Foto Masinton Pasaribu dan Jenderal Aris Budiman
Jakarta, 07/09 (Benhil) Nama seorang perwira tinggi Polri yang selama ini praktis hanya dikenal di kalangan internal institusi keamanan itu dan juga di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tiba-tiba menjadi menasional.
Brigadir Jenderal Polisi Aris Budiman yang menjadi Direktur Penyidikan KPK tiba-tiba menjadi sorotan banyak pihak mulai dari wakil-wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat terutama Panitia Khusus tentang KPK, kemudian Polri sendiri hingga pengamat politik dan akademisi.
Sorotan terhadap Jenderal Aris tak lain karena dia baru-baru ini mendatangi komisi antirasuah untuk memberikan keterangan tentang "borok-borok" yang selama ini tak diketahui orang banyak di Tanah Air, padahal selama ini mungkin orang yakin bahwa KPK adalah sebuah lembaga "tanpa cacat".
Ternyata institusi yang paling ditakuti para koruptor di tingkat nasional, provinsi hingga kota dan kabupaten juga tak ubahnya seperti kantor-kantor pemerintahan yang lainnya karena juga ada kekurangan atau kelemahannya.
Akan tetapi, yang menjadi perhatian begitu banyak orang adalah Aris datang ke kantor DPR adalah tanpa izin atasannya di KPK dan juga Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia.
Dan hal ini secara terus terang sudah diakui oleh Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian. Pada saat Aris dipanggil para wakil rakyat, Kapolri sedang menunaikan ibadah haji.
Kapolri mengatakan Wakapolri Komisaris Jenderal Polisi Syafrudin serta Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Polisi Idham Aziz sudah melarang bawahannya itu untuk menemui Pansus Hak Angket KPK..
Bahkan Kapolri memuji-muji sang jenderal itu dengan menyebutnya " jujur cerdas, jujur, loyal ke atas ke atas, loyal ke samping dan loyal ke bawah".
Aris rupanya nekad mendatangi KPK untuk "membersihkan diri" setelah berbagai tudingan muncul terhadap dirinya terutama yang menyangkut pemeriksaan kasus dugaan korupsi program kartu tanda penduduk elektronik (KTP-e) senilai Rp.5,9 triliun yang Rp.2,3 triliun di antaranya diduga "dinikmati atau dikorupsi" oleh segelintir wakil rakyat yang sangat terhormat, beberapa oejabat Kementerian Dalam Negeri hingga pimpinan perusahan swasta dan badan usaha milik negara.
Yang disorot terhadap Aris terutama adalah karena dia menemui para anggota Pansus KPK itu tanpa izin atasan langsung saat ini di KPK dan juga instansi awalnya, Mabes Polri.
Yang juga menarik dari kasus ini adalah Aris "menuduh atau menuding" adanya penyidik KPK yang merasa sangat berkuasa atau diistilahkannya "powerful". Aris memang tidak "menunjuk hidung" siapa yang "powerful" itu tapi bisa atau patut diduga keras oleh rakyat bahwa itu adalah Novel Badedan. Novel adalah orang yang juga pernah bertugas sebagai polisi namun kini menjadi penyidik di KPK.
Namun sayangnya, Novel kini sedang dirawat di Singapura karena beberapa bulan lalu mukanya disiriam air keras pada saat baru saja melakukan Shalat Subuh pada sebuah masjid di dekat rumahnya di Jakarta. Karena menuding ada penyidik yang "powerful" maka mungkinkah Aris mersa "kurang powerful"?.
Baik atau jelekkah? Kasus sang jenderal ini pantas dijadikan sorotan karena selama ini masyarakat praktis tidak pernah mendengar adanya seorang perwira Polri ataupun juga Tentara Nasional Indonesia atau TNI yang "sebegitu nekatnya" mendatangi lembaga negara atau instansi lain untuk memberikan keterangan secara terbuka termasuk "kekurangan ataupun kelemahan" kantor lainnya sehingga akhirnya diketahui masyarakat luas.
Apalagi yang memberikan keterangan ini adalah seseorang jenderal yang disebut Kapolri sebagai "jujur dan loyal".
Selain itu, Aris juga diperiksa oleh satuan internal KPK akibat ulahnya itu, namun sampai sekarang masyarakat belum diberi tahu hasil pemeriksaan oleh Dewan Pertimbangan Pegawai atau DPP. Rekomendasi itu bisa saja menyatakan jenderal ini tidak bersalah, ataupun malahan sebaliknya bersalah dengan tingkatan ringan, sedang dan juga bisa melakukan pelanggaran berat.
Tapi karena Jenderal Aris pernah berkata "Ini pertama kali saya membantah pimpinan. Saya sudah sampaikan via surat elektronik bahwa saya akan menghadap" maka rakyat tentu sudah bisa membayangkan atau mengira-ngira rekomendasi apa yang bakal diumumkan kepada masyarakat tentang kejadian langka ini.
Yang sangat menarik dalam kasus ini adalah sang pelaku merupakan perwira tinggi yang tentu seharusnya sangat mempertimbangkan hal-hal yang harus dilakukannya atau tidak dikerjakannya berkaitan tugas utamanya sebagai jenderal.
Persoalan yang sedang dihadapi Aris ini pasti ditunggu-tunggu hasil keputusannya terutama oleh kalangan internal Polri mulai dari tamtama tingkat paling bawah seperti brigadir dua atau bripda, komisaris polisi, komisari besar hingga jenderal-jenderal lainnya. Sebagian besar anggota Polri ada pada kelompok tamtama hingga bintara yang pasti jumlahnya ratusan ribu prajurit.
Kapolri bisa-bisa saja menyatakan Jenderal Aris adalah orang yang jujur, cerdas hingga setia kepada lingkungan internalnya. Tapi pimpinan Polri juga harus sadar bahwa keputusan tentang nasib Aris sedang ditunggu-tunggu oleh jajaran lembaga keamanan ini.
Kalau sampai misalnya, sekali misalnya, dia dia dinyatakan tidak bersalah maka bukan tidak mungkin sebagian besar tamtama dan bintara polisi akan berpikir bahwa Aris dinyatakan begitu karena merupakan seorang perwira tinggi yang sedikit banyaknya mempunyai hubungan erat dengan para jenderal lainnya di kalangan Kepolisian sehingga rekan- rekannya itu merasa solider sehingga tak perlu "dihukum".
Namun kalau sampai itu yang terjadi, maka bisa saja pada benak para tamtama dan bintara Pori timbul pikiran bahwa kalau mereka yang mengalami nasib buruk seperti itu maka mereka pasti akan langsung masuk sel alias tahanan, pangkatnya diturunkan, gaji dipotong atapun tak akan dinaikkan pangkatnya serta mustahil mendapat jabatan karena begitu banyak orang muda yang siap menjadi prajurit Polri dan hingga akhirnya dipecat.
Jadi, kalau begitu bagaimana sebaiknya? Kapolri Jenderal Tito yang disertai Wakil Kapolri Komisaris Jenderal Syafrudin harus bisa menentukan secara bijaksana apakah Jenderal Aris itu bersalah atau tidak melanggar disiplin dan tata tertib internal Polri dan juga ketentuan yang berlaku di dalam KPK.
Sekalipun Aris disebut sebagai perwira yang jujur dan berkomitmen terhadap bawahan, sesama perwira maupun atasannya, dia pasti bukanlah orang atau perwira yang tanpa cacat sedikitpun , yang tak luput dari kesalahan baik sengaja maupun tak sengaja. Artikel terkait dapat dibaca pada laman berbeda dengan tajuk Brigadir Jenderal Polisi Aris Budiman Menyulitkan Diri Sendiri.
Jadi keputusan Markas Besar Polri dan juga KPK harus ditempuh dengan memperhatikan kepentingan lebih dari 252 juta jiwa orang Indonesia tanpa sedikitpun melebih-lebihkan kepentingan satu atau beberapa orang saja. (Ben/An)
Brigadir Jenderal Polisi Aris Budiman yang menjadi Direktur Penyidikan KPK tiba-tiba menjadi sorotan banyak pihak mulai dari wakil-wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat terutama Panitia Khusus tentang KPK, kemudian Polri sendiri hingga pengamat politik dan akademisi.
Sorotan terhadap Jenderal Aris tak lain karena dia baru-baru ini mendatangi komisi antirasuah untuk memberikan keterangan tentang "borok-borok" yang selama ini tak diketahui orang banyak di Tanah Air, padahal selama ini mungkin orang yakin bahwa KPK adalah sebuah lembaga "tanpa cacat".
Ternyata institusi yang paling ditakuti para koruptor di tingkat nasional, provinsi hingga kota dan kabupaten juga tak ubahnya seperti kantor-kantor pemerintahan yang lainnya karena juga ada kekurangan atau kelemahannya.
Akan tetapi, yang menjadi perhatian begitu banyak orang adalah Aris datang ke kantor DPR adalah tanpa izin atasannya di KPK dan juga Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia.
Dan hal ini secara terus terang sudah diakui oleh Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian. Pada saat Aris dipanggil para wakil rakyat, Kapolri sedang menunaikan ibadah haji.
Kapolri mengatakan Wakapolri Komisaris Jenderal Polisi Syafrudin serta Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Polisi Idham Aziz sudah melarang bawahannya itu untuk menemui Pansus Hak Angket KPK..
Bahkan Kapolri memuji-muji sang jenderal itu dengan menyebutnya " jujur cerdas, jujur, loyal ke atas ke atas, loyal ke samping dan loyal ke bawah".
Aris rupanya nekad mendatangi KPK untuk "membersihkan diri" setelah berbagai tudingan muncul terhadap dirinya terutama yang menyangkut pemeriksaan kasus dugaan korupsi program kartu tanda penduduk elektronik (KTP-e) senilai Rp.5,9 triliun yang Rp.2,3 triliun di antaranya diduga "dinikmati atau dikorupsi" oleh segelintir wakil rakyat yang sangat terhormat, beberapa oejabat Kementerian Dalam Negeri hingga pimpinan perusahan swasta dan badan usaha milik negara.
Yang disorot terhadap Aris terutama adalah karena dia menemui para anggota Pansus KPK itu tanpa izin atasan langsung saat ini di KPK dan juga instansi awalnya, Mabes Polri.
Yang juga menarik dari kasus ini adalah Aris "menuduh atau menuding" adanya penyidik KPK yang merasa sangat berkuasa atau diistilahkannya "powerful". Aris memang tidak "menunjuk hidung" siapa yang "powerful" itu tapi bisa atau patut diduga keras oleh rakyat bahwa itu adalah Novel Badedan. Novel adalah orang yang juga pernah bertugas sebagai polisi namun kini menjadi penyidik di KPK.
Namun sayangnya, Novel kini sedang dirawat di Singapura karena beberapa bulan lalu mukanya disiriam air keras pada saat baru saja melakukan Shalat Subuh pada sebuah masjid di dekat rumahnya di Jakarta. Karena menuding ada penyidik yang "powerful" maka mungkinkah Aris mersa "kurang powerful"?.
Baik atau jelekkah? Kasus sang jenderal ini pantas dijadikan sorotan karena selama ini masyarakat praktis tidak pernah mendengar adanya seorang perwira Polri ataupun juga Tentara Nasional Indonesia atau TNI yang "sebegitu nekatnya" mendatangi lembaga negara atau instansi lain untuk memberikan keterangan secara terbuka termasuk "kekurangan ataupun kelemahan" kantor lainnya sehingga akhirnya diketahui masyarakat luas.
Apalagi yang memberikan keterangan ini adalah seseorang jenderal yang disebut Kapolri sebagai "jujur dan loyal".
Selain itu, Aris juga diperiksa oleh satuan internal KPK akibat ulahnya itu, namun sampai sekarang masyarakat belum diberi tahu hasil pemeriksaan oleh Dewan Pertimbangan Pegawai atau DPP. Rekomendasi itu bisa saja menyatakan jenderal ini tidak bersalah, ataupun malahan sebaliknya bersalah dengan tingkatan ringan, sedang dan juga bisa melakukan pelanggaran berat.
Tapi karena Jenderal Aris pernah berkata "Ini pertama kali saya membantah pimpinan. Saya sudah sampaikan via surat elektronik bahwa saya akan menghadap" maka rakyat tentu sudah bisa membayangkan atau mengira-ngira rekomendasi apa yang bakal diumumkan kepada masyarakat tentang kejadian langka ini.
Yang sangat menarik dalam kasus ini adalah sang pelaku merupakan perwira tinggi yang tentu seharusnya sangat mempertimbangkan hal-hal yang harus dilakukannya atau tidak dikerjakannya berkaitan tugas utamanya sebagai jenderal.
Persoalan yang sedang dihadapi Aris ini pasti ditunggu-tunggu hasil keputusannya terutama oleh kalangan internal Polri mulai dari tamtama tingkat paling bawah seperti brigadir dua atau bripda, komisaris polisi, komisari besar hingga jenderal-jenderal lainnya. Sebagian besar anggota Polri ada pada kelompok tamtama hingga bintara yang pasti jumlahnya ratusan ribu prajurit.
Kapolri bisa-bisa saja menyatakan Jenderal Aris adalah orang yang jujur, cerdas hingga setia kepada lingkungan internalnya. Tapi pimpinan Polri juga harus sadar bahwa keputusan tentang nasib Aris sedang ditunggu-tunggu oleh jajaran lembaga keamanan ini.
Kalau sampai misalnya, sekali misalnya, dia dia dinyatakan tidak bersalah maka bukan tidak mungkin sebagian besar tamtama dan bintara polisi akan berpikir bahwa Aris dinyatakan begitu karena merupakan seorang perwira tinggi yang sedikit banyaknya mempunyai hubungan erat dengan para jenderal lainnya di kalangan Kepolisian sehingga rekan- rekannya itu merasa solider sehingga tak perlu "dihukum".
Namun kalau sampai itu yang terjadi, maka bisa saja pada benak para tamtama dan bintara Pori timbul pikiran bahwa kalau mereka yang mengalami nasib buruk seperti itu maka mereka pasti akan langsung masuk sel alias tahanan, pangkatnya diturunkan, gaji dipotong atapun tak akan dinaikkan pangkatnya serta mustahil mendapat jabatan karena begitu banyak orang muda yang siap menjadi prajurit Polri dan hingga akhirnya dipecat.
Jadi, kalau begitu bagaimana sebaiknya? Kapolri Jenderal Tito yang disertai Wakil Kapolri Komisaris Jenderal Syafrudin harus bisa menentukan secara bijaksana apakah Jenderal Aris itu bersalah atau tidak melanggar disiplin dan tata tertib internal Polri dan juga ketentuan yang berlaku di dalam KPK.
Sekalipun Aris disebut sebagai perwira yang jujur dan berkomitmen terhadap bawahan, sesama perwira maupun atasannya, dia pasti bukanlah orang atau perwira yang tanpa cacat sedikitpun , yang tak luput dari kesalahan baik sengaja maupun tak sengaja. Artikel terkait dapat dibaca pada laman berbeda dengan tajuk Brigadir Jenderal Polisi Aris Budiman Menyulitkan Diri Sendiri.
Jadi keputusan Markas Besar Polri dan juga KPK harus ditempuh dengan memperhatikan kepentingan lebih dari 252 juta jiwa orang Indonesia tanpa sedikitpun melebih-lebihkan kepentingan satu atau beberapa orang saja. (Ben/An)
Arnaz Firman
Tags
Aktual