Gemuruh riuh penonton memadati panggung terbuka "Ardha Candra Taman Budaya" (Art Centre), Denpasar, Bali. Mereka bertepuk tangan ketika pertunjukan kesenian tradisional Cakepung telah usai.
Serentak puluhan pemain Cakepung melangkah ke tengah, menangkupkan tangan di dada dan berbalik masuk ke belakang panggung.
Grup kesenian Cakepung yang baru saja berpentas pada perhelatan Pesta Kesenian Bali (PKB) 2017 pada 10 Juni-8 Juli itu, berasal dari Desa Budakeling, Karangasem.
Grup ini telah didirikan sejak puluhan tahun silam, dan sudah melanglang ke berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, telah berpentas hingga mancanegara.
Kesenian Cakepung di Budakeling merupakan kolaborasi kesenian tradisional antara umat Hindu dan Islam.
"Pemain Cakepung berasal dari delapan dusun di Budakeling," ujar Kepala Wilayah Dusun Saren Jawa, Desa Budakeling, Ketut Ayu Mudin SAR.
Bahkan, kolaborasi kesenian Islam-Hindu tidak hanya terwujud pada Cakepung, melainkan juga pada perhelatan kesenian Burdah, Rudat, dan lainnya.
Kolaborasi ini mampu melahirkan jenis kesenian yang khas dan berbeda, yang akhirnya menjadi tradisi dan senantiasa dipergelarkan setiap ada kegiatan pentas budaya, khususnya di wilayah Budakeling.
Kebersamaan dan tingginya toleransi antarumat beragama di wilayah ini, tidak hanya terwujud melalui kolaborasi seni budaya. Kegiatan lain yang menjadi penanda harmonisnya hubungan antara umat Hindu dan Islam di Saren Jawa, juga nampak ketika 10 Muharam tiba.
Setiap 10 Muharam, warga Saren Jawa mengadakan acara Haul Makam. Bertempat di makam Raden Kyai Abdul Djalil, pendiri Dusun Saren Jawa.
"Saat itu, kami mengundang saudara-saudara umat Hindu untuk menikmati hidangan bersama-sama dengan penduduk Saren Jawa. Suasana persaudaraan itu terasa begitu indah dan mendamaikan," ujar lelaki yang akrab dipanggil Habib Ketut ini.
Makam Raden Kyai Abdul Djalil terletak di seberang Balai Dusun Saren Jawa. Tokoh spiritual yang berasal dari Demak, Jawa Tengah ini, meninggal pada 1460.
Dahulu, Raden Kyai Abdul Djalil pernah membangun masjid pertama di kawasan Budakeling. Masjid itu memiliki atap "tumpang" atau tingkat 11, menyerupai bentuk bangunan pura. Namun, beberapa tahun silam, masjid bertumpang 11 itu mengalami kebakaran.
Keharmonisan sikap toleransi tak hanya terlihat di wilayah Dusun Saren Jawa, yang dihuni 140 kepala keluarga ini. Dusun-dusun lain di Desa Budakeling terbiasa saling mengundang para tokohnya, bila ada upacara ngaben, potong gigi, pernikahan atau upacara "otonan".
"Jika memasuki Bulan Ramadhan, kami kemudian diundang pihak Griya Budakeling yang mengadakan kegiatan berbuka bersama. Entah sejak kapan acara buka bersama antara umat Islam dan Hindu ini diadakan. Yang jelas sejak masih kecil, saya sudah sering diajak ayah untuk mendatangi undangan berbuka puasa dari saudara umat Hindu," ucap Habib Ketut.
Kuatnya persaudaraan ini, membuat penduduk di Saren Jawa yang beragama Muslim tak segan memberi nama depan anak-anaknya dengan sebutan "Putu", "Made", "Komang", atau "Ketut". Seperti umumnya nama-nama warga Bali lain. Misalnya, Komang Hasan Basri atau Made Siti Aminah.
Bahkan, kitab wariga atau buku mengenai perwatakan di Dusun Saren Jawa menggunakan huruf Arab, namun berbahasa Bali. Kitab ini dilengkapi juga dengan gambar pewayangan. Kitab ini sekarang tersimpan di rumah Habib Ketut, dan pernah mendapat perawatan dari salah seorang warga Jerman yang berkunjung, supaya tidak mengalami kerusakan.
Studi Banding Toleransi Perhatian orang asing terhadap Dusun Saren Jawa, telah terjadi sejak beberapa tahun terakhir. Dusun yang terletak sekitar 70 km dari Denpasar ini, sering menjadi tempat studi banding keberhasilan dan keharmonisan suatu toleransi antarumat beragama.
Pada 2011, perwakilan dari 40 negara datang untuk mengetahui secara langsung kehidupan penduduk Saren Jawa yang dapat hidup rukun berdampingan dengan umat agama lain.
Berikutnya, beberapa tokoh dari negara lain, yang berminat pula untuk mempelajari sejarah dusun dan sejumlah adat istiadat yang biasa dilangsungkan di Saren Jawa, termasuk adat Safaran yang merupakan tradisi berbondong-bondong datang ke tepi sungai dan warga makan ketupat bersama-sama.
Hal lain yang menarik minat peneliti asing sehingga datang ke Dusun Saren Jawa, tidak lain karena ingin mengetahui secara rinci riwayat hidup Raden Kyai Abdul Djalil.
Nama besar tokoh ini tetap terjaga sampai sekarang, terbukti makamnya masih sering menjadi tempat berziarah para pengunjung dari dalam dan luar negeri.
"Kami masih menelusuri sejak tahun berapa Raden Kyai Abdul Djalil datang ke Bali. Mengenai alasan beliau datang ke Budakeling, menurut keterangan leluhur, dikarenakan dahulu di Desa Budakeling pernah ada sapi badak berukuran sangat besar yang sedang mengamuk. Banyak penduduk menjadi korban. Akhirnya datang Raden Kyai Abdul Djalil dan berhasil mengalahkan sapi itu. Atas jasa ini, beliau pun dianugerahi wilayah yang belakangan disebut Saren Jawa," tuturnya.
Pengajaran dan keteladanan tokoh Raden Kyai Abdul Djalil untuk hidup penuh toleransi dan menganyam kebersamaan dengan umat agama lain, memang sudah lama berlalu.
Meski demikian, telah dipetuahkan semenjak ratusan tahun lalu, bahwa ajaran untuk hidup berdampingan dengan penuh sikap toleransi itu tetap lestari sampai lintas generasi.
Serentak puluhan pemain Cakepung melangkah ke tengah, menangkupkan tangan di dada dan berbalik masuk ke belakang panggung.
Grup kesenian Cakepung yang baru saja berpentas pada perhelatan Pesta Kesenian Bali (PKB) 2017 pada 10 Juni-8 Juli itu, berasal dari Desa Budakeling, Karangasem.
Grup ini telah didirikan sejak puluhan tahun silam, dan sudah melanglang ke berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, telah berpentas hingga mancanegara.
Kesenian Cakepung di Budakeling merupakan kolaborasi kesenian tradisional antara umat Hindu dan Islam.
"Pemain Cakepung berasal dari delapan dusun di Budakeling," ujar Kepala Wilayah Dusun Saren Jawa, Desa Budakeling, Ketut Ayu Mudin SAR.
Bahkan, kolaborasi kesenian Islam-Hindu tidak hanya terwujud pada Cakepung, melainkan juga pada perhelatan kesenian Burdah, Rudat, dan lainnya.
Kolaborasi ini mampu melahirkan jenis kesenian yang khas dan berbeda, yang akhirnya menjadi tradisi dan senantiasa dipergelarkan setiap ada kegiatan pentas budaya, khususnya di wilayah Budakeling.
Kebersamaan dan tingginya toleransi antarumat beragama di wilayah ini, tidak hanya terwujud melalui kolaborasi seni budaya. Kegiatan lain yang menjadi penanda harmonisnya hubungan antara umat Hindu dan Islam di Saren Jawa, juga nampak ketika 10 Muharam tiba.
Setiap 10 Muharam, warga Saren Jawa mengadakan acara Haul Makam. Bertempat di makam Raden Kyai Abdul Djalil, pendiri Dusun Saren Jawa.
"Saat itu, kami mengundang saudara-saudara umat Hindu untuk menikmati hidangan bersama-sama dengan penduduk Saren Jawa. Suasana persaudaraan itu terasa begitu indah dan mendamaikan," ujar lelaki yang akrab dipanggil Habib Ketut ini.
Makam Raden Kyai Abdul Djalil terletak di seberang Balai Dusun Saren Jawa. Tokoh spiritual yang berasal dari Demak, Jawa Tengah ini, meninggal pada 1460.
Dahulu, Raden Kyai Abdul Djalil pernah membangun masjid pertama di kawasan Budakeling. Masjid itu memiliki atap "tumpang" atau tingkat 11, menyerupai bentuk bangunan pura. Namun, beberapa tahun silam, masjid bertumpang 11 itu mengalami kebakaran.
Keharmonisan sikap toleransi tak hanya terlihat di wilayah Dusun Saren Jawa, yang dihuni 140 kepala keluarga ini. Dusun-dusun lain di Desa Budakeling terbiasa saling mengundang para tokohnya, bila ada upacara ngaben, potong gigi, pernikahan atau upacara "otonan".
"Jika memasuki Bulan Ramadhan, kami kemudian diundang pihak Griya Budakeling yang mengadakan kegiatan berbuka bersama. Entah sejak kapan acara buka bersama antara umat Islam dan Hindu ini diadakan. Yang jelas sejak masih kecil, saya sudah sering diajak ayah untuk mendatangi undangan berbuka puasa dari saudara umat Hindu," ucap Habib Ketut.
Kuatnya persaudaraan ini, membuat penduduk di Saren Jawa yang beragama Muslim tak segan memberi nama depan anak-anaknya dengan sebutan "Putu", "Made", "Komang", atau "Ketut". Seperti umumnya nama-nama warga Bali lain. Misalnya, Komang Hasan Basri atau Made Siti Aminah.
Bahkan, kitab wariga atau buku mengenai perwatakan di Dusun Saren Jawa menggunakan huruf Arab, namun berbahasa Bali. Kitab ini dilengkapi juga dengan gambar pewayangan. Kitab ini sekarang tersimpan di rumah Habib Ketut, dan pernah mendapat perawatan dari salah seorang warga Jerman yang berkunjung, supaya tidak mengalami kerusakan.
Studi Banding Toleransi Perhatian orang asing terhadap Dusun Saren Jawa, telah terjadi sejak beberapa tahun terakhir. Dusun yang terletak sekitar 70 km dari Denpasar ini, sering menjadi tempat studi banding keberhasilan dan keharmonisan suatu toleransi antarumat beragama.
Pada 2011, perwakilan dari 40 negara datang untuk mengetahui secara langsung kehidupan penduduk Saren Jawa yang dapat hidup rukun berdampingan dengan umat agama lain.
Berikutnya, beberapa tokoh dari negara lain, yang berminat pula untuk mempelajari sejarah dusun dan sejumlah adat istiadat yang biasa dilangsungkan di Saren Jawa, termasuk adat Safaran yang merupakan tradisi berbondong-bondong datang ke tepi sungai dan warga makan ketupat bersama-sama.
Hal lain yang menarik minat peneliti asing sehingga datang ke Dusun Saren Jawa, tidak lain karena ingin mengetahui secara rinci riwayat hidup Raden Kyai Abdul Djalil.
Nama besar tokoh ini tetap terjaga sampai sekarang, terbukti makamnya masih sering menjadi tempat berziarah para pengunjung dari dalam dan luar negeri.
"Kami masih menelusuri sejak tahun berapa Raden Kyai Abdul Djalil datang ke Bali. Mengenai alasan beliau datang ke Budakeling, menurut keterangan leluhur, dikarenakan dahulu di Desa Budakeling pernah ada sapi badak berukuran sangat besar yang sedang mengamuk. Banyak penduduk menjadi korban. Akhirnya datang Raden Kyai Abdul Djalil dan berhasil mengalahkan sapi itu. Atas jasa ini, beliau pun dianugerahi wilayah yang belakangan disebut Saren Jawa," tuturnya.
Pengajaran dan keteladanan tokoh Raden Kyai Abdul Djalil untuk hidup penuh toleransi dan menganyam kebersamaan dengan umat agama lain, memang sudah lama berlalu.
Meski demikian, telah dipetuahkan semenjak ratusan tahun lalu, bahwa ajaran untuk hidup berdampingan dengan penuh sikap toleransi itu tetap lestari sampai lintas generasi.
Tri Vivi Suryani
Penulis buku dan artikel lepas, tinggal di Bali
Tags
Bali