Jakarta, 29/10 (Benhil) - Kongres Pemuda II yang diselenggarakan di Jakarta pada 27 hingga 28 Oktober 1928 melahirkan kesepakatan penting yang menjadi tonggak berdirinya bangsa Indonesia, yakni Sumpah Pemuda.
Sumpah Pemuda yang berisi tiga butir tersebut menegaskan menganai satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa, yakni Indonesia.
Pakar Bahasa Indonesia dari Universitas Mataram Prof Mahsun mengatakan dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan tak lepas dari Kongres Pemuda I yang diselenggarakan pada 30 April hingga 2 Mei 1926.
"Pada saat itu, Mohamad Yamin mengusulkan agar Bahasa Melayu dijadikan bahasa persatuan," ujar Mahsun.
Namun ketika itu, Mohammad Tabrani Soerjowitjitro menentang dan mengatakan bahasa seharusnya bukan bahasa Melayu melainkan bahasa Indonesia, karena sudah disepakati bahwa bertumpah darah dan berbangsa Indonesia. Jika belum ada, maka hal itu harus dilahirkan.
Oleh karena itu pada Kongres Pemuda II yang merupakan rekontruksi Kongres Pemuda I, katanya, disepakati bahwa bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia.
Sejak itu pula, bahasa Indonesia menjadi alat yang memersatukan Indonesia. Bahasa tidak hanya menjadi sarana berkomunikasi masyarakatnya, tetapi menjadi identitas suatu bangsa.
Mahsun mengutip pendapat dari pendiri Singapura, yakni Lee Kuan Yew, yang meyakini pascakejatuhan Soeharto pada 1998, maka akan terjadi balkanisasi. Namun nyatanya hal itu tidak terjadi.
Sumpah Pemuda yang berisi tiga butir tersebut menegaskan menganai satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa, yakni Indonesia.
Pakar Bahasa Indonesia dari Universitas Mataram Prof Mahsun mengatakan dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan tak lepas dari Kongres Pemuda I yang diselenggarakan pada 30 April hingga 2 Mei 1926.
"Pada saat itu, Mohamad Yamin mengusulkan agar Bahasa Melayu dijadikan bahasa persatuan," ujar Mahsun.
Namun ketika itu, Mohammad Tabrani Soerjowitjitro menentang dan mengatakan bahasa seharusnya bukan bahasa Melayu melainkan bahasa Indonesia, karena sudah disepakati bahwa bertumpah darah dan berbangsa Indonesia. Jika belum ada, maka hal itu harus dilahirkan.
Oleh karena itu pada Kongres Pemuda II yang merupakan rekontruksi Kongres Pemuda I, katanya, disepakati bahwa bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia.
Sejak itu pula, bahasa Indonesia menjadi alat yang memersatukan Indonesia. Bahasa tidak hanya menjadi sarana berkomunikasi masyarakatnya, tetapi menjadi identitas suatu bangsa.
Mahsun mengutip pendapat dari pendiri Singapura, yakni Lee Kuan Yew, yang meyakini pascakejatuhan Soeharto pada 1998, maka akan terjadi balkanisasi. Namun nyatanya hal itu tidak terjadi.
- Artikel Menarik: Integritas Pemuda Dipertaruhkan
Ternyata ada yang mempersatukan bangsa kita. Sehingga balkanisasi itu tidak terjadi, yaitu Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia, warisan yang mempersatukan bangsa ini, kata dia.
Kini, 89 tahun setelah Sumpah Pemuda dilakukan, Bahasa Indonesia berada dalam pusaran konsepsi. Mahsun menjelaskan bahwa kita sedang berada dalam perang generasi keempat, yakni perang konsep.
Dia memberi contoh konsep yang selalu ditawarkan Malaysia, yakni konsep Mahawangsa mengenai kebudayaan Melayu mereka. Malaysia ingin agar negara-negara yang menggunakan bahasa Melayu, seperti Indonesia, Brunei, Singapura, dan juga Thailand masuk dalam satu konsep Melayu Raya.
"Konsep ini mempunyai dua arti. Pertama, ketika Malaysia mengambil budaya kita, maka dia akan berdalih bahwa itu termasuk dalam Melayu Raya. Kemudian yang kedua, Malaysia ingin menginternasionalisasi bahasa Melayu. Padahal buat kita, bahasa Melayu berbeda dengan bahasa Indonesia. Tidak sama," ujar mantan Kepala Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu.
Bahasa, lanjut dia, merupakan elemen penting dalam membentuk nasionalisme Indonesia. Jika tanpa Bahasa Indonesia, kata Mahsun, tidak mungkin orang Lombok ataupun dari daerah lain mengamini proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Konsep Melayu Raya seperti yang disampaikan itu, kata dia, merupakan perang konsepsi. Itu merupakan gempuran dari negara tetangga.
Bahasa juga menjadi elemen penting ketika suatu negara melakukan kolonisasi di negara lain, maka yang harus dikuasai ada dua, yakni masyarakat dan bahasa.
Bahasa, ujar dia, tidak hanya menjadi identitas tetapi alat komunikasi yang menunjukkan keberadaan suatu bangsa. Sekarang banyak kita lihat, jika suatu negara ingin menghancurkan negara lain maka yang pertama kali dihancurkan adalah bahasanya.
Bahasa Indonesia, kata Mahsun, saat ini berada dalam kondisi yang berbahaya, dalam kontestasi konsepsi. Jika kita dengan mudah menerima konsep bahasa yang disodorkan, maka dengan mudah Bahasa Indonesia akan hancur. Ia mengaku prihatin dengan banyaknya penggunaan bahasa asing di generasi muda. Padahal bahasa merupakan identitas dan cara berpikir kita.
Ia mengaku tidak khawatir dengan banyaknya bahasa prokem di generasi muda, karena berasal dari Bahasa Indonesia juga. Kita punya bahasa baku yang bisa mengendalikan varian-varian bahasa prokem. Namun yang menjadi kekhawatiran adalah penggunaan bahasa asing, yang akan menjadi contoh tidak baik dalam berbahasa.
Banyak tokoh idola anak muda yang dengan bangga menggunakan bahasa asing. Padahal bahasa itu menjadi identitas bangsa Indonesia.
Pengajaran yang Salah Mahsun mengkritik sistem pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah yang lebih mengutamakan struktur, dibandingkan menanamkan keyakinan mengenai Bahasa Indonesia itu sendiri.
Seharusnya, yang ditanamkan pada anak didik adalah keyakinan menggunakan Bahasa Indonesia. Sama seperti orang Islam yang diajarkan pertama pada anak adalah keimanan bukan tata cara salat.
Selain menanamkan keyakinan berbahasa Indonesia, katanya, sekolah juga hendaknya mengajarkan mengenai peran bahasa itu sendiri. Bagaimana dengan bahasa Indonesia mampu mempersatukan bangsa Indonesia dari Sabang di Papua sampai Merauke di Tanah Aceh.
Itu yang tidak pernah disampaikan di sekolah-sekolah, ujar dia.
Sementara itu, Kepala Badan Bahasa Kemdikbud Dadang Sunendar mengatakan hingga saat ini Bahasa Indonesia tetap menjadi pemersatu bangsa, namun menghadapi tantangan yang besar.
Mulai dari ruang publik kita yang belum tertib sampai sebagian anak muda kita yang menggunakan bahasa gaul. Seperti yang sering saya katakan, setiap generasi melahirkan bahasanya sendiri. Tapi dengan bertambahnya usia dan tingkat pendidikan, perlahan mereka akan mengetahui mana bahasa baku dan mana yang tidak, ujar Dadang.
Disinggung mengenai ruang publik yang belum tertib, terutama pengembang yang kerap menggunakan bahasa asing, bahwa hal itu tergantung pada keinginan politik yang baik dari penguasa. Gubernur DKI Jakarta pada 1997, Sutiyoso, berhasil memaksa pengembang menggunakan Bahasa Indonesia dengan mengeluarkan peraturan daerahnya.
Begitu juga, baru-baru ini penggunaan nama Simpang Susun Semanggi yang sebelumnya bernama Semanggi Interchange. Dadang mengatakan pihaknya menghubungi Pemprov DKI Jakarta agar tidak menamakannya dengan bahasa asing.
Ikon nasional masa menggunakan bahasa asing. Tentunya akan menjadi contoh yang tidak baik. Alhamdulillah, berkat koordinasi yang baik dinamakan Simpang Susun Semanggi, kata Dadang.
Begitu juga dengan Terminal 3 yang sebelumnya dinamakan Terminal 3 Ultimate. Kemudian pihak Badan Bahasa meminta agar Angkasa Pura menggunakan bahasa Indonesia. Sehingga namanya berganti menjadi Terminal 3.
Pihaknya terus mengajak para pejabat, pengembang maupun media untuk terus menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, melalui surat Nomor 5947/G/BS/2016 tentang Pemartabatan Bahasa Indonesia.
Dadang mengatakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara berdasarkan amanat Sumpah Pemuda 1928 dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Bahasa asing memang penting. Namun, bahasa Indonesia jauh lebih penting karena merupakan jati diri dan citra bangsa yang selama ini telah mampu mempersatukan berbagai suku bangsa dengan beragam budaya, bahasa, dan adat-istiadatnya, ujar guru besar bahasa Universitas Pendidikan Indonesia itu. (Ben/An)
Indriani