Jakarta, 12/10 (Benhil) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memeriksa Ali Fahmi yang merupakan staf khusus Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI Arie Soedewo dalam penyidikan tindak pidana korupsi suap proyek "satellite monitoring" di Bakamla RI Tahun Anggaran 2016.
"Yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Nofel Hasan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Kamis.
Nofel Hasan yang merupakan Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla RI telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 12 April 2017 lalu.
Nofel Hasan disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Nofel Hasan disebut menerima 104.500 dolar Singapura terkait pengadaan "satellite monitoring" senilai total Rp222,43 miliar tersebut.
KPK pun memastikan Ali Fahmi masih berada di Indonesia.
Sebelumnya, Ali Fahmi alias Fahmi Al Habsyi yang juga politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu tidak hadir sebagai saksi dalam persidangan kasus "satellite monitoring" di Pengadilan Tipikor di Jakarta.
KPK pun pernah merencanakan memanggil paksa Ali Fahmi untuk memberikan kesaksian dalam kasus di Bakamla RI tersebut di Pengadilan Tipikor.
Namun, sampai saat ini keberadaan Ali Fahmi belum diketahui Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK pun telah meminta pihak imigrasi untuk mencegah Ali Fahmi ke luar negeri.
"Ali adalah saksi yang pernah diperiksa KPK, namun tidak bisa hadir di persidangan. Kami masih lakukan pencarian. Berdasarkan catatan imigrasi belum melintas ke luar negeri," kata Febri.
Sebelumnya, mantan Deputi Informasi, Hukum dan Kerja Sama Badan Keamanan Laut (Bakamla) Eko Susilo Hadi berharap agar KPK dapat menangkap staf khusus Kepala Bakamla, Ali Fahmi.
"Saya berharap dia ditangkap dan disidangkan, itu urusan KPK," kata Eko Susilo seusai menjalani sidang pembacaan putusan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (17/7).
Eko divonis empat tahun tiga bulan penjara ditambah denda Rp200 juta subider dua bulan kurungan karena terbukti menerima suap sebesar 88.500 dolar AS (Rp1,2 miliar), 10 ribu euro (Rp141,3 juta) dan 100 ribu dolar Singapura (Rp980 juta) dengan nilai total sekitar Rp2,3 miliar dari Direktur PT Merial Esa dan pemilik PT PT Melati Technofo Indonesia Fahmi Darmawansyah dalam pengadaan "satellite monitoring".
Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi dalam dakwaan disebut sebagai orang yang pertama mengenalkan Fahmi dalam pengadaan proyek "satelite monitoring". Ali adalah staf khusus kepala Bakamla Arie Soedewo, Ali yang juga politisi PDI-P itu menjadi narasumber bidang perencanaan anggaran dan bertemu Fahmi pada Maret 2016.
Pada saat itu, Ali Fahmi menawarkan kepada Fahmi untuk "main proyek" di Bakamla dan jika bersedia maka Fahmi Darmawansyah harus memberikan "fee" sebesar 15 persen dari nilai pengadaan. Ali Fahmi lalu memberitahukan pengadaan "monitoring satellite" awalnya senilai Rp400 miliar dan Ali meminta uang muka 6 persen dari nilai anggaran tersebut.
Sementara dalam penyidikan kasus tersebut, Febri menyatakan bahwa KPK mulai menemukan beberapa informasi baru dalam penanganan kasus Bakamla tersebut.
"Ada dimensi lain seperti pembahasan anggaran terkait proyek di Bakamla karena sebelumnya kan kami fokus pada indikasi pemberian suap pada pejabat Bakamla terkait pengadaannya," ucap Febri. (Ben/An)
"Yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Nofel Hasan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Kamis.
Nofel Hasan yang merupakan Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla RI telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 12 April 2017 lalu.
Nofel Hasan disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Nofel Hasan disebut menerima 104.500 dolar Singapura terkait pengadaan "satellite monitoring" senilai total Rp222,43 miliar tersebut.
KPK pun memastikan Ali Fahmi masih berada di Indonesia.
Sebelumnya, Ali Fahmi alias Fahmi Al Habsyi yang juga politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu tidak hadir sebagai saksi dalam persidangan kasus "satellite monitoring" di Pengadilan Tipikor di Jakarta.
KPK pun pernah merencanakan memanggil paksa Ali Fahmi untuk memberikan kesaksian dalam kasus di Bakamla RI tersebut di Pengadilan Tipikor.
Namun, sampai saat ini keberadaan Ali Fahmi belum diketahui Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK pun telah meminta pihak imigrasi untuk mencegah Ali Fahmi ke luar negeri.
"Ali adalah saksi yang pernah diperiksa KPK, namun tidak bisa hadir di persidangan. Kami masih lakukan pencarian. Berdasarkan catatan imigrasi belum melintas ke luar negeri," kata Febri.
Sebelumnya, mantan Deputi Informasi, Hukum dan Kerja Sama Badan Keamanan Laut (Bakamla) Eko Susilo Hadi berharap agar KPK dapat menangkap staf khusus Kepala Bakamla, Ali Fahmi.
"Saya berharap dia ditangkap dan disidangkan, itu urusan KPK," kata Eko Susilo seusai menjalani sidang pembacaan putusan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (17/7).
Eko divonis empat tahun tiga bulan penjara ditambah denda Rp200 juta subider dua bulan kurungan karena terbukti menerima suap sebesar 88.500 dolar AS (Rp1,2 miliar), 10 ribu euro (Rp141,3 juta) dan 100 ribu dolar Singapura (Rp980 juta) dengan nilai total sekitar Rp2,3 miliar dari Direktur PT Merial Esa dan pemilik PT PT Melati Technofo Indonesia Fahmi Darmawansyah dalam pengadaan "satellite monitoring".
Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi dalam dakwaan disebut sebagai orang yang pertama mengenalkan Fahmi dalam pengadaan proyek "satelite monitoring". Ali adalah staf khusus kepala Bakamla Arie Soedewo, Ali yang juga politisi PDI-P itu menjadi narasumber bidang perencanaan anggaran dan bertemu Fahmi pada Maret 2016.
Pada saat itu, Ali Fahmi menawarkan kepada Fahmi untuk "main proyek" di Bakamla dan jika bersedia maka Fahmi Darmawansyah harus memberikan "fee" sebesar 15 persen dari nilai pengadaan. Ali Fahmi lalu memberitahukan pengadaan "monitoring satellite" awalnya senilai Rp400 miliar dan Ali meminta uang muka 6 persen dari nilai anggaran tersebut.
Sementara dalam penyidikan kasus tersebut, Febri menyatakan bahwa KPK mulai menemukan beberapa informasi baru dalam penanganan kasus Bakamla tersebut.
"Ada dimensi lain seperti pembahasan anggaran terkait proyek di Bakamla karena sebelumnya kan kami fokus pada indikasi pemberian suap pada pejabat Bakamla terkait pengadaannya," ucap Febri. (Ben/An)
Tags
Hukum