Beras berwarna-warni dihias sebutir telur ayam di atas tampah, serta gambir, pinang, kapur sirih dan tembakau bersama setandan pisang menjadi bagian dari sesajen pada upacara adat Baliya Jinja, ritual penyembuhan khas Suku Kaili yang berdiam di Sulawesi Tengah.
Sesajen ini bersama tujuh macam kue tradisional yakni roko-roko, cicuru, batu bengga, epu-epu, belira, lemo-lemo dan onde-onde disiapkan untuk dilarung ke laut keesokan paginya bersama replika perahu bercadik dan sebagian lagi dibuang ke gunung.
Ritual ini pada masa ratusan tahun lalu ketika belum ada dokter dan rumah sakit menjadi cara terampuh bagi masyarakat yang mengalami sakit parah dan mendambakan kesembuhan.
Upacara diawali dengan pengusapan ramuan oleh ketua adat ke bagian-bagian tubuh orang yang akan disembuhkan mengikuti tata cara berwudhu, dimulai dengan telapak tangan, bagian wajah, lengan, dahi, telinga dan telapak kaki sambil membaca Al-Fatihah.
"Orang Kaili disembuhkan dengan cara ini sejak dulu. Pada masa leluhur kami belum ada dokter. Dukun yang memutuskan, apakah harus menggunakan upacara adat Baliya Rato, Baliya Tampilangi, Baliya Bone, Baliya Buwo atau Baliya Jinja," kata Lipariya, seorang ibu yang berperan sebagai ketua adat.
Usai prosesi pengusapan, mulailah para ibu (baliya) yang menggunakan pakaian adat berwarna kuning emas dengan jilbab berwarna kuning berdiri berjejer, menari dengan khidmat sambil membawa kipas diiringi tabuhan gendang, gong (gindam) dan seruling bambu yang dimainkan para bapak (bule) yang berpakaian adat beskap hitam dengan kain kepala.
Upacara ini kembali dihidupkan di area Kampung Kaili, Pantai Talise, Kota Palu, Sulawesi Tengah bersama penyelenggaraan Pekan Budaya Indonesia 2017 dan Festival Pesona Palu Nomoni II yang berlangsung sejak 22 hingga 27 September 2017.
Menyambut festival ini, di Pantai Talise dibangun Kampung Kaili di mana puluhan anjungan tradisional dari kayu dan bambu menjual beragam kerajinan dan kuliner khas Kaili yang digelar oleh masyarakat di berbagai kelurahan di Kota Palu dan sekitarnya.
Anjungan lainnya dengan halaman yang lebih luas, dipasangi pagar batas dengan titik-titik obor untuk menggelar upacara adat baliya beserta pintu bambu yang dihiasi dedaunan kelapa.
Menurut Lipariya, upacara baliya sebenarnya dilaksanakan kapan saja ketika ada orang yang sakit dan tidak juga sembuh, karena dukun akan melihat penyakit ini disebabkan oleh masuknya roh jahat.
"Beberapa waktu lalu ada yang sakit sudah lebih dari setahun dan sudah dibawa ke Makassar tidak sembuh juga, dirujuk ke Jakarta masih sakit juga, katanya kanker hati. Lalu kami buat upacara seperti ini. Sekarang dia bisa jalan," kata Lipariya yang tinggal di Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu.
Namun demikian, lanjut dia, upacara baliya kali ini dikhususkan untuk kesembuhan masyarakat di seluruh dunia, sehingga tidak menyertakan orang yang sakit secara khusus, bahkan dukun pun tidak dihadirkan.
"Kami di sini berdoa untuk kesehatan seluruh masyarakat dunia. Kami percaya Allah Yang Maha Penyembuh yang menyembuhkan segala penyakit," katanya.
Tarian ritual dengan alunan gindam di Kampung Kaili ini berlangsung sejak usai matahari terbenam hingga larut malam di mana para baliya kemudian turun mengikuti alunan tersebut dan menyatu dengan roh leluhur.
Disiapkan pula kambing dan ayam untuk dikorbankan. Kambing ini dalam adat Baliya Jinja, akan ditombak kakinya sebelum akhirnya dipenggal kepalanya untuk ikut dilarungkan ke laut.
Malam semakin larut dan masyarakat pun semakin memadati kampung tersebut untuk menyaksikan ritual adat yang pernah hidup sejak ratusan tahun silam itu.
Namun tidak seperti tahun lalu ketika upacara adat ini mulai dipertunjukkan di Kampung Kaili dengan upacara yang lengkap hingga si dukun menginjak-injak bara api yang bermakna memusnahkan amarah roh jahat, tahun ini tidak menggunakan bara api.
Demikian pula di anjungan lainnya yang juga menggelar upacara adat Baliya tersebut, misalnya di anjungan Kabupaten Donggala di mana para baliya menggunakan pakaian adat berwarna kuning, kerudung kuning dan sarung kota-kotak serta para bule menggunakan pakaian adat merah dan tutup kepala merah.
Mereka juga menari mengikuti alunan seruling dan gendang sambil membawa-bawa tombak dan menginjak-injak batok kelapa, termasuk menaiki gendang, mengelilingi kambing yang duduk terikat serta ayam dibungkus plastik.
Menurut Manopo, bule yang membunyikan suling dalam upacara ini, tradisi ini memang sudah hampir punah, karena itulah Wali Kota Palu Hidayat bertekad menggalinya kembali dan menjadikannya sebuah pergelaran rutin dalam festival budaya Nomoni setiap tahun.
Suku Kaili merupakan suku mayoritas di Sulawesi Tengah, dan kebanyakan berdiam di Kota Palu, Kabupaten Donggala, Parigi Moutong, dan Kabupaten Sigi dan diperkirakan mencakup 20 persen dari total seluruh penduduk Sulteng.
Sulawesi Tengah ini memang sangat kaya akan etnis, lebih dari 20 suku tinggal di provinsi ini, selain Suku Kaili, ada juga Suku Kulawi, Lore, Pamona, Mori, Bungku, Saluan, Balantak, Mamasa dan lain-lain, dengan ragam adat dan bahasa yang juga berbeda-beda.
Festival Pesona Palu Nomoni diharapkan mampu mengangkat kembali kekayaan adat budaya sosial masyarakat di lembah dan sepanjang Teluk Palu ini agar tidak punah dan sekadar menjadi hiasan di buku-buku sejarah.
Sesajen ini bersama tujuh macam kue tradisional yakni roko-roko, cicuru, batu bengga, epu-epu, belira, lemo-lemo dan onde-onde disiapkan untuk dilarung ke laut keesokan paginya bersama replika perahu bercadik dan sebagian lagi dibuang ke gunung.
Ritual ini pada masa ratusan tahun lalu ketika belum ada dokter dan rumah sakit menjadi cara terampuh bagi masyarakat yang mengalami sakit parah dan mendambakan kesembuhan.
Upacara diawali dengan pengusapan ramuan oleh ketua adat ke bagian-bagian tubuh orang yang akan disembuhkan mengikuti tata cara berwudhu, dimulai dengan telapak tangan, bagian wajah, lengan, dahi, telinga dan telapak kaki sambil membaca Al-Fatihah.
"Orang Kaili disembuhkan dengan cara ini sejak dulu. Pada masa leluhur kami belum ada dokter. Dukun yang memutuskan, apakah harus menggunakan upacara adat Baliya Rato, Baliya Tampilangi, Baliya Bone, Baliya Buwo atau Baliya Jinja," kata Lipariya, seorang ibu yang berperan sebagai ketua adat.
Usai prosesi pengusapan, mulailah para ibu (baliya) yang menggunakan pakaian adat berwarna kuning emas dengan jilbab berwarna kuning berdiri berjejer, menari dengan khidmat sambil membawa kipas diiringi tabuhan gendang, gong (gindam) dan seruling bambu yang dimainkan para bapak (bule) yang berpakaian adat beskap hitam dengan kain kepala.
Upacara ini kembali dihidupkan di area Kampung Kaili, Pantai Talise, Kota Palu, Sulawesi Tengah bersama penyelenggaraan Pekan Budaya Indonesia 2017 dan Festival Pesona Palu Nomoni II yang berlangsung sejak 22 hingga 27 September 2017.
Menyambut festival ini, di Pantai Talise dibangun Kampung Kaili di mana puluhan anjungan tradisional dari kayu dan bambu menjual beragam kerajinan dan kuliner khas Kaili yang digelar oleh masyarakat di berbagai kelurahan di Kota Palu dan sekitarnya.
Anjungan lainnya dengan halaman yang lebih luas, dipasangi pagar batas dengan titik-titik obor untuk menggelar upacara adat baliya beserta pintu bambu yang dihiasi dedaunan kelapa.
Menurut Lipariya, upacara baliya sebenarnya dilaksanakan kapan saja ketika ada orang yang sakit dan tidak juga sembuh, karena dukun akan melihat penyakit ini disebabkan oleh masuknya roh jahat.
"Beberapa waktu lalu ada yang sakit sudah lebih dari setahun dan sudah dibawa ke Makassar tidak sembuh juga, dirujuk ke Jakarta masih sakit juga, katanya kanker hati. Lalu kami buat upacara seperti ini. Sekarang dia bisa jalan," kata Lipariya yang tinggal di Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu.
Namun demikian, lanjut dia, upacara baliya kali ini dikhususkan untuk kesembuhan masyarakat di seluruh dunia, sehingga tidak menyertakan orang yang sakit secara khusus, bahkan dukun pun tidak dihadirkan.
"Kami di sini berdoa untuk kesehatan seluruh masyarakat dunia. Kami percaya Allah Yang Maha Penyembuh yang menyembuhkan segala penyakit," katanya.
Tarian ritual dengan alunan gindam di Kampung Kaili ini berlangsung sejak usai matahari terbenam hingga larut malam di mana para baliya kemudian turun mengikuti alunan tersebut dan menyatu dengan roh leluhur.
Disiapkan pula kambing dan ayam untuk dikorbankan. Kambing ini dalam adat Baliya Jinja, akan ditombak kakinya sebelum akhirnya dipenggal kepalanya untuk ikut dilarungkan ke laut.
Malam semakin larut dan masyarakat pun semakin memadati kampung tersebut untuk menyaksikan ritual adat yang pernah hidup sejak ratusan tahun silam itu.
Namun tidak seperti tahun lalu ketika upacara adat ini mulai dipertunjukkan di Kampung Kaili dengan upacara yang lengkap hingga si dukun menginjak-injak bara api yang bermakna memusnahkan amarah roh jahat, tahun ini tidak menggunakan bara api.
Demikian pula di anjungan lainnya yang juga menggelar upacara adat Baliya tersebut, misalnya di anjungan Kabupaten Donggala di mana para baliya menggunakan pakaian adat berwarna kuning, kerudung kuning dan sarung kota-kotak serta para bule menggunakan pakaian adat merah dan tutup kepala merah.
Mereka juga menari mengikuti alunan seruling dan gendang sambil membawa-bawa tombak dan menginjak-injak batok kelapa, termasuk menaiki gendang, mengelilingi kambing yang duduk terikat serta ayam dibungkus plastik.
Menurut Manopo, bule yang membunyikan suling dalam upacara ini, tradisi ini memang sudah hampir punah, karena itulah Wali Kota Palu Hidayat bertekad menggalinya kembali dan menjadikannya sebuah pergelaran rutin dalam festival budaya Nomoni setiap tahun.
Suku Kaili merupakan suku mayoritas di Sulawesi Tengah, dan kebanyakan berdiam di Kota Palu, Kabupaten Donggala, Parigi Moutong, dan Kabupaten Sigi dan diperkirakan mencakup 20 persen dari total seluruh penduduk Sulteng.
Sulawesi Tengah ini memang sangat kaya akan etnis, lebih dari 20 suku tinggal di provinsi ini, selain Suku Kaili, ada juga Suku Kulawi, Lore, Pamona, Mori, Bungku, Saluan, Balantak, Mamasa dan lain-lain, dengan ragam adat dan bahasa yang juga berbeda-beda.
Festival Pesona Palu Nomoni diharapkan mampu mengangkat kembali kekayaan adat budaya sosial masyarakat di lembah dan sepanjang Teluk Palu ini agar tidak punah dan sekadar menjadi hiasan di buku-buku sejarah.
Tags
Sosial Politik