Jakarta, 14/9 (Benhil) - Indonesia adalah negeri agraris dan banyak penduduknya yang bekerja sebagai petani, tetapi mereka tergolong miskin di negeri yang dikenal dengan sebutan "gemah ripah loh jinawi" ini.
Sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2017 jumlah penduduk miskinnya, yakni penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan mencapai 27,77 juta orang atau 10,64 persen dari total penduduk sekitar 261 juta jiwa.
Dari jumlah penduduk miskin itu, sebanyak 17,10 juta jiwa tinggal di perdesaan dan 10,67 juta jiwa menetap di perkotaan. Ironisnya, peranan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan nonmakanan seperti biaya perumahan, listrik, bensin, pendidikan, angkutan, kesehatan, dan sebagainya.
Kepala BPS Suhariyanto saat menyampaikan data BPS itu pada 17 Juli lalu menyebutkan bahwa kontribusi beras ke kemiskinan sebesar 26 persen. Kemiskinan ini paling banyak di perdesaan dan lebih dari 50 persen mereka bekerja sebagai petani.
Lihat pula sensus pertanian yang berlangsung secara periodik tiap 10 tahun sekali. Sensus pertanian terakhir tahun 2013. Sensus terakhir itu menunjukkan penurunan pada sektor rumah tangga dibandingkan sensus pertanian tahun 2003.
Jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu rumah tangga petani gurem (rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan yang menguasai lahan kurang dari 0,50 hektare) dan rumah tangga bukan petani gurem (menguasai lahan 0,50 hektare atau lebih). Hasil sensus menunjukkan jumlah rumah tangga pengguna lahan di Indonesia pada tahun 2013 sebanyak 25.751.267 rumah tangga, dengan jumlah rumah tangga petani gurem sebanyak 14.248.864 rumah tangga.
Pada tahun 2003, terdapat 31,2 juta rumah tangga petani yang menggarap lahan untuk pertanian, sedangkan pada tahun 2013 terdapat 26,1 juta rumah tangga saja. Artinya jumlah rumah tangga petani mengalami penurunan sebanyak 5,1 juta atau sebesar 16,3 persen. Dalam kurun waktu 10 tahun tersebut sudah terjadi penurunan yang sangat besar. Saat ini tamapaknya kian terjadi penurunan jumlah petani.
Jumlah rumah tangga usaha tanaman padi di Indonesia sebanyak 14.147.942 rumah tangga atau mengalami penurunan sebanyak 58.413 rumah tangga dibandingkan tahun 2003. Sedangkan perusahaan pertanian berbadan hukum di Indonesia yang melakukan pengelolaan tanaman padi ada sebanyak 106 perusahaan, mengalami kenaikan sebanyak 37 perusahaan (53,62 persen) dibandingkan tahun 2003.
Dalam jumlah usaha pertanian subsektor tanaman pangan, misalnya, hasil pencacahan lengkap Sensus Pertanian 2013 diperoleh jumlah rumah tangga usaha pertanian subsektor tanaman pangan di Indonesia sebesar 17.728.185 rumah tangga, turun sebanyak 979.867 rumah tangga dibandingkan tahun 2003. Namun jumlah perusahaan pertanian berbadan hukum di subsektor pertanian tanaman pangan sebesar 112 perusahaan, naik 25 perusahaan dibandingkan tahun 2003, dan usaha lainnya pada subsektor pertanian tanaman pangan sebesar 1.328 usaha.
Hasil pencacahan lengkap sensus pertanian 2013 diperoleh jumlah rumah tangga usaha pertanian subsektor hortikultura di Indonesia sebesar 10.602.147 rumah tangga. Dibandingkan tahun 2003 jumlah tersebut mengalami penurunan sebanyak 6.335.470 rumah tangga, perusahaan pertanian berbadan hukum di subsektor pertanian tanaman pangan sebesar 191 perusahaan, turun 34 perusahaan dibandingkan tahun 2003, dan usaha pertanian lainnya pada subsektor pertanian hortikultura sebesar 1.464 unit.
Jumlah rumah tangga usaha pertanian subsektor perkebunan di Indonesia sebesar 12.770.090 rumah tangga. Dibandingkan tahun 2003 jumlah tersebut mengalami penurunan sebanyak 1.358.449 rumah tangga, perusahaan pertanian berbadan hukum di subsektor perkebunan sebesar 2.216 perusahaan, dibandingkan tahun 2003 mengalami kenaikan sebanyak 354 perusahaan, dan usaha pertanian lainnya pada subsektor perkebunan sebesar 1.461 usaha.
Jumlah usaha pertanian di subsektor peternakan sebanyak 12.969.210 usaha rumah tangga, 629 usaha dikelola perusahaan pertanian berbadan hukum, dan 2.247 usaha dikelola usaha pertanian lainnya. Dibandingkan tahun 2003, jumlah usaha peternakan yang dikelola rumah tangga turunan 5.626.614 rumah tangga dan usaha yang dikelola perusahaan berbadan hukum mengalami kenaikan sebanyak 154 perusahaan.
Jumlah usaha pertanian di subsektor perikanan sebanyak 1.975.233 usaha dikelola rumah tangga, mengalami penurunan sebanyak 514.448 rumah tangga dibandingkana tahun 2003. Selain itu sebanyak 394 usaha dikelola perusahaan pertanian berbadan hukum, turun 237 perusahaan dibanding tahun 2003, sedangkan 989 usaha dikelola usaha pertanian lainnya.
Jumlah usaha pertanian di subsektor kehutanan 6.782.885 dikelola rumah tangga, 678 usaha berbadan hukum, dan 968 usaha dikelola usaha pertanian lainnya. Dibandingkan 2003, jumlah usaha kehutanan yang dikelola rumah tangga i penurunan sebanyak 45 052 rumah tangga dan usaha yang dikelola perusahaan berbadan hukum mengalami penurunan sebanyak 52 perusahaan.
Jumlah rumah tangga usaha tanaman palawija sebanyak 8.624.243 rumah tangga, turun sebanyak 2.317.676 rumah tangga dibandingkan tahun 2003. Jumlah perusahaan pertanian berbadan hukum yang melakukan pengelolaan tanaman palawija ada sebanyak enam perusahaan, turun sebanyak 12 perusahaan dibandingkan tahun 2003.
Korporasi petani Dari data fakta dan angka tersebut, kualitas hidup dan tingkat kesejahteraan petani masih mengalami nasib yang kurang beruntung di negeri agraris ini.
Mau tak mau, membangun sektor pertanian yang kuat dan tangguh guna mewujudkan masa depan petani dan buruh tani yang lebih baik merupakan sebuah keharusan.
Untuk itu saat berbicara pada dies natalis ke-54 Institut Pertanian Bogor pekan lalu dan saat rapat kabinet terbatas pada Selasa (12/9), Presiden Joko Widodo mendengungkan kembali istilah korporasi petani untuk mengubah pola kerja petani agar lebih modern.
Korporasi petani adalah membuat kelompok besar petani agar mereka berpikir dengan manajemen modern, berpikir dengan aplikasi-aplikasi modern, berpikir dengan cara-cara pengolahan industri yang modern dan sekaligus memasarkannya ke industri retail, memasarkannya ke konsumen dengan cara-cara "online store", toko 'online', memasarkannya ke retail-retail dengan sebuah manajemen yang baik.
Kemudian petani memiliki industri pengolahan sendiri, setelah memiliki industri benih, memiliki aplikasi produksi, memiliki penggilingan modern, memiliki kemasan juga yang juga langsung berada di satu lokasi, kemasan yang modern, pengemasan yang modern petani juga mestinya memiliki industri pengolahan pascapanen.
Contohnya adalah industri pengolahan yang mengubah beras menjadi tepung. Proses-proses bisnis, proses-proses agrobisnis seperti ini yang sebetulnya memberikan nilai tambah yang besar. Dengan cara itu akan dapat lebih memberikan keuntungan bagi petani.
Apa yang disampaikan Jokowi itu pada intinya adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan para petani tersebut adalah dengan mendekatkan para petani dengan produk akhirnya.
Selama ini, petani tidak memiliki kuasa atas produk turunan panen mereka, seperti beras. Hal ini tidak lain karena penguasaan terhadap alat-alat produksi mereka yang hanya berupa lahan yang terbatas. Penguasaan terhadap alat produksi yang dapat mengubah gabah menjadi beras atau produk turunan lainnya jarang sekali dimiliki oleh para petani.
Alat-alat produksi tersebut, seperti alat penggiling gabah, areal pengeringan, hingga gudang penyimpanan.
Di sinilah peran kementerian dan lembaga untuk dapat mendorong kelompok-kelompok tani di subsektor pangan memiliki alat-alat produksi tersebut secara bersama, entah dalam bentuk organisasi koperasi atau gabungan kelompok tani. Upaya korporasi petani memang memerlukan pelembagaan para petani.
Jika para petani tersebut dapat menaikkan nilai tambah produk mereka, otomatis akan terjadi kenaikan kesejahteraan rumah tangga para petani.
Pembangunan infrastruktur jaringan informasi juga dapat digunakan kelembagaana para petani ini yang telah mampu meningkatkan nilai produk mereka, menjual secara langsung ke pasaran, ataupun pedagang besar dengan harga yang bersaing tentunya.
Peran penyuluh pertanian sebagai ujung tombak juga sangatlah penting. Selain membantu para petani dalam meningkatkan produktivitas, mereka juga sebagai pengawas produksi panen secara "realtime".
Nilai tukar petani (NTP) juga harus diberdayakan, untuk mengatasi berbagai kendala yang terjadi dalam arus distribusi produk. Paling tidak ada enam pihak yang terlibat dalam distribusi beras dari petani hingga konsumen seperti keberadaan tengkulak, penggilingan, bulog, pedagang besar, pedagang, dan pengecer. Rantai distribusi memengaruhi harga beras berdasarkan biaya produksi, perolehan input, dan persaingan di antara distributor. Hubungan ini dapat terjadi horizontal maupun vertikal. Tengkulak bahkan dapat berperan sebagai pemilik penggilingan serta pedagang beras besar, tergantung pada kekuatan modal mereka.
Dari arus distribusi itu, belum berpihak kepada petani. Petani menghadapi para tengkulak saja banyak yang tak berdaya, sehingga istilah "kuperasi petani" untuk menjual harga produknya serendah mungkin masih terjadi.
Alhasil korporasi petani merupakan langkah besar untuk mengubah cara dan metode pertanian yang berujung pada peningkatan kesejahteraan petani agar mereka lebih "berdaulat" untuk hidup di negeri agraris ini. Saatnya petani berada dalam langkah besar itu. (Ben/An)
Sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2017 jumlah penduduk miskinnya, yakni penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan mencapai 27,77 juta orang atau 10,64 persen dari total penduduk sekitar 261 juta jiwa.
Dari jumlah penduduk miskin itu, sebanyak 17,10 juta jiwa tinggal di perdesaan dan 10,67 juta jiwa menetap di perkotaan. Ironisnya, peranan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan nonmakanan seperti biaya perumahan, listrik, bensin, pendidikan, angkutan, kesehatan, dan sebagainya.
Kepala BPS Suhariyanto saat menyampaikan data BPS itu pada 17 Juli lalu menyebutkan bahwa kontribusi beras ke kemiskinan sebesar 26 persen. Kemiskinan ini paling banyak di perdesaan dan lebih dari 50 persen mereka bekerja sebagai petani.
Lihat pula sensus pertanian yang berlangsung secara periodik tiap 10 tahun sekali. Sensus pertanian terakhir tahun 2013. Sensus terakhir itu menunjukkan penurunan pada sektor rumah tangga dibandingkan sensus pertanian tahun 2003.
Jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu rumah tangga petani gurem (rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan yang menguasai lahan kurang dari 0,50 hektare) dan rumah tangga bukan petani gurem (menguasai lahan 0,50 hektare atau lebih). Hasil sensus menunjukkan jumlah rumah tangga pengguna lahan di Indonesia pada tahun 2013 sebanyak 25.751.267 rumah tangga, dengan jumlah rumah tangga petani gurem sebanyak 14.248.864 rumah tangga.
Pada tahun 2003, terdapat 31,2 juta rumah tangga petani yang menggarap lahan untuk pertanian, sedangkan pada tahun 2013 terdapat 26,1 juta rumah tangga saja. Artinya jumlah rumah tangga petani mengalami penurunan sebanyak 5,1 juta atau sebesar 16,3 persen. Dalam kurun waktu 10 tahun tersebut sudah terjadi penurunan yang sangat besar. Saat ini tamapaknya kian terjadi penurunan jumlah petani.
Jumlah rumah tangga usaha tanaman padi di Indonesia sebanyak 14.147.942 rumah tangga atau mengalami penurunan sebanyak 58.413 rumah tangga dibandingkan tahun 2003. Sedangkan perusahaan pertanian berbadan hukum di Indonesia yang melakukan pengelolaan tanaman padi ada sebanyak 106 perusahaan, mengalami kenaikan sebanyak 37 perusahaan (53,62 persen) dibandingkan tahun 2003.
Dalam jumlah usaha pertanian subsektor tanaman pangan, misalnya, hasil pencacahan lengkap Sensus Pertanian 2013 diperoleh jumlah rumah tangga usaha pertanian subsektor tanaman pangan di Indonesia sebesar 17.728.185 rumah tangga, turun sebanyak 979.867 rumah tangga dibandingkan tahun 2003. Namun jumlah perusahaan pertanian berbadan hukum di subsektor pertanian tanaman pangan sebesar 112 perusahaan, naik 25 perusahaan dibandingkan tahun 2003, dan usaha lainnya pada subsektor pertanian tanaman pangan sebesar 1.328 usaha.
Hasil pencacahan lengkap sensus pertanian 2013 diperoleh jumlah rumah tangga usaha pertanian subsektor hortikultura di Indonesia sebesar 10.602.147 rumah tangga. Dibandingkan tahun 2003 jumlah tersebut mengalami penurunan sebanyak 6.335.470 rumah tangga, perusahaan pertanian berbadan hukum di subsektor pertanian tanaman pangan sebesar 191 perusahaan, turun 34 perusahaan dibandingkan tahun 2003, dan usaha pertanian lainnya pada subsektor pertanian hortikultura sebesar 1.464 unit.
Jumlah rumah tangga usaha pertanian subsektor perkebunan di Indonesia sebesar 12.770.090 rumah tangga. Dibandingkan tahun 2003 jumlah tersebut mengalami penurunan sebanyak 1.358.449 rumah tangga, perusahaan pertanian berbadan hukum di subsektor perkebunan sebesar 2.216 perusahaan, dibandingkan tahun 2003 mengalami kenaikan sebanyak 354 perusahaan, dan usaha pertanian lainnya pada subsektor perkebunan sebesar 1.461 usaha.
Jumlah usaha pertanian di subsektor peternakan sebanyak 12.969.210 usaha rumah tangga, 629 usaha dikelola perusahaan pertanian berbadan hukum, dan 2.247 usaha dikelola usaha pertanian lainnya. Dibandingkan tahun 2003, jumlah usaha peternakan yang dikelola rumah tangga turunan 5.626.614 rumah tangga dan usaha yang dikelola perusahaan berbadan hukum mengalami kenaikan sebanyak 154 perusahaan.
Jumlah usaha pertanian di subsektor perikanan sebanyak 1.975.233 usaha dikelola rumah tangga, mengalami penurunan sebanyak 514.448 rumah tangga dibandingkana tahun 2003. Selain itu sebanyak 394 usaha dikelola perusahaan pertanian berbadan hukum, turun 237 perusahaan dibanding tahun 2003, sedangkan 989 usaha dikelola usaha pertanian lainnya.
Jumlah usaha pertanian di subsektor kehutanan 6.782.885 dikelola rumah tangga, 678 usaha berbadan hukum, dan 968 usaha dikelola usaha pertanian lainnya. Dibandingkan 2003, jumlah usaha kehutanan yang dikelola rumah tangga i penurunan sebanyak 45 052 rumah tangga dan usaha yang dikelola perusahaan berbadan hukum mengalami penurunan sebanyak 52 perusahaan.
Jumlah rumah tangga usaha tanaman palawija sebanyak 8.624.243 rumah tangga, turun sebanyak 2.317.676 rumah tangga dibandingkan tahun 2003. Jumlah perusahaan pertanian berbadan hukum yang melakukan pengelolaan tanaman palawija ada sebanyak enam perusahaan, turun sebanyak 12 perusahaan dibandingkan tahun 2003.
Korporasi petani Dari data fakta dan angka tersebut, kualitas hidup dan tingkat kesejahteraan petani masih mengalami nasib yang kurang beruntung di negeri agraris ini.
Mau tak mau, membangun sektor pertanian yang kuat dan tangguh guna mewujudkan masa depan petani dan buruh tani yang lebih baik merupakan sebuah keharusan.
Untuk itu saat berbicara pada dies natalis ke-54 Institut Pertanian Bogor pekan lalu dan saat rapat kabinet terbatas pada Selasa (12/9), Presiden Joko Widodo mendengungkan kembali istilah korporasi petani untuk mengubah pola kerja petani agar lebih modern.
Korporasi petani adalah membuat kelompok besar petani agar mereka berpikir dengan manajemen modern, berpikir dengan aplikasi-aplikasi modern, berpikir dengan cara-cara pengolahan industri yang modern dan sekaligus memasarkannya ke industri retail, memasarkannya ke konsumen dengan cara-cara "online store", toko 'online', memasarkannya ke retail-retail dengan sebuah manajemen yang baik.
Kemudian petani memiliki industri pengolahan sendiri, setelah memiliki industri benih, memiliki aplikasi produksi, memiliki penggilingan modern, memiliki kemasan juga yang juga langsung berada di satu lokasi, kemasan yang modern, pengemasan yang modern petani juga mestinya memiliki industri pengolahan pascapanen.
Contohnya adalah industri pengolahan yang mengubah beras menjadi tepung. Proses-proses bisnis, proses-proses agrobisnis seperti ini yang sebetulnya memberikan nilai tambah yang besar. Dengan cara itu akan dapat lebih memberikan keuntungan bagi petani.
Apa yang disampaikan Jokowi itu pada intinya adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan para petani tersebut adalah dengan mendekatkan para petani dengan produk akhirnya.
Selama ini, petani tidak memiliki kuasa atas produk turunan panen mereka, seperti beras. Hal ini tidak lain karena penguasaan terhadap alat-alat produksi mereka yang hanya berupa lahan yang terbatas. Penguasaan terhadap alat produksi yang dapat mengubah gabah menjadi beras atau produk turunan lainnya jarang sekali dimiliki oleh para petani.
Alat-alat produksi tersebut, seperti alat penggiling gabah, areal pengeringan, hingga gudang penyimpanan.
Di sinilah peran kementerian dan lembaga untuk dapat mendorong kelompok-kelompok tani di subsektor pangan memiliki alat-alat produksi tersebut secara bersama, entah dalam bentuk organisasi koperasi atau gabungan kelompok tani. Upaya korporasi petani memang memerlukan pelembagaan para petani.
Jika para petani tersebut dapat menaikkan nilai tambah produk mereka, otomatis akan terjadi kenaikan kesejahteraan rumah tangga para petani.
Pembangunan infrastruktur jaringan informasi juga dapat digunakan kelembagaana para petani ini yang telah mampu meningkatkan nilai produk mereka, menjual secara langsung ke pasaran, ataupun pedagang besar dengan harga yang bersaing tentunya.
Peran penyuluh pertanian sebagai ujung tombak juga sangatlah penting. Selain membantu para petani dalam meningkatkan produktivitas, mereka juga sebagai pengawas produksi panen secara "realtime".
Nilai tukar petani (NTP) juga harus diberdayakan, untuk mengatasi berbagai kendala yang terjadi dalam arus distribusi produk. Paling tidak ada enam pihak yang terlibat dalam distribusi beras dari petani hingga konsumen seperti keberadaan tengkulak, penggilingan, bulog, pedagang besar, pedagang, dan pengecer. Rantai distribusi memengaruhi harga beras berdasarkan biaya produksi, perolehan input, dan persaingan di antara distributor. Hubungan ini dapat terjadi horizontal maupun vertikal. Tengkulak bahkan dapat berperan sebagai pemilik penggilingan serta pedagang beras besar, tergantung pada kekuatan modal mereka.
Dari arus distribusi itu, belum berpihak kepada petani. Petani menghadapi para tengkulak saja banyak yang tak berdaya, sehingga istilah "kuperasi petani" untuk menjual harga produknya serendah mungkin masih terjadi.
Alhasil korporasi petani merupakan langkah besar untuk mengubah cara dan metode pertanian yang berujung pada peningkatan kesejahteraan petani agar mereka lebih "berdaulat" untuk hidup di negeri agraris ini. Saatnya petani berada dalam langkah besar itu. (Ben/An)
Budi Setiawanto
Tags
Sosial Politik