinya dibangun Rsi Markandeya dari India pada zaman pemerintahan Raja Sri Udayana Warmadewa (1007 Masehi).
Seluruh umat Hindu di Pulau Dewata agar berdoa dan bersembahyang pada hari Purnama Kapat yang jatuh pada Kamis (5/10). Persembahyangan dapat dilakukan di pura desa adat atau tempat suci di masing-masing rumah tangga.
"Mari bersama-sama berdoa agar jagad (bumi) Bali dan Indonesia umumnya tetap tenteram dan damai. Umat yang ingin bersembahyang tidak harus datang ke Besakih, tetapi bisa 'ngastiti' dari 'Rong Tiga' tempat suci keluarga masing-masing," tutur Mangku Jana.
Lintas Agama Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana mengatakan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) setempat telah menggagas untuk menggelar doa lintas agama pada Kamis (5/10) pukul 12.00 waktu setempat.
Umat beragama selain Hindu, dapat berdoa sesuai dengan tata cara agama masing-masing untuk memohon kedamaian alam semesta beserta seluruh isisnya.
Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali menindaklanjuti hal itu dengan mengeluarkan surat seruan tertanggal 3 Oktober 2017 yang khusus ditujukan kepada umat Hindu.
Doa lintas agama yang dilaksanakan oleh seluruh umat yang tinggal di Pulau Dewata untuk memohonkan kepada Tuhan supaya Gunung Agung di Kabupaten Karangasem tidak jadi erupsi.
Sekalipun erupsi, mereka diajak memohon lewat doa bersama untuk kedamaian semesta ini supaya dapat membawa kerahayuan dan keselamatan seluruh umat.
"Jika dilihat dari ajaran Hindu, kalau berdoa bersama-sama pada jam yang sama, hari yang sama dengan hati yang tulus untuk kerahayuan jagat, maka vibrasi itu melebihi dari berbagai doa kelompok yang dikatakan cukup hebat," ujar Sudiana yang juga guru besar Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
Doa bersama secara serentak itu bisa dilakukan di Pura Sad Kahyangan, Pura Dang Kahyangan, Pura Kahyangan Tiga, Pura Dadia, Pura Swagina, sanggah, tempat kerja. Intinya di manapun mereka berada.
Demikian pula seluruh pemangku agar berkumpul di pura masing-masing pada jam yang sama untuk berdoa. Bagi yang bekerja, bisa berdoa di tempat kerja, bagi yang sakit bisa berdoa dari tempat tidur. Oleh karena itu doa tidak akan putus.
Sementara itu Ketua FKUB Bali Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet menilai doa bersama sekaligus merupakan suatu penyatuan pikiran, perasaan, hati, dan keyakinan. Dia bersama itu mendoakan seluruh jagat raya supaya damai.
Purnama Kapat atau purnama keempat adalah penghitungan waktu berdasarkan kalender Bali, yang tahun ini jatuh pada Kamis (5/10).
Puja-pujian sang pendeta maupun jero mangku yang memimpin kegiatan ritual itu diiringi alunan instrumen musik tradisional Bali (gamelan) serta tembang-tembang kekidung dan warga sari yang berlangsung secara khidmat. Ritual tersebut kali ini dilaksanakan sangat sederhana.
Jumlah mereka yang terlibat ritual itu, termasuk melakukan persiapan "Mepepada" ritual penyucian bintang kurban yang dilaksanakan Rabu (4/10), sangat terbatas, yakni petugas adat dan pemangku lokal di Desa Pekraman Besakih.
Hal itu karena terkait dengan status Awas terhadap aktivitas vulkanik Gunung Agung (3.143 meter dari permukaan air laut).
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sejak Jumat (22/9) meningkatkan status Gunung Agung dari Siaga (Level III) menjadi Awas (Level IV). Status Awas tersebut hingga saat ini telah memasuki hari ke-13.
Wilayah steril yang semula radius enam kilometer dari puncak gunung itu diperluas menjadi sembilan kilometer, serta ditambah perluasan wilayah sektoral yang semula 7,5 kilometer menjadi 12 kilometer ke arah utara, timur laut, tenggara, dan selatan-barat daya.
Dengan demikian, kawasan suci Pura Besakih masuk dalam radius wilayah berbahaya yang harus dikosongkan. Namun, para pemangku selama ini secara bergantian dengan didampingi petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tetap melaksanakan persembahyangan di tempat suci terbesar di Pulau Dewata itu.
Persiapan piodalan yang digelar setahun sekali (420 hari sekali) hanya melibatkan prajuru dan mengurus desa adat setempat, sedangkan ritual penyucian bintang kurban atau "Mepepada" untuk kelengkapan ritual dilakukan sangat sederhana, tanpa mengurangi makna yang terkandung di dalamnya.
Ritual "Mepepada" yang dilaksanakan Rabu (4/10) sekaligus ritual khusus "Nedunang" atau menurunkan "Ida Bhatara", yakni manifestasi Tuhan Hyang Maha Esa sebagai Para Dewata pelindung umat.
Rangkaian ritual tersebut, menurut seorang pemangku (pemimpin ritual) Pura Penataran Agung Besakih, I Gusti Mangku Jana, dilaksanakan setiap tahun sekaligus merupakan bagian dari ritual "Loka Phala", yakni untuk menstabilkan alam semesta, baik secara mikro (manusia) dan makro (dunia).
Pura Besakih yang terdiri atas 16 kompleks pura yang merupakan satu kesatuan tak terpisahkan itu menyimpan ketenangan dan kedamaian. Konon, fondasinya dibangun Rsi Markandeya dari India pada zaman pemerintahan Raja Sri Udayana Warmadewa (1007 Masehi).
Seluruh umat Hindu di Pulau Dewata agar berdoa dan bersembahyang pada hari Purnama Kapat yang jatuh pada Kamis (5/10). Persembahyangan dapat dilakukan di pura desa adat atau tempat suci di masing-masing rumah tangga.
"Mari bersama-sama berdoa agar jagad (bumi) Bali dan Indonesia umumnya tetap tenteram dan damai. Umat yang ingin bersembahyang tidak harus datang ke Besakih, tetapi bisa 'ngastiti' dari 'Rong Tiga' tempat suci keluarga masing-masing," tutur Mangku Jana.
Lintas Agama Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana mengatakan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) setempat telah menggagas untuk menggelar doa lintas agama pada Kamis (5/10) pukul 12.00 waktu setempat.
Umat beragama selain Hindu, dapat berdoa sesuai dengan tata cara agama masing-masing untuk memohon kedamaian alam semesta beserta seluruh isisnya.
Majelis Utama Desa Pakraman Provinsi Bali menindaklanjuti hal itu dengan mengeluarkan surat seruan tertanggal 3 Oktober 2017 yang khusus ditujukan kepada umat Hindu.
Doa lintas agama yang dilaksanakan oleh seluruh umat yang tinggal di Pulau Dewata untuk memohonkan kepada Tuhan supaya Gunung Agung di Kabupaten Karangasem tidak jadi erupsi.
Sekalipun erupsi, mereka diajak memohon lewat doa bersama untuk kedamaian semesta ini supaya dapat membawa kerahayuan dan keselamatan seluruh umat.
"Jika dilihat dari ajaran Hindu, kalau berdoa bersama-sama pada jam yang sama, hari yang sama dengan hati yang tulus untuk kerahayuan jagat, maka vibrasi itu melebihi dari berbagai doa kelompok yang dikatakan cukup hebat," ujar Sudiana yang juga guru besar Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.
Doa bersama secara serentak itu bisa dilakukan di Pura Sad Kahyangan, Pura Dang Kahyangan, Pura Kahyangan Tiga, Pura Dadia, Pura Swagina, sanggah, tempat kerja. Intinya di manapun mereka berada.
Demikian pula seluruh pemangku agar berkumpul di pura masing-masing pada jam yang sama untuk berdoa. Bagi yang bekerja, bisa berdoa di tempat kerja, bagi yang sakit bisa berdoa dari tempat tidur. Oleh karena itu doa tidak akan putus.
Sementara itu Ketua FKUB Bali Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet menilai doa bersama sekaligus merupakan suatu penyatuan pikiran, perasaan, hati, dan keyakinan. Dia bersama itu mendoakan seluruh jagat raya supaya damai.
IMB Andi Purnomo dan I Ketut Sutika
Tags
Bali