Kabupaten Blora di Jawa Tengah yang pada 11 Desember mendatang merayakan hari jadi ke-268 memiliki potensi wisata alam, religi, budaya, dan kuliner yang menjanjikan untuk menarik wisatawan berkunjung ke daerah ini.
Potensi wisata alam yang ada di daerah ini, di antaranya Gua Terawang, Waduk Bentolo, Waduk Greneng, dan objek wisata geologi, sedangkan objek wisata budaya seperti makam dan petilasan masa lampau, kesenian Tayub dan Barong, serta kuliner wedang cemohe, sego kobong, maupun aneka sate, soto, dan opor ayam.
Potensi wisata di Kabupaten Blora merupakan gabungan antara kondisi alamnya yang berkapur serta perjalanan sejarahnya yang panjang. Sejarah Kabupaten Blora tidak lepas dari pengaruh Kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram pada abad 16 hingga pertengahan abad 18.
"Kita punya potensi yang besar. Kita sedang tata dan kita kembangkan," kata Wakil Bupati Blora, Arief Rohman, saat menerima kunjungan peserta Lokakarya Media belum lama ini.
Kabupaten Blora dengan luas wilayah administrasi 1820,59 kilometer persegi, sebagian besar daerahnya berkapur, karena posisinya yang berada di deretan Pegunungan Kendeng. Separuh wilayah kabupaten ini merupakan kawasan hutan, utamanya hutan jati.
Gua Terawang misalnya, gua ini berada di wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Blora, sekitar 35 kilometer ke arah barat dari Kota Blora atau di Desa Kedungwungu, Kecamatan Todanan. Gua ini diduga terbentuk dari endapan batu gamping yang umurnya mencapai 10 juta tahun.
Dalam gua yang mempunyai panjang alur sekitar 180 meter dengan kedalaman 5-11 meter di bawah permukaan tanah tersebut terdapat stalakmit dan stalaktit yang sangat indah.
Tidak jauh dari Gua Terawang terdapat pula Waduk Bentolo. Waduk ini tidak hanya sebagai objek wisata, tetapi juga sarana irigasi lahan pertanian. Di kawasan ini terdapat bumi perkemahan yang luas dengan nama Bumi Perkemahan Pancasona.
Sekitar 10 kilometer ke arah timur laut Kota Blora, terdapat Waduk Tempuran yang berfungsi utama sebagai irigasi serta pembinaan atlet-atlet dayung, selain juga objek wisata.
Sekitar 12 kilometer ke arah barat laut dari Kota Blora, akan dijumpai objek wisata Waduk Greneng yang berada di Dukuh Greneng, Desa Tunjungan, Kecamatan Tunjungan. Waduk ini mempunyai fungsi sebagai sarana irigasi serta budi daya air tawar.
Blora juga menawarkan wisata geologi, yakni wisata alam di bidang ilmu kebumian, khususnya yang terkait dengan tambang minyak dan gas bumi (migas). Wisata geologi berada di perbukitan dan di tengah-tengah kawasan hutan jati, di antaranya di Kecamatan Ledok.
Kabupaten Blora yang memiliki wilayah Kecamatan Cepu, selama ini dikenal dengan hasil migasnya. Kawasan Blora dan sekitarnya diyakini banyak mengandung migas, baik yang sudah dieksploitasi maupun eksplorasi. Di Kecamatan Ledok saja saat ini ada sekitar 212 sumur migas.
Bahkan, Sumur Ledok 1, konon merupakan sumur pertama di daerah itu. Sumur minyak yang dibor pada Juli 1893 itu, ditemukan insinyur Belanda yang bernama Andrian Stoop.
Tidak sekadar itu, di Blora juga telah berdiri Sekolah Tinggi Energi dan Mineral (STEM) Akamigas Cepu yang mendidik generasi penerus bangsa untuk mengelola potensi tambang di Tanah Air.
Sekolah ini mengawali perkuliahan pada 7 Februari 1967 berdasarkan Keputusan Dirjen Migas Nomor 19/DD/Migas/1966 tanggal 24 Oktober 1966. Sekolah ini di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Sejarah dan Budaya Blora juga memiliki khazanah budaya yang menarik untuk disimak karena di daerah ini kental dengan sejarah kerajaan, masa penjajahan hingga kemerdekaan.
Jika menilik sejarahnya, Blora konon berasal dari kata "Belor" yang artinya lumpur atau tanah becek. Kata itu kemudian berkembang menjadi "Beloran" atau "Mbeloran", yang juga berarti tanah berlumpur.
Kendati demikian, ada pula literatur yang menjelaskan bahwa "Blora" dari kata "Wai" dan "Lorah". "Wai" berarti air dan "Lorah" berarti tanah rendah. Pergeseran huruf W dengan huruf B dalam bahasa Jawa sehingga mengubah "Wailora" menjadi "Bailora" atau "Blora".
Jadi nama "Blora" berarti tanah rendah berair atau mendekati pengertian tanah berlumpur atau tanah becek seperti dalam kata "Belor".
Hari jadi Kabupaten Blora, berdasarkan buku Khutarama, dilandaskan pada pengukuhan Pangeran Mangkubumi selaku Sultan Ngayogyakarta pada 1 Sura Tahun Alif 1675 tahun Jawa atau tanggal 11 Desember 1749 Masehi. Bersamaan dengan itu, Wilatikta dikukuhkan menjadi Bupati Blora yang pertama dengan gelar Tumenggung Wilatikta.
Oleh karena itu, menyusuri berbagai kawasan di Kabupaten Blora mudah ditemui makam, petilasan-petilasan, ataupun jejak peninggalan tempo dulu.
Sejumlah makam yang hingga kini dikeramatkan masyarakat setempat, seperti makam Bupati Blora masa lalu di Ngadipurwo, sekitar lima kilometer ke arah utara Kota Blora, makam Sunan Pojok atau makam Surobahu Abdul Rohim, perwira dari Kerajaan Mataram di selatan Alun-Alun Kota Blora.
Selain itu, makam Jati Kusumo dan Jati Swara, keduanya putera Sultan Pajang di Desa Janjang, Kecamatan Jiken, petilasan Kadipaten Jipang, di Desa Jipang, Kecamatan Cepu, serta makam Sriakandi Aceh Poucut Meurah Intan, pahlawan dari Aceh yang diasingkan Belanda di Desa Temurejo, Kecamatan Blora.
Bahkan, pada 2006 di Dusun Sunggun, Desa Medalem, Kecamatan Kradenan, diperoleh fosil vertebrata gajah yang mencapai 90 persen. Lokasi penemuan fosil gajah yang diperkirakan sudah berusia 200 ribu tahun itu kemudian disebut Situs Sunggun.
Sementara itu, Blora yang diapit Kabupaten Rembang, Pati, Grobogan, dan Ngawi, juga memiliki Kesenian Barongan atau Tari Barong yang menggambarkan spontanitas, kekeluargaan, kesederhanaan, kasar, keras, kompak, dan keberanian yang dilandasi kebenaran.
Kesenian lainnya adalah Tayub. Tayub konon berasal dari kata "ditata biar guyub". Kesenian tari dipadu musik gamelan ini biasa ditampilkan pada upacara-upacara adat desa semisal sedekah bumi, hajatan keluarga, dan agenda-agenda adat lainnya.
Dengan mengunjungi sejumlah tempat di Blora, juga mudah menemui kampung masyarakat Samin, yakni masyarakat pengikut ajaran Samin Surosentiko atau Saminisme. Mereka menyebut dirinya Sedulur Sikep.
Samin Surosentiko lahir di Kedhiren, Randublatung, Blora pada 1859. Pada masa penjajahan, Samin beserta pengikutnya melakukan pembangkangan tidak membayar pajak, tidak bergotong royong maupun tidak ronda. Masyarakat Samin bersikap "nggendhengi", yakni sikap melawan dengan tidak melakukan kekerasan dan berpura-pura bodoh.
Ketika ke Blora, pengunjung juga bisa menikmati khazanah kuliner yang khas, seperti wedang cemohe di Togosari Raya, yakni minuman jahe dicampur susu, irisan roti tawar dan degan, sego kobong atau nasi bakar di Jalan Dr Soetomo, opor ayam Jawa di Jalan Mr Iskandar, soto ayam Blora di Jalan Pemuda, sate ayam di Jalan Gunung Sumbing, dan sate kambing di Jalan Pemuda.
Lapangan Terbang Kabupaten Blora secara geografis berada di tengah-tengah Ibu Kota Jawa Tengah di Semarang dan Ibu Kota Jawa Timur di Surabaya. Jarak Semarang-Blora sekitar 140 kilometer, sedangkan jarak Surabaya-Blora sekitar 180 kilometer.
Waktu tempuh Semarang-Blora sekitar tiga jam 20 menit, sedangkan waktu tempuh Surabaya-Blora sekitar 4,5 jam.
Meskipun kini sudah ada layanan transportasi berupa bus dan kereta api cepat untuk menjangkau kabupaten ini, Pemerintah Kabupaten Blora sedang berusaha menghidupkan kembali fasilitas lapangan terbang Ngloram di Cepu.
Lapangan terbang Ngloram yang dibangun pada 1980 dan beroperasi 1984, kini di bawah pengelolaan Kementerian ESDM. Pengelolaan lapangan terbang ini diharapkan segera dialihkan kepada Kementerian Perhubungan guna pengembangan lebih lanjut.
"Mudah-mudahan bisa segera terealisasi sehingga masyarakat maupun wisatawan yang akan berkunjung ke Blora bisa memilih berbagai sarana transportasi yang diinginkan," kata Wakil Bupati Blora, Arief Rohman.
Jajaran Dirjen Perhubungan Udara telah melakukan kajian kelayakan pengembangan lapangan terbang Ngloram menjadi bandara. Lapangan terbang Ngloram akan dikembangkan menjadi bandara umum secara bertahap dengan melakukan perpanjangan landasan pacu.
Panjang landasan pacu lapangan terbang Ngloram baru sepanjang 900 meter dengan kondisi yang rusak karena sudah lama tidak digunakan untuk penerbangan.
Untuk bisa menjadi bandara maka akan dilakukan perpanjangan bertahap hingga 2.000 meter lebih agar bisa digunakan pesawat berbadan besar.
Pemkab Blora kini terus berusaha menyinergikan potensi-potensi wisata yang dimiliki agar makin menarik wisatawan dan pada gilirannya bisa menggerakkan roda perekonomian masyarakat menuju peningkatan kesejahateraannya.
Slamet Hadi Purnomo
Potensi wisata alam yang ada di daerah ini, di antaranya Gua Terawang, Waduk Bentolo, Waduk Greneng, dan objek wisata geologi, sedangkan objek wisata budaya seperti makam dan petilasan masa lampau, kesenian Tayub dan Barong, serta kuliner wedang cemohe, sego kobong, maupun aneka sate, soto, dan opor ayam.
Potensi wisata di Kabupaten Blora merupakan gabungan antara kondisi alamnya yang berkapur serta perjalanan sejarahnya yang panjang. Sejarah Kabupaten Blora tidak lepas dari pengaruh Kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram pada abad 16 hingga pertengahan abad 18.
"Kita punya potensi yang besar. Kita sedang tata dan kita kembangkan," kata Wakil Bupati Blora, Arief Rohman, saat menerima kunjungan peserta Lokakarya Media belum lama ini.
Kabupaten Blora dengan luas wilayah administrasi 1820,59 kilometer persegi, sebagian besar daerahnya berkapur, karena posisinya yang berada di deretan Pegunungan Kendeng. Separuh wilayah kabupaten ini merupakan kawasan hutan, utamanya hutan jati.
Gua Terawang misalnya, gua ini berada di wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Blora, sekitar 35 kilometer ke arah barat dari Kota Blora atau di Desa Kedungwungu, Kecamatan Todanan. Gua ini diduga terbentuk dari endapan batu gamping yang umurnya mencapai 10 juta tahun.
Dalam gua yang mempunyai panjang alur sekitar 180 meter dengan kedalaman 5-11 meter di bawah permukaan tanah tersebut terdapat stalakmit dan stalaktit yang sangat indah.
Tidak jauh dari Gua Terawang terdapat pula Waduk Bentolo. Waduk ini tidak hanya sebagai objek wisata, tetapi juga sarana irigasi lahan pertanian. Di kawasan ini terdapat bumi perkemahan yang luas dengan nama Bumi Perkemahan Pancasona.
Sekitar 10 kilometer ke arah timur laut Kota Blora, terdapat Waduk Tempuran yang berfungsi utama sebagai irigasi serta pembinaan atlet-atlet dayung, selain juga objek wisata.
Sekitar 12 kilometer ke arah barat laut dari Kota Blora, akan dijumpai objek wisata Waduk Greneng yang berada di Dukuh Greneng, Desa Tunjungan, Kecamatan Tunjungan. Waduk ini mempunyai fungsi sebagai sarana irigasi serta budi daya air tawar.
Blora juga menawarkan wisata geologi, yakni wisata alam di bidang ilmu kebumian, khususnya yang terkait dengan tambang minyak dan gas bumi (migas). Wisata geologi berada di perbukitan dan di tengah-tengah kawasan hutan jati, di antaranya di Kecamatan Ledok.
Kabupaten Blora yang memiliki wilayah Kecamatan Cepu, selama ini dikenal dengan hasil migasnya. Kawasan Blora dan sekitarnya diyakini banyak mengandung migas, baik yang sudah dieksploitasi maupun eksplorasi. Di Kecamatan Ledok saja saat ini ada sekitar 212 sumur migas.
Bahkan, Sumur Ledok 1, konon merupakan sumur pertama di daerah itu. Sumur minyak yang dibor pada Juli 1893 itu, ditemukan insinyur Belanda yang bernama Andrian Stoop.
Tidak sekadar itu, di Blora juga telah berdiri Sekolah Tinggi Energi dan Mineral (STEM) Akamigas Cepu yang mendidik generasi penerus bangsa untuk mengelola potensi tambang di Tanah Air.
Sekolah ini mengawali perkuliahan pada 7 Februari 1967 berdasarkan Keputusan Dirjen Migas Nomor 19/DD/Migas/1966 tanggal 24 Oktober 1966. Sekolah ini di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Sejarah dan Budaya Blora juga memiliki khazanah budaya yang menarik untuk disimak karena di daerah ini kental dengan sejarah kerajaan, masa penjajahan hingga kemerdekaan.
Jika menilik sejarahnya, Blora konon berasal dari kata "Belor" yang artinya lumpur atau tanah becek. Kata itu kemudian berkembang menjadi "Beloran" atau "Mbeloran", yang juga berarti tanah berlumpur.
Kendati demikian, ada pula literatur yang menjelaskan bahwa "Blora" dari kata "Wai" dan "Lorah". "Wai" berarti air dan "Lorah" berarti tanah rendah. Pergeseran huruf W dengan huruf B dalam bahasa Jawa sehingga mengubah "Wailora" menjadi "Bailora" atau "Blora".
Jadi nama "Blora" berarti tanah rendah berair atau mendekati pengertian tanah berlumpur atau tanah becek seperti dalam kata "Belor".
Hari jadi Kabupaten Blora, berdasarkan buku Khutarama, dilandaskan pada pengukuhan Pangeran Mangkubumi selaku Sultan Ngayogyakarta pada 1 Sura Tahun Alif 1675 tahun Jawa atau tanggal 11 Desember 1749 Masehi. Bersamaan dengan itu, Wilatikta dikukuhkan menjadi Bupati Blora yang pertama dengan gelar Tumenggung Wilatikta.
Oleh karena itu, menyusuri berbagai kawasan di Kabupaten Blora mudah ditemui makam, petilasan-petilasan, ataupun jejak peninggalan tempo dulu.
Sejumlah makam yang hingga kini dikeramatkan masyarakat setempat, seperti makam Bupati Blora masa lalu di Ngadipurwo, sekitar lima kilometer ke arah utara Kota Blora, makam Sunan Pojok atau makam Surobahu Abdul Rohim, perwira dari Kerajaan Mataram di selatan Alun-Alun Kota Blora.
Selain itu, makam Jati Kusumo dan Jati Swara, keduanya putera Sultan Pajang di Desa Janjang, Kecamatan Jiken, petilasan Kadipaten Jipang, di Desa Jipang, Kecamatan Cepu, serta makam Sriakandi Aceh Poucut Meurah Intan, pahlawan dari Aceh yang diasingkan Belanda di Desa Temurejo, Kecamatan Blora.
Bahkan, pada 2006 di Dusun Sunggun, Desa Medalem, Kecamatan Kradenan, diperoleh fosil vertebrata gajah yang mencapai 90 persen. Lokasi penemuan fosil gajah yang diperkirakan sudah berusia 200 ribu tahun itu kemudian disebut Situs Sunggun.
Sementara itu, Blora yang diapit Kabupaten Rembang, Pati, Grobogan, dan Ngawi, juga memiliki Kesenian Barongan atau Tari Barong yang menggambarkan spontanitas, kekeluargaan, kesederhanaan, kasar, keras, kompak, dan keberanian yang dilandasi kebenaran.
Kesenian lainnya adalah Tayub. Tayub konon berasal dari kata "ditata biar guyub". Kesenian tari dipadu musik gamelan ini biasa ditampilkan pada upacara-upacara adat desa semisal sedekah bumi, hajatan keluarga, dan agenda-agenda adat lainnya.
Dengan mengunjungi sejumlah tempat di Blora, juga mudah menemui kampung masyarakat Samin, yakni masyarakat pengikut ajaran Samin Surosentiko atau Saminisme. Mereka menyebut dirinya Sedulur Sikep.
Samin Surosentiko lahir di Kedhiren, Randublatung, Blora pada 1859. Pada masa penjajahan, Samin beserta pengikutnya melakukan pembangkangan tidak membayar pajak, tidak bergotong royong maupun tidak ronda. Masyarakat Samin bersikap "nggendhengi", yakni sikap melawan dengan tidak melakukan kekerasan dan berpura-pura bodoh.
Ketika ke Blora, pengunjung juga bisa menikmati khazanah kuliner yang khas, seperti wedang cemohe di Togosari Raya, yakni minuman jahe dicampur susu, irisan roti tawar dan degan, sego kobong atau nasi bakar di Jalan Dr Soetomo, opor ayam Jawa di Jalan Mr Iskandar, soto ayam Blora di Jalan Pemuda, sate ayam di Jalan Gunung Sumbing, dan sate kambing di Jalan Pemuda.
Lapangan Terbang Kabupaten Blora secara geografis berada di tengah-tengah Ibu Kota Jawa Tengah di Semarang dan Ibu Kota Jawa Timur di Surabaya. Jarak Semarang-Blora sekitar 140 kilometer, sedangkan jarak Surabaya-Blora sekitar 180 kilometer.
Waktu tempuh Semarang-Blora sekitar tiga jam 20 menit, sedangkan waktu tempuh Surabaya-Blora sekitar 4,5 jam.
Meskipun kini sudah ada layanan transportasi berupa bus dan kereta api cepat untuk menjangkau kabupaten ini, Pemerintah Kabupaten Blora sedang berusaha menghidupkan kembali fasilitas lapangan terbang Ngloram di Cepu.
Lapangan terbang Ngloram yang dibangun pada 1980 dan beroperasi 1984, kini di bawah pengelolaan Kementerian ESDM. Pengelolaan lapangan terbang ini diharapkan segera dialihkan kepada Kementerian Perhubungan guna pengembangan lebih lanjut.
"Mudah-mudahan bisa segera terealisasi sehingga masyarakat maupun wisatawan yang akan berkunjung ke Blora bisa memilih berbagai sarana transportasi yang diinginkan," kata Wakil Bupati Blora, Arief Rohman.
Jajaran Dirjen Perhubungan Udara telah melakukan kajian kelayakan pengembangan lapangan terbang Ngloram menjadi bandara. Lapangan terbang Ngloram akan dikembangkan menjadi bandara umum secara bertahap dengan melakukan perpanjangan landasan pacu.
Panjang landasan pacu lapangan terbang Ngloram baru sepanjang 900 meter dengan kondisi yang rusak karena sudah lama tidak digunakan untuk penerbangan.
Untuk bisa menjadi bandara maka akan dilakukan perpanjangan bertahap hingga 2.000 meter lebih agar bisa digunakan pesawat berbadan besar.
Pemkab Blora kini terus berusaha menyinergikan potensi-potensi wisata yang dimiliki agar makin menarik wisatawan dan pada gilirannya bisa menggerakkan roda perekonomian masyarakat menuju peningkatan kesejahateraannya.
Slamet Hadi Purnomo
Tags
Wisata