Probolinggo, 3/9 (Benhil) - Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, mengungkapkan banyak santri di lembaga pendidikan Islam itu yang melanjutkan kuliah ke sejumlah perguruan tinggi di China.
"Dari Tahun 2010 sampai sekarang sudah ada 111 santri yang kuliah di China dan umumnya mereka mendapatkan beasiswa dari pemerintah China," kata Kepala Pesantren Nurul Jadid K.H. Abd Hamid Wahid, M.Ag. kepada Antara di Probolinggo, Minggu.
Ponpes Nurul Jadi yang berlokasi di Desa Karang Anyar, Kecamatan Paiton, Probolinggo merupakan salah satu ponpes besar di Indonesia yang kini mendidik ribuan santri dengan lembaga pendidikan yang cukup lengkap, mulai dari MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK hingga perguruan tinggi.
Kiai Hamid menjelaskan bahwa para kiai sepuh pendiri Ponpes Nurul Jadid sejak awal sudah menyadari akan pentingnya para santri mendalami berbagai bidang ilmu, tidak semata-mata hanya belajar agama.
"Pesantren ini tidak hanya mencetak ulama, tapi di semua bidang apapun, tapi jiwanya tetap santri. Karena itulah pesantren kami sangat terbuka untuk berbagai bidang ilmu, termasuk santri mau melanjutkan ke mana," katanya.
Kiai Hamid menuturkan bahwa kini sudah ada beberapa santri lulusan China yang kembali ke Indonesia dan mengabdi di berbagai bidang kehidupan, seperti menjadi guru atau berkiprah di berbagai instansi.
Pada 5 Agustus 2017 juga sudah terbentuk wadah baru, organisasi Ikatan Keluarga Alumni Tionghoa (IKAT) Nurul Jadid dengan Ketua Umum Nur Musyaffak.
Nur Musyaffak, alumnus Jurusan Pendidikan Budaya dan Bahasa Mandarin Universitas Huaiiao 2016, menjelaskan banyak hal yang diperoleh dengan belajar di negeri yang selama ini hanyak dikenal menganut paham komunis itu.
"Padahal di sana juga banyak orang Islam. Bahkan saya pernah ke Kota Xian yang justru mayoritas beragama Islam. Jadi di kota itu biasa orang laki-laki memakai songkok putih (songkok haji) dan perempuannya berkerudung," kata santri yang kini mengabdi sebagai guru di SMA Nurul Jadid itu.
Oleh karena itu, saat berada di Kota Xian, Nur Musyaffak merasa seperti di kampung halamannya di Madura dan wilayah Indonesia pada umumnya.
"Sebetulnya ketika kami lulus dari China, banyak tawaran dengan bayaran menggiurkan, tapi saya memilih kembali mengabdi di pesantren. Saya dulu ditawari menjadi penerjemah di Tangerang," katanya.
Selain pilihan bahasa, menurut Kiai Hamid maupun Nur, kini banyak pilihan jurusan eksakta, seperti teknik dan kedokteran yang menjadi pilihan santri untuk belajar di negeri Tirai Bambu itu.
"Bahkan ada juga santri yang kuliah di sana kedokteran dengan biaya sendiri, bukan beasiswa. Tapi kalau dihitung, nilainya tetap lebih murah daripada kuliah kedokteran di Indonesia," kata Nur. (Ben/An)
"Dari Tahun 2010 sampai sekarang sudah ada 111 santri yang kuliah di China dan umumnya mereka mendapatkan beasiswa dari pemerintah China," kata Kepala Pesantren Nurul Jadid K.H. Abd Hamid Wahid, M.Ag. kepada Antara di Probolinggo, Minggu.
Ponpes Nurul Jadi yang berlokasi di Desa Karang Anyar, Kecamatan Paiton, Probolinggo merupakan salah satu ponpes besar di Indonesia yang kini mendidik ribuan santri dengan lembaga pendidikan yang cukup lengkap, mulai dari MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK hingga perguruan tinggi.
Kiai Hamid menjelaskan bahwa para kiai sepuh pendiri Ponpes Nurul Jadid sejak awal sudah menyadari akan pentingnya para santri mendalami berbagai bidang ilmu, tidak semata-mata hanya belajar agama.
"Pesantren ini tidak hanya mencetak ulama, tapi di semua bidang apapun, tapi jiwanya tetap santri. Karena itulah pesantren kami sangat terbuka untuk berbagai bidang ilmu, termasuk santri mau melanjutkan ke mana," katanya.
Kiai Hamid menuturkan bahwa kini sudah ada beberapa santri lulusan China yang kembali ke Indonesia dan mengabdi di berbagai bidang kehidupan, seperti menjadi guru atau berkiprah di berbagai instansi.
Pada 5 Agustus 2017 juga sudah terbentuk wadah baru, organisasi Ikatan Keluarga Alumni Tionghoa (IKAT) Nurul Jadid dengan Ketua Umum Nur Musyaffak.
Nur Musyaffak, alumnus Jurusan Pendidikan Budaya dan Bahasa Mandarin Universitas Huaiiao 2016, menjelaskan banyak hal yang diperoleh dengan belajar di negeri yang selama ini hanyak dikenal menganut paham komunis itu.
"Padahal di sana juga banyak orang Islam. Bahkan saya pernah ke Kota Xian yang justru mayoritas beragama Islam. Jadi di kota itu biasa orang laki-laki memakai songkok putih (songkok haji) dan perempuannya berkerudung," kata santri yang kini mengabdi sebagai guru di SMA Nurul Jadid itu.
Oleh karena itu, saat berada di Kota Xian, Nur Musyaffak merasa seperti di kampung halamannya di Madura dan wilayah Indonesia pada umumnya.
"Sebetulnya ketika kami lulus dari China, banyak tawaran dengan bayaran menggiurkan, tapi saya memilih kembali mengabdi di pesantren. Saya dulu ditawari menjadi penerjemah di Tangerang," katanya.
Selain pilihan bahasa, menurut Kiai Hamid maupun Nur, kini banyak pilihan jurusan eksakta, seperti teknik dan kedokteran yang menjadi pilihan santri untuk belajar di negeri Tirai Bambu itu.
"Bahkan ada juga santri yang kuliah di sana kedokteran dengan biaya sendiri, bukan beasiswa. Tapi kalau dihitung, nilainya tetap lebih murah daripada kuliah kedokteran di Indonesia," kata Nur. (Ben/An)
Tags
Aktual