Jakarta, 8/10 (Benhil) - Bau tidak sedap korps hakim tercium kembali. Tidak tanggung-tanggung sekelas Kepala Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara yang bernama Sudirwardono dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi pada Jumat (6/10).
Sang pengadil itu ditangkap terkait dugaan menerima suap dari anggota DPR dari Komisi XI Fraksi Partai Golkar Aditya Anugrah Moha, yang tidak lain untuk membebaskan sang ibundanya, Marlina Mona Siahaan, dari jeratan hukum.
Marlina Mona Siahaan itu mantan Bupati Bolaang Mongondow periode 2001-2006 dan 2006-2015. Pemberian suap itu untuk memengaruhi putusan di tingkat banding perkara korupsi Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintah Desa (TPAPD) Kabupaten Bolaang Mongondow pada 2010.
Di tingkat pertama pada Juli 2017, Marlina divonis lima tahun penjara dengan denda Rp200 juta dan uang pengganti Rp1,2 miliar subsider dua tahun kurungan.
Dalam operasi, tim Komisi Pemberantasan Korupsi itu berhasil mengamankan 23 ribu dolar Singapura sebagai sisa pemberian pertama pada Agustus 2017 dan 11 ribu dolar Singapura yang diamankan di mobil Aditya.
Penangkapan Sudirwardono menambah panjang deretan para sang pengadil yang ditangkap KPK, belum lagi dengan para pegawai pengadilan. Kondisi demikian menambah mirisnya potret dunia peradilan di Tanah Air.
Jual beli perkara menjadi suatu hal yang lumrah. Hingga jargon hukum itu "Tajam ke bawah tumpul ke atas", benar-benar dipertontonkan di mata rakyat Indonesia. Tumpul itu adalah salah satunya melalui praktik suap menyuap. Berbeda halnya dengan seorang maling ayam atau maling cokelat, yang tanpa tedeng aling divonis bersalah.
Kami mencatat sejumlah hakim yang tersandung kasus hukum, antara lain Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Sumatera Utara, Tripeni Irianto Putro pada Kamis, 9 Juli 2015 oleh KPK karena menerima suap dari pengacara Otto Cornelis Kaligis untuk pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara atas penyelidikan tentang terjadinya dugaan tindak pidana korupsi dana Bantuan Sosial, Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan tunggakan Dana Bagi Hasil (DBH), serta penyertaan modal pada sejumlah BUMD di Pemerintah Provinsi Sumut.
Tripeni Irianto Putro sudah divonis oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dengan dua tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider dua bulan kurungan.
Kemudian hakim pada Pengadilan Tipikor Bengkulu, Dewi Suryana, bersama panitera pengganti di Pengadilan Tipikor Bengkulu, ditangkap KPK pada 6 September 2017.
Pada 23 Mei 2016, KPK juga menangkap Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang Bengkulu sekaligus hakim tindak pidana korupsi Janner Purba dan hakim ad hoc Pengadilan Negeri Bengkulu Toton.
Hal tersebut merupakan bukti korps hakim tersebut masih belum bersih dan tetap berani melakukan aksi menerima suap.
Bahkan pengamat hukum Universitas Bung Karno, Azmi Syahputra, menyatakan Mahkamah Agung gagal besar karena tidak berhasil melakukan pembinaan hakim dan aparatur peradilan dengan baik dan benar.
"Semakin tingginya angka aparatur peradilan yang tertangkap dengan segala modus operandinya dari OTT maupun menjual praktik perdagangan kewenangan (putusan), menunjukkan bahwa MA gagal besar karena tidak berhasil melakukan pembinaan hakim dan aparatur peradilan dengan baik dan benar," katanya.
Bahkan dirinya memberikan data bahwa sepanjang 2016 saja tercatat sudah ada 28 aparatur peadilan yang tertangkap. Bahkan saat ini diketahui kasus hakim Bengkulu dan Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara rentang waktu tertangkapnya yang begitu dekat satu persatu hakim tertangkap tangan bahkan sampai setingkat ketua pengadilan tinggi.
Kondisi ini, semakin menunjukkan potret buruknya peradilan khususnya perilaku hakim pada umumnya.
Terkait dengan OTT para hakim oleh KPK, ada hal yang menarik dicermati bisa jadi ini adalah "serangan" KPK kepada hakim untuk membuka ke publik tentang buruknya perilaku hakim.
"Karena penyidik sudah bersusah payah melakukan penyelidikan, baik yang dilakukan oleh jaksa ataupun penyidik KPK, dengan mudah dibatalkan oleh hakim," katanya.
KPK mungkin sekaligus memberikan pesan seperti inilah wujud bobroknya sampai hakim dapat membatalkan penyidikan apa yang dibuat jaksa, bahkan juga sudah berani membatalkan penyidikan KPK.
"Jika ternyata pertimbangan hukum ataupun putusan hakim tidak objektif melainkan mengubah tantangan kewenangan menjadi tentengan," katanya.
Karena itu, perlu ditelusuri bahkan putusan hakim dalam perkara yang menarik perhatian masyarakat harus dilakukan eksaminasi dan KY memiliki peranan untuk hal tersebut.
Kondisi darurat perilaku hakim ini harus menjadi perhatian dan momentum, khususnya bagi Ketua MA.
"Jika perlu Presiden selaku Kepala Negara ambil peran segera untuk membenahi lembaga peradilan agar bersih dan berwibawa, termasuk jika perlu mengganti pimpinan MA," katanya.
Sementara itu, Hakim Agung Gayus Lumbuun mengusulkan adanya evaluasi terhadap seluruh jajaran peradilan mulai dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi, hingga MA untuk menentukan ketua dan wakil ketua di semua tingkatan tersebut.
Gayus menilai perbuatan semacam itu akan sering terjadi lagi apabila posisi pimpinan masih diduduki oleh orang-orang yang belum dievaluasi kembali untuk dipilih, yang masih baik dan yang buruk diganti.
Menurut dia, pandangan tersebut berdasarkan perkembangan analisis yang menunjukkan bahwa banyak aparatur pengadilan dari panitera sampai dengan hakim di tingkat PN dan PT terjerat kasus dugaan suap.
Penyebabnya adalah mereka sudah anomali, yaitu tidak takut lagi, mengesampingkan, mengabaikan aturan hukum dan perundang-undangan, serta moral dan integritas yang sepatutnya mereka hormati dan taati.
Maklumat Ketua MA RI Nomor 01/Maklumat/IX/2017 tanggal 11 September 2017 menegaskan dan memastikan bahwa tidak ada lagi hakim dan aparatur yang dipimpinnya melakukan perbuatan yang merendahkan wibawa, kehormatan dan wibawa MA dan peradilan di bawahnya.
Selanjutnya, MA akan memberhentikan pimpinan Mahkamah Agung atau pimpinan badan peradilan di bawahnya secara berjenjang dari jabatannya selaku atasan langsung apabila ditemukan bukti bahwa pengawasan dan pembinaan tersebut tidak secara berkala dan berkesinambungan.
Bahwa penempatan jabatan-jabatan pimpinan pengadilan ditentukan oleh Tim Promosi dan Mutasi (TPM) yang dilakukan oleh pimpinan Mahkamah Agung di bawah Ketua Mahkamah Agung, dan bukan oleh para dirjen di lingkungan Mahkamah Agung.
Ia menilai sudah saatnya Ketua MA dengan sukarela dan terhormat mengundurkan diri untuk tetap menjaga kehormatan dan kewibawaan institusi MA dan jajaran peradilan di bawahnya demi mengembalikan kepercayaan masyarakat pada hukum dan keadilan melalui pengadilan.
Untuk menyikapi persoalan ini, ucapnya, lembaga normatif teringgi dalam bentuk musyawarah di Mahkamah Agung adalah pleno lengkap Hakim Agung untuk dapat menyikapi masalah ini.
Pemeriksaan pimpinan Sementara itu, menanggapi penangkapan terhadap KPT Sulut itu, MA langsung bergerak cepat akan meminta keterangan Dirjen Badan Peradilan Umum Herri Swantoro apakah selaku atasan sudah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara Sudiwardono yang ditetapkan sebagai tersangka penerima suap oleh KPK.
"Kami pada Senin (9/10) akan meminta keterangan langsung Dirjen Badan Peradilan Umum terkait materi pembinaan dan pengawasan yang diberikan kepada Ketua PT Sulawesi Utara," katanya. Berita terkait tentang itu dapat dilihat pada artikel bertajuk Sudiwardono Ketua PT Sulut Tersangka Terima Suap.
Pemeriksaan Dirjen Badan Peradilan Umum itu sesuai dengan Maklumat Ketua Mahkamah Agung RI No 01/Maklumat/KMA/IX/2017 tentang Pengawasan dan Pembinaan Hakim, aparatur MA serta badan peradilan di bawahnya yang menyatakan bahwa MA akan memberhentikan pimpinan MA atau pimpinan badan peradilan di bawahnya secara berjenjang selaku atasan langsung bila ditemukan bukti bahwa proses pengawasan dan pembinaan oleh pimpinan tidak dilaksanakan secara berkala dan berkesinambungan.
"Kami menelusuri dari pagi sampai sore dan beberapa informasi dari informan kami di daerah sehingga kami mendapatkan 'power point' ternyata atasan langsung yaitu Dirjen Badan Peradilan Umum telah melakukan pembinaan terhadap pengadilan tingkat banding yang judulnya 'Pengaruh Leadership Terhadap Motivasi Pegawai'. Isinya dirjen telah memberikan materi-materi yang terkait pembinaan dan pengawasan, salah satunya kepemimpinan efektif adalah kepemimpinan digerakkan dengan keteladanan," tambah Sunarto, Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung.
Namun, meski pembinaan dan pengawasan sudah dilakukan, MA juga masih perlu meningkatkan pengawasannya.
"Memang perlu dan dari waktu ke waktu akan disempurnakan. Kami sedang menyusun peraturan MA yang dalam waktu dekat akan disahkan, yaitu 'mystery shopper' agar ketika turun ke daerah tidak ada yang tahu dan aparatur kami menggunakan penyamaran-penyamaran yang tidak dikenal identitasnya tapi dibarengi surat tugas," ungkapnya.
Diakuinya bahwa Dirjen Badan Peradilan Umum sebagai atasan langsung Sudiwardono bertanggung jawab dalam pembinaan dan pengawasan.
"Tapi dirjen ini juga sudah pontang-panting mengelilingi Indonesia untuk menata kembali Badan Peradilan. Dalam pengawasan eksternal dain internal juga sudah banyak sekali baik dari wartawan, ombdusman serta LSM selain dari badan pengawasn Mahkamah Agung dan juga Komisi Yudisial," katanya.
Sang pengadil itu ditangkap terkait dugaan menerima suap dari anggota DPR dari Komisi XI Fraksi Partai Golkar Aditya Anugrah Moha, yang tidak lain untuk membebaskan sang ibundanya, Marlina Mona Siahaan, dari jeratan hukum.
Marlina Mona Siahaan itu mantan Bupati Bolaang Mongondow periode 2001-2006 dan 2006-2015. Pemberian suap itu untuk memengaruhi putusan di tingkat banding perkara korupsi Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintah Desa (TPAPD) Kabupaten Bolaang Mongondow pada 2010.
Di tingkat pertama pada Juli 2017, Marlina divonis lima tahun penjara dengan denda Rp200 juta dan uang pengganti Rp1,2 miliar subsider dua tahun kurungan.
Dalam operasi, tim Komisi Pemberantasan Korupsi itu berhasil mengamankan 23 ribu dolar Singapura sebagai sisa pemberian pertama pada Agustus 2017 dan 11 ribu dolar Singapura yang diamankan di mobil Aditya.
Penangkapan Sudirwardono menambah panjang deretan para sang pengadil yang ditangkap KPK, belum lagi dengan para pegawai pengadilan. Kondisi demikian menambah mirisnya potret dunia peradilan di Tanah Air.
Jual beli perkara menjadi suatu hal yang lumrah. Hingga jargon hukum itu "Tajam ke bawah tumpul ke atas", benar-benar dipertontonkan di mata rakyat Indonesia. Tumpul itu adalah salah satunya melalui praktik suap menyuap. Berbeda halnya dengan seorang maling ayam atau maling cokelat, yang tanpa tedeng aling divonis bersalah.
Kami mencatat sejumlah hakim yang tersandung kasus hukum, antara lain Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Sumatera Utara, Tripeni Irianto Putro pada Kamis, 9 Juli 2015 oleh KPK karena menerima suap dari pengacara Otto Cornelis Kaligis untuk pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara atas penyelidikan tentang terjadinya dugaan tindak pidana korupsi dana Bantuan Sosial, Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan tunggakan Dana Bagi Hasil (DBH), serta penyertaan modal pada sejumlah BUMD di Pemerintah Provinsi Sumut.
Tripeni Irianto Putro sudah divonis oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dengan dua tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider dua bulan kurungan.
Kemudian hakim pada Pengadilan Tipikor Bengkulu, Dewi Suryana, bersama panitera pengganti di Pengadilan Tipikor Bengkulu, ditangkap KPK pada 6 September 2017.
Pada 23 Mei 2016, KPK juga menangkap Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang Bengkulu sekaligus hakim tindak pidana korupsi Janner Purba dan hakim ad hoc Pengadilan Negeri Bengkulu Toton.
Hal tersebut merupakan bukti korps hakim tersebut masih belum bersih dan tetap berani melakukan aksi menerima suap.
Bahkan pengamat hukum Universitas Bung Karno, Azmi Syahputra, menyatakan Mahkamah Agung gagal besar karena tidak berhasil melakukan pembinaan hakim dan aparatur peradilan dengan baik dan benar.
"Semakin tingginya angka aparatur peradilan yang tertangkap dengan segala modus operandinya dari OTT maupun menjual praktik perdagangan kewenangan (putusan), menunjukkan bahwa MA gagal besar karena tidak berhasil melakukan pembinaan hakim dan aparatur peradilan dengan baik dan benar," katanya.
Bahkan dirinya memberikan data bahwa sepanjang 2016 saja tercatat sudah ada 28 aparatur peadilan yang tertangkap. Bahkan saat ini diketahui kasus hakim Bengkulu dan Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara rentang waktu tertangkapnya yang begitu dekat satu persatu hakim tertangkap tangan bahkan sampai setingkat ketua pengadilan tinggi.
Kondisi ini, semakin menunjukkan potret buruknya peradilan khususnya perilaku hakim pada umumnya.
Terkait dengan OTT para hakim oleh KPK, ada hal yang menarik dicermati bisa jadi ini adalah "serangan" KPK kepada hakim untuk membuka ke publik tentang buruknya perilaku hakim.
"Karena penyidik sudah bersusah payah melakukan penyelidikan, baik yang dilakukan oleh jaksa ataupun penyidik KPK, dengan mudah dibatalkan oleh hakim," katanya.
KPK mungkin sekaligus memberikan pesan seperti inilah wujud bobroknya sampai hakim dapat membatalkan penyidikan apa yang dibuat jaksa, bahkan juga sudah berani membatalkan penyidikan KPK.
"Jika ternyata pertimbangan hukum ataupun putusan hakim tidak objektif melainkan mengubah tantangan kewenangan menjadi tentengan," katanya.
Karena itu, perlu ditelusuri bahkan putusan hakim dalam perkara yang menarik perhatian masyarakat harus dilakukan eksaminasi dan KY memiliki peranan untuk hal tersebut.
Kondisi darurat perilaku hakim ini harus menjadi perhatian dan momentum, khususnya bagi Ketua MA.
"Jika perlu Presiden selaku Kepala Negara ambil peran segera untuk membenahi lembaga peradilan agar bersih dan berwibawa, termasuk jika perlu mengganti pimpinan MA," katanya.
Sementara itu, Hakim Agung Gayus Lumbuun mengusulkan adanya evaluasi terhadap seluruh jajaran peradilan mulai dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi, hingga MA untuk menentukan ketua dan wakil ketua di semua tingkatan tersebut.
Gayus menilai perbuatan semacam itu akan sering terjadi lagi apabila posisi pimpinan masih diduduki oleh orang-orang yang belum dievaluasi kembali untuk dipilih, yang masih baik dan yang buruk diganti.
Menurut dia, pandangan tersebut berdasarkan perkembangan analisis yang menunjukkan bahwa banyak aparatur pengadilan dari panitera sampai dengan hakim di tingkat PN dan PT terjerat kasus dugaan suap.
Penyebabnya adalah mereka sudah anomali, yaitu tidak takut lagi, mengesampingkan, mengabaikan aturan hukum dan perundang-undangan, serta moral dan integritas yang sepatutnya mereka hormati dan taati.
Maklumat Ketua MA RI Nomor 01/Maklumat/IX/2017 tanggal 11 September 2017 menegaskan dan memastikan bahwa tidak ada lagi hakim dan aparatur yang dipimpinnya melakukan perbuatan yang merendahkan wibawa, kehormatan dan wibawa MA dan peradilan di bawahnya.
Selanjutnya, MA akan memberhentikan pimpinan Mahkamah Agung atau pimpinan badan peradilan di bawahnya secara berjenjang dari jabatannya selaku atasan langsung apabila ditemukan bukti bahwa pengawasan dan pembinaan tersebut tidak secara berkala dan berkesinambungan.
Bahwa penempatan jabatan-jabatan pimpinan pengadilan ditentukan oleh Tim Promosi dan Mutasi (TPM) yang dilakukan oleh pimpinan Mahkamah Agung di bawah Ketua Mahkamah Agung, dan bukan oleh para dirjen di lingkungan Mahkamah Agung.
Ia menilai sudah saatnya Ketua MA dengan sukarela dan terhormat mengundurkan diri untuk tetap menjaga kehormatan dan kewibawaan institusi MA dan jajaran peradilan di bawahnya demi mengembalikan kepercayaan masyarakat pada hukum dan keadilan melalui pengadilan.
Untuk menyikapi persoalan ini, ucapnya, lembaga normatif teringgi dalam bentuk musyawarah di Mahkamah Agung adalah pleno lengkap Hakim Agung untuk dapat menyikapi masalah ini.
Pemeriksaan pimpinan Sementara itu, menanggapi penangkapan terhadap KPT Sulut itu, MA langsung bergerak cepat akan meminta keterangan Dirjen Badan Peradilan Umum Herri Swantoro apakah selaku atasan sudah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara Sudiwardono yang ditetapkan sebagai tersangka penerima suap oleh KPK.
"Kami pada Senin (9/10) akan meminta keterangan langsung Dirjen Badan Peradilan Umum terkait materi pembinaan dan pengawasan yang diberikan kepada Ketua PT Sulawesi Utara," katanya. Berita terkait tentang itu dapat dilihat pada artikel bertajuk Sudiwardono Ketua PT Sulut Tersangka Terima Suap.
Pemeriksaan Dirjen Badan Peradilan Umum itu sesuai dengan Maklumat Ketua Mahkamah Agung RI No 01/Maklumat/KMA/IX/2017 tentang Pengawasan dan Pembinaan Hakim, aparatur MA serta badan peradilan di bawahnya yang menyatakan bahwa MA akan memberhentikan pimpinan MA atau pimpinan badan peradilan di bawahnya secara berjenjang selaku atasan langsung bila ditemukan bukti bahwa proses pengawasan dan pembinaan oleh pimpinan tidak dilaksanakan secara berkala dan berkesinambungan.
"Kami menelusuri dari pagi sampai sore dan beberapa informasi dari informan kami di daerah sehingga kami mendapatkan 'power point' ternyata atasan langsung yaitu Dirjen Badan Peradilan Umum telah melakukan pembinaan terhadap pengadilan tingkat banding yang judulnya 'Pengaruh Leadership Terhadap Motivasi Pegawai'. Isinya dirjen telah memberikan materi-materi yang terkait pembinaan dan pengawasan, salah satunya kepemimpinan efektif adalah kepemimpinan digerakkan dengan keteladanan," tambah Sunarto, Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung.
Namun, meski pembinaan dan pengawasan sudah dilakukan, MA juga masih perlu meningkatkan pengawasannya.
"Memang perlu dan dari waktu ke waktu akan disempurnakan. Kami sedang menyusun peraturan MA yang dalam waktu dekat akan disahkan, yaitu 'mystery shopper' agar ketika turun ke daerah tidak ada yang tahu dan aparatur kami menggunakan penyamaran-penyamaran yang tidak dikenal identitasnya tapi dibarengi surat tugas," ungkapnya.
Diakuinya bahwa Dirjen Badan Peradilan Umum sebagai atasan langsung Sudiwardono bertanggung jawab dalam pembinaan dan pengawasan.
"Tapi dirjen ini juga sudah pontang-panting mengelilingi Indonesia untuk menata kembali Badan Peradilan. Dalam pengawasan eksternal dain internal juga sudah banyak sekali baik dari wartawan, ombdusman serta LSM selain dari badan pengawasn Mahkamah Agung dan juga Komisi Yudisial," katanya.
Riza Fahriza
Tags
Hukum