Probolinggo, 3/9 (Benhil) - Memilih menjadi santri bukan sekadar belajar intensif untuk mendalami ilmu agama di pondok pesantren, namun juga belajar tentang ilmu kehidupan, yakni hidup mandiri dan tidak cengeng.
Pada saat anak-anak lain menikmati malam takbiran Idul Adha bersama orang tua, para santri justru berada di tempat jauh dari rumah dan keluarga karena hampir semua pondok pesantren (pendidikan khas keagamaan di Indonesia) tidak memberlakukan libur saat Idul Adha.
Secara umum, saat libur (santri bisa pulang dan berkumpul dengan orang tua) di pondok pesantren hanya dua kali dalam setahun, yakni pada akhir tahun ajaran atau saat kenaikan kelas yang jatuh bersamaan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW dan saat pergantian semester yang biasanya bersamaan dengan puasa serta Idul Fitri.
Pondok Pesantren yang didirikan oleh ulama-ulama sepuh, khususnya dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) telah menunjukkan peran besarnya dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, khususnya di bidang pendidikan dan pembentukan karakter masyarakat.
Selain mencetak ulama dan bahkan tidak sedikit yang alumninya menjadi pemimpin bangsa, pondok pesantren juga telah mencetak insan-insan berilmu yang memiliki karakter kuat hingga dibawa saat santri kembali ke tengah-tengah masyarakat.
Pondok pesantren telah banyak "menyumbangkan" alumninya untuk berkiprah di berbagai bidang, bahkan di posisi tertinggi pemerintahan, seperti KH Abdurrahman Wahid, yang besar di lingkungan pesantren.
Kini juga banyak pemimpin politik dan menteri yang perjalanan hidup dan penempaan mentalnya dilalui di dunia pondok pesantren.
Demikian halnya para santri di Pondok Pesantren Nurul Jadid, salah satu pesantren besar di Indonesia yang terletak di Desa Karang Anyar, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Nama Nurul Jadid diambil dari Bahasa Arab yang bermakna "cahaya baru", suatu nama yang cocok dipakai dalam lembaga pendidikan.
Kali ini, seperti tahun-tahun yang lalu ribuan santri putra putri, mulai dari usia sekolah menangah tingkat pertama hingga perguruan tinggi itu, terlihat merayakan Hari Raya Idul Kurban di lokasi pondok pesantren.
Akifah Qotrunnada, seorang santri asal Bondowoso mengaku sudah biasa tidak berlebaran bersama keluarganya karena sebelum ini dia juga pernah "nyantri" di Pulau Madura. Namun demikian, ia tidak menampik pertanyaan tentang kerinduannya kepada ayah, ibu dan saudara-saudaranya saat kumandang takbir, tahlil dan tahmid menggema.
"Sebetulnya pingin kumpul dengan orang tua, tapi karena peraturan di pondok tidak memperkenankan pulang, ya saya harus terima. Saya sudah biasa," kata siswa Madrasah Aliyah Nurul Jadid (MANJ) ini.
Ia menceritakan bahwa pada malam takbiran, yakni Kamis (31/8) malam ada beberapa santriwati di asramanya yang menangis diam-diam karena memendam rindu kepada orang tua dan kampung halaman mereka.
"Melihat teman-teman seperti itu, saya juga hampir menangis, tapi alhamdulillah bisa saya tahan," kata Anisa, seorang santri lain mengungkapkan perasaannya.
Baik Akifah maupun Anisa mengakui bahwa kegiatan di Pondok Pesantren dalam perayaan meriah Idul Adha cukup menghibur mereka, salah satunya adalah lomba takbiran antarasrama.
"Hiburan" lain di sela-sela kegiatan mereka mempelajari ilmu agama dan ilmu kehidupan itu adalah saat pengasuh pondok pesantren menyediakan makanan istimewa bagi para santri untuk dimakan secara bersama-sama.
Kebersamaan itu mampu menghapus kerinduan mereka pada keluarga, seperti pengakuan beberapa santri.
Namun kerinduan itu pun segera terhapus setelah pada lebaran hari kedua banyak wali santri yang datang berkunjung dan mereka juga mengaku senang ketika orang tua berkunjung ke pondok pesantren untuk "mengirim".
Istilah "mengirim" merujuk tradisi orang tua para santri yang menjenguk anak-anaknya di pondok. Disebut mengirim, karena pada masa lalu para santri harus hidup mandiri, dalam arti memasak sendiri untuk makanan mereka, sehingga sesekali para orang tua datang untuk mengirim (membawa) beras untuk mereka olah.
Namun saat ini tradisi itu telah berubah karena banyak pondok pesantren yang menyediakan kebutuhan makan untuk para santri, dengan tambahan biaya makan dengan nilai tertentu yang dibayar setiap bulan.
Sejak saat itu makna istilah "mengirim" bergeser menjadi kunjungan orang tua di pondok pesantren, walaupun biasanya saat itu, para wali santri juga membawa makanan berupa nasi dan camilan yang kemudian dinikmati bersama-sama oleh para santri bersama teman-temannya satu kamar atau satu kelas di sekolah.
Suasana hiruk pikuk dan ramai terlihat di areal mahram (tempat pertemuan para wali dengan santri) di Pondok Pesantren Nurul Jadid, pada Sabtu siang. Kebetulan hari itu, Ponpes Nurul Jadid juga mengundang wali santri untuk mengikuti rapat dan silaturrahim.
Wali dan santri duduk bersama beralaskan tikar yang dibawa oleh para orang tua untuk mengatasi ruangan di gedung mahram yang tidak mampu menampung jumlah wali santri yang membludak.
Selain menikmati hidangan "istimewa" berupa olahan daging khas suasana Idul Adha dibanding menu harian yang sederhana seperti nasi, telur goreng dan mi, perjumpaan orang tua dan putra-putri mereka memberi kebahagiaan tersendiri, mereka saling melepas rindu.
"Senang sekali kalau orang tua sudah datang. Saya dan teman-teman memang menunggu-nunggu panggilan dari petugas pondok kalau orang tua datang," kata Akifah.
Imam Fatholla, salah seorang wali santri mengaku senang bisa mengunjungi seorang santri di tempat itu.
"Dia saya sayangi seperti anak sendiri dan sudah saya asuh sejak bayi sehingga dia manja pada saya," katanya tentang santri bernama Dila.
Kepala Pesantren Ponpes Nurul Jadid KH Abd Hamid Wahid, MAg ketika ditemui Antara seusai silaturrahim wali santri menjelaskan bahwa untuk mengisi suasana Idul Adha pihaknya menggelar sejumlah kegiatan, sehingga tercipta kebersamaan yang tinggi antarsantri.
"Kami memasak makanan kemudian semua santri sesuai wilayah asramanya masing-masing makan bersama. Ada kegiatan lain di ponpes ini, seperti lomba takbiran. Kegiatan bersama ini juga berlaku saat suasana bulan puasa, seperti ada kegiatan gema Ramadhan," kata putera dari ulama yang juga dikenal sebagai intelektual di kalangan Nahdlatul Ulama, yakni almarhum KH Abdul Wahid Zaini ini.
Tradisi nyantri banyak dilakukan oleh umat Islam di Jawa Timur, provinsi yang dikenal memiliki banyak pondok pesantren, sedangkan para santri datang dari berbagai wilayah di Indonesia. Suasana akrab pada kunjungan wali santri seperti ini selalu dirindukan oleh para santri maupun orangtua mereka dan terlihat di banyak pondok pesantren. (Ben/An)
Pada saat anak-anak lain menikmati malam takbiran Idul Adha bersama orang tua, para santri justru berada di tempat jauh dari rumah dan keluarga karena hampir semua pondok pesantren (pendidikan khas keagamaan di Indonesia) tidak memberlakukan libur saat Idul Adha.
Secara umum, saat libur (santri bisa pulang dan berkumpul dengan orang tua) di pondok pesantren hanya dua kali dalam setahun, yakni pada akhir tahun ajaran atau saat kenaikan kelas yang jatuh bersamaan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW dan saat pergantian semester yang biasanya bersamaan dengan puasa serta Idul Fitri.
Pondok Pesantren yang didirikan oleh ulama-ulama sepuh, khususnya dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) telah menunjukkan peran besarnya dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, khususnya di bidang pendidikan dan pembentukan karakter masyarakat.
Selain mencetak ulama dan bahkan tidak sedikit yang alumninya menjadi pemimpin bangsa, pondok pesantren juga telah mencetak insan-insan berilmu yang memiliki karakter kuat hingga dibawa saat santri kembali ke tengah-tengah masyarakat.
Pondok pesantren telah banyak "menyumbangkan" alumninya untuk berkiprah di berbagai bidang, bahkan di posisi tertinggi pemerintahan, seperti KH Abdurrahman Wahid, yang besar di lingkungan pesantren.
Kini juga banyak pemimpin politik dan menteri yang perjalanan hidup dan penempaan mentalnya dilalui di dunia pondok pesantren.
Demikian halnya para santri di Pondok Pesantren Nurul Jadid, salah satu pesantren besar di Indonesia yang terletak di Desa Karang Anyar, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Nama Nurul Jadid diambil dari Bahasa Arab yang bermakna "cahaya baru", suatu nama yang cocok dipakai dalam lembaga pendidikan.
Kali ini, seperti tahun-tahun yang lalu ribuan santri putra putri, mulai dari usia sekolah menangah tingkat pertama hingga perguruan tinggi itu, terlihat merayakan Hari Raya Idul Kurban di lokasi pondok pesantren.
Akifah Qotrunnada, seorang santri asal Bondowoso mengaku sudah biasa tidak berlebaran bersama keluarganya karena sebelum ini dia juga pernah "nyantri" di Pulau Madura. Namun demikian, ia tidak menampik pertanyaan tentang kerinduannya kepada ayah, ibu dan saudara-saudaranya saat kumandang takbir, tahlil dan tahmid menggema.
"Sebetulnya pingin kumpul dengan orang tua, tapi karena peraturan di pondok tidak memperkenankan pulang, ya saya harus terima. Saya sudah biasa," kata siswa Madrasah Aliyah Nurul Jadid (MANJ) ini.
Ia menceritakan bahwa pada malam takbiran, yakni Kamis (31/8) malam ada beberapa santriwati di asramanya yang menangis diam-diam karena memendam rindu kepada orang tua dan kampung halaman mereka.
"Melihat teman-teman seperti itu, saya juga hampir menangis, tapi alhamdulillah bisa saya tahan," kata Anisa, seorang santri lain mengungkapkan perasaannya.
Baik Akifah maupun Anisa mengakui bahwa kegiatan di Pondok Pesantren dalam perayaan meriah Idul Adha cukup menghibur mereka, salah satunya adalah lomba takbiran antarasrama.
"Hiburan" lain di sela-sela kegiatan mereka mempelajari ilmu agama dan ilmu kehidupan itu adalah saat pengasuh pondok pesantren menyediakan makanan istimewa bagi para santri untuk dimakan secara bersama-sama.
Kebersamaan itu mampu menghapus kerinduan mereka pada keluarga, seperti pengakuan beberapa santri.
Namun kerinduan itu pun segera terhapus setelah pada lebaran hari kedua banyak wali santri yang datang berkunjung dan mereka juga mengaku senang ketika orang tua berkunjung ke pondok pesantren untuk "mengirim".
Istilah "mengirim" merujuk tradisi orang tua para santri yang menjenguk anak-anaknya di pondok. Disebut mengirim, karena pada masa lalu para santri harus hidup mandiri, dalam arti memasak sendiri untuk makanan mereka, sehingga sesekali para orang tua datang untuk mengirim (membawa) beras untuk mereka olah.
Namun saat ini tradisi itu telah berubah karena banyak pondok pesantren yang menyediakan kebutuhan makan untuk para santri, dengan tambahan biaya makan dengan nilai tertentu yang dibayar setiap bulan.
Sejak saat itu makna istilah "mengirim" bergeser menjadi kunjungan orang tua di pondok pesantren, walaupun biasanya saat itu, para wali santri juga membawa makanan berupa nasi dan camilan yang kemudian dinikmati bersama-sama oleh para santri bersama teman-temannya satu kamar atau satu kelas di sekolah.
Suasana hiruk pikuk dan ramai terlihat di areal mahram (tempat pertemuan para wali dengan santri) di Pondok Pesantren Nurul Jadid, pada Sabtu siang. Kebetulan hari itu, Ponpes Nurul Jadid juga mengundang wali santri untuk mengikuti rapat dan silaturrahim.
Wali dan santri duduk bersama beralaskan tikar yang dibawa oleh para orang tua untuk mengatasi ruangan di gedung mahram yang tidak mampu menampung jumlah wali santri yang membludak.
Selain menikmati hidangan "istimewa" berupa olahan daging khas suasana Idul Adha dibanding menu harian yang sederhana seperti nasi, telur goreng dan mi, perjumpaan orang tua dan putra-putri mereka memberi kebahagiaan tersendiri, mereka saling melepas rindu.
"Senang sekali kalau orang tua sudah datang. Saya dan teman-teman memang menunggu-nunggu panggilan dari petugas pondok kalau orang tua datang," kata Akifah.
Imam Fatholla, salah seorang wali santri mengaku senang bisa mengunjungi seorang santri di tempat itu.
"Dia saya sayangi seperti anak sendiri dan sudah saya asuh sejak bayi sehingga dia manja pada saya," katanya tentang santri bernama Dila.
Kepala Pesantren Ponpes Nurul Jadid KH Abd Hamid Wahid, MAg ketika ditemui Antara seusai silaturrahim wali santri menjelaskan bahwa untuk mengisi suasana Idul Adha pihaknya menggelar sejumlah kegiatan, sehingga tercipta kebersamaan yang tinggi antarsantri.
"Kami memasak makanan kemudian semua santri sesuai wilayah asramanya masing-masing makan bersama. Ada kegiatan lain di ponpes ini, seperti lomba takbiran. Kegiatan bersama ini juga berlaku saat suasana bulan puasa, seperti ada kegiatan gema Ramadhan," kata putera dari ulama yang juga dikenal sebagai intelektual di kalangan Nahdlatul Ulama, yakni almarhum KH Abdul Wahid Zaini ini.
Tradisi nyantri banyak dilakukan oleh umat Islam di Jawa Timur, provinsi yang dikenal memiliki banyak pondok pesantren, sedangkan para santri datang dari berbagai wilayah di Indonesia. Suasana akrab pada kunjungan wali santri seperti ini selalu dirindukan oleh para santri maupun orangtua mereka dan terlihat di banyak pondok pesantren. (Ben/An)
Masuki M Astro
Tags
Aktual