Setya Novanto tahanan KPK sebagai tersangka korupsi KTP elektronik. |
Ketua DPR RI Setya Novanto tidak pernah mengaku mengetahui langsung pembahasan anggaran KTP elektronik di DPR, apalagi menerima uang dari proyek itu, lantas mengapa dia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, bahkan sampai dua kali? Rekam jejak KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang belum pernah kalah di pengadilan hingga tingkat akhir menunjukkan KPK punya bukti yang kuat untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka, selanjutnya menjadi terdakwa di pengadilan. Bukti-bukti itu lantas diuji di pengadilan.
KPK pun kerap berucap bahwa pengakuan tersangka atau terdakwa bukan menjadi landasan KPK untuk membangun konstruksi kasus yang diusutnya.
Bukti-bukti kenapa Setnov jadi tersangka e-KTP membuat KPK yakin untuk menetapkan Setnov selaku anggota DPR RI periode 2009 sampai dengan 2014 bersama-sama dengan Direktur PT Quadra Solutions Anang Sugiana Sudihardjono, pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irman selaku Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri dan Sugiharto selaku Pejabat Pembuat Komitment (PPK) Dirjen Dukcapil Kemendagri dan kawan-kawan diduga melakukan perbuatan korupsi sehingga diduga kerugian keuangan negara Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun pada tahun 2011 s.d 2012.
Sejumlah saksi pernah mengonfirmasi kedekatan Setnov dengan pengusaha Andi Narogong yang dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) KPK adalah orang yang membentuk tim Fatmawati sebagai kelompok yang mempersiapkan pengerjaan e-KTP.
Mantan ketua Komisi II dari fraksi Partai Golkar Chaeruman Harahap pada sidang 11 September 2017 menjelaskan soal perkenalan awalnya dengan Andi Narogong di ruangan di DPR dengan diperkenalkan oleh Ketua Fraksi Partai Golkar saat itu Setya Novanto.
"Pertama di ruang rapat fraksi (Golkar), biasa kami lagi makan-makan, itu pertemuan pertama, dia dikenalkan Pak Setya Novanto," kata Chaeruman.
Pertemuan kedua, Andi Narogong datang ke kantor Chaeruman dan pertemuan ketiga juga dilakukan di gedung DPR.
"Andi agustinus orang dekat Setnov?" tanya ketua majelis hakim Jhon Halasan Butarbutar.
"Andi Agustinus katanya orangnya Setnov, kata orang-orang, itu juga hanya isu yang saya dengar seperti itu, saya tidak tahu lagi siapa yang menyebutkannya," jawab Chaeruman.
JPU juga mengungkapkan isi surat elektronik (e-mail) yang membicarakan soal proyek e-KTP- dalam sidang 25 September 2017.
Surel ditujukan kepada Mayus Bangun, Agus Eko, PT Quadra, Suwandi, Irvanto Hendra, yang menjelaskaan sesudah lelang secara resmi diumumkan pun kerja sama antara PNRI dan Astra Graphia tetap berjalan walaupun seharusnya mereka berdua saling bersaing dalam kompetisi yang sehat, kompetisi diganti komisi, itulah kenyataannya. Inilah tender arisan berskala besar, megakolusi, dan megakorupsi. Konsorsium Murakabi walaupun nantinya kalah terlihat menyandang nama Setya Novanto, Bendahara Golkar yang terdeteksi lewat iparnya Irvanto Hendra. Sampai di manakah peranan orang kuat Setya Novanto ini? Surel tertanggal 10 Februari dan 7 Maret 2011 yang disita dari PT Quadra Solution. PT Quadra adalah anggota dari Konsorsium PNRI yang merupakan pemenang tender KTP-el, konsorsium itu terdiri atas Perum PNRI, PT LEN Industri di Jakarta Selatan, PT Quadra Solution, PT Sucofindo, dan PT Sandipala Artha Putra.
Lebih lanjut, dalam sidang pada tanggal 3 November 2017, nama istri Setnov, yaitu Deisti Astriani Tagor dan anaknya, yaitu Reza Herwindo diketahui pernah memiliki saham 80 persen pada tahun 2008 di PT Mondialindo Graha Perdana, pemegang saham mayoritas dari PT Murakabi Sejahtera, salah satu perusahaan peserta proyek e-KTP.
Selanjutnya pada tahun 2011, anak Setnov lainnya, yaitu Dwina Michaela menjadi komisaris di PT Murakabi pada tahun 2011. Kantor PT Murakabi yang terletak di Gedung Imperium Lantai 27 masih diatasanamakan Setnov sejak 1997 sampai 2014.
Mantan Direktur Utama PT Mondialindo Graha Perdana dan PT Murakabi Sejahtera Deniarto Suhartono mengonfirmasi kepemilikan istri dan anak Setya Novanto dalam dua perusahaan itu.
"Pada bulan Juni 2008 ada perubahan kepemilikan jadi 50 persen dipegang Deisti, saya dikasih (saham) 10 persen, sisanya ada berapa orang karena semua kepengurusan diatur sama Heru Taher, saya tidak begitu hapal," kata Deniarto dalam sidang pada tanggal 6 November.
Di dalam BAP, Deniarto menjelaskan bahwa dirinya tidak mengetahui siapa sebenarnya pemiliki PT Mondialindo Graha Perdana dan PT Murakabi Sejahtera, tetapi Deniarto berhubungan dengan Heru Taher yang dia tahu dekat dengan Setya Novanto.
Setelah Heru Taher meninggal, atasan Deniarto berganti menjadi Cypurs Antonia Tatali yang setahu dia juga dekat dengan Setya Novanto. Selain itu, Mondialindo dan Murakabi Sejahtera juga pernah dimiliki oleh keluarga Setya Novanto, yaitu Deisti Astriani Tagor, Reza Herwindo, Dwina Michaela, dan Irvanto Hendra Pambudi yang merupakan keponakan Setya Novanto pernah jadi pengurus perusahaan.
Di PT Mondialindo yang berlokasi di Gedung Imperium Jalan H.R. Rasuna Said Lantai 27 juga pernah ada Setyo Lelono, yaitu kakak Setya Novanto yang juga suka datang ke situ.
Dalam sidang pada tanggal 13 November 2017, bahkan terungkap rekaman pembicaraan milik Direktur Biomorf Lone LLC Johannes Marliem mengungkapkan jatah untuk Setya Novanto dalam proyek KTP elektronik.
Menurut Sugiharto yang saat itu menjadi saksi, antara Anang, Andi Narogong, dan Johaness Marliem, perhitungan untuk pembiayaan e-KTP belum jelas.
"Pembicaraan ini untuk Andi, Andi itu untuk bosnya Andi, jumlahnya belum pasti yang yang jelas kalau bisa Rp100 miliar," ungkap Sugiharto.
Namun, Sugiharto saat itu meminta agar jatah untuk bos Andi hanya Rp60 miliar.
"Saya tidak tahu (jatah Setya Novanto) jadi atau tidak," tambah Sugiharto.
Anang juga mengatakan bahwa Johannes Marliem menyatakan ada dana tidak terduga untuk e-KTP sebesar Rp100 miliar.
"Johannes Marliem pernah bicara dia itu ada dana tidak terduga untuk KTP-el Rp100 miliar, tetapi pada dasarnya saya dan Johannes Marliem ada utang piutang. Akan tetapi, dia kalau ketemu saya tidak berani nagih," kata Anang.
Menurut Anang, hubungannya dengan Johannes Marliem adalah terkait dengan utang piutang, yaitu Johanes Marliem pernah memberikan dana tidak terduga untuk KTP-el sebesar Rp100 miliar.
Akan tetapi kunci aliran dana berada pada bukti dan keterangan pengusaha Made Oka Masagung yang merupakan kawan lama Setnov di Kosgoro (Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong).
"Saya kenal Pak Made Oka Masagung saat terlibat di Kosgoro beberapa puluh tahun lalu. Akan tetapi, setelah itu lama tidak bertemu. Kosgoro beli saham perusahaannya, lalu saya ditunjuk Kosgoro jadi salah satu direktur karena Pak Oka keluar negeri, jadi saya masuk," kata Setnov.
Made Oka Masagung adalah Delta Energy Investment Company, satu perusahaan investasi yang berdiri di Singapura.
Oka Masagung dalam sidang 10 November 2017 mengakui bahwa ada uang masuk dari Anang Sugiana Sudiharsa sebesar dua juta dolar sebagai pembayaran pembelian saham perusahaan Neuraltus Pharmaceuticals. Uang itu ditransfer ke perusahaan Oka yang ada di Singapura pada tanggal 10 Desember 2012.
Akan tetapi, bukannya untuk pembelian saham, sehari setelahnya pada tanggal 11 Desember 2012, Oka mentrasfer ke Muda Ikhsan Harahap sebesar 315.000 dolar AS. Muda pun membenarkan hal itu. Muda Ikhsan dalam dakwaan Andi Narogong dipakai rekeningnya oleh Andi untuk menerima fee yang berasal dari PT Biomorf Lone Indonesia dan Bimorf Mauritius sebagai suplier peralatan aplikasi e-KTP sebesar 1.499.241 dolar AS.
"Saya ingatnya terima uang dari perusahaan yang namanya ada energinya. Akan tetapi saya tidak tahu itu Pak Oka, saya cuma ingat namanya ada Agung-agungnya," kata Muda.
Perusahan yang dimaksud Ikhsan Muda adalah Delta Energy, perusahaan milik Oka di Singapura. Muda mengaku dia hanya mengikuti perintah Ivanto yang mengatakan ada teman Irvanto yang ingin melakukan transfer ke rekeningnya dan Irvanto akan mengambil di Singapura. Namun, karena Irvanto tidak jadi, Muda pun membawakan uang itu.
Muda lalu memberikan nomor rekeningnya di bank DBS, mengambil uang yang masuk dalam jumlah besar dan menyerahkan ke Irvanto di rumahnya.
"Saya beri tahu Irvanto, ini dari mana banyak banget? Katanya dari Masagung. Lalu saya serahkan ke Irvanto di rumahnya," kata Muda.
Menurut Muda, saat itu Irvanto Hendra Pambudi Cahyo marah dan meminta uang cepat dikirimkan kepadanya. Irvan bahkan meminta agar uang tersebut dikirim langsung oleh Muda, tanpa melalui transfer bank.
Uang yang ditarik secara bertahap sebesar 70.000 AS, dalam cek 1.000.000 dolar dan 400.000 dolar AS. Pada tanggal 11 Desember 2012 juga ada yang ditransfer ke rekening anak Oka Masagung bernama Indra Rahardja sebesar 15.000 dolar AS.
Namun, Oka menyangkal bahwa uang dari Anang itu dikirimkan ke Muda Ikhsan.
"Uangnya untuk investasi saya, diputar lagi. Sampai saat ini, saya juga baru kenal Pak Muda dan saya juga belum me-'recall' (mengingat lagi), baru tahu kalau detik ini Pak Irvanto yang kasih rekening, saya tidak pernah kirim uang," kata Oka KPK juga masih menemukan uang dari perusahaan Tortola di British Virgin Island masuk ke rekening Oka Masagung pada tahun 2012 sebesar 1,055 juta dolar AS, lalu uang tu ditarik sebanyak empat kali. Namun, Oka mengaku tidak ingat transaksi tersebut.
"Perusahaan minyak apa? Saya tidak ingat. Saya lupa. Saya lagi pelajari semua ini. Jadi, banyak yang saya belum tahu karena saya belum pelajari semua. Saya juga minta tolong, saya betul-betul belum ingat. Kalau di statement itu ada, tetapi saya tidak 'recall'," ungkap Oka.
Oka pun mengaku tidak tahu kapan uang itu masuk ke rekeningnya meski dari bukti transaksi dia dengan aktif melakukan pengambilan uang dan mendapat "statement" bank uang.
"Makanya, uang untuk A, B, dan C ini saya akan cari tahu ke mana? Pasti ada orang yang minta," tambah Oka.
"'Kan jadi pertanyaan ini pelaksana proyek Kartu Tanda Penduduk Elektronik tidak punya bisnis e-KTP tetapi mengirim uang kepada Bapak dari uang Pak Anang yang dikirim kepada Bapak, lalu dikirim kepada Muda Ikhsan, siapa yang menyuruh? Ini uang negara, loh, Pak," tanya jaksa penuntut umum KPK.
"Ini akan saya cari tahu juga, sesegera mungkin," jawab Oka Masagung.
Bantahan Setnov sejak awal membantah dirinya terlibat dalam kasus ini, apalagi menerima keuntungan.
"Ini fitnah yang sangat kejam dari pihak-pihak yang berusaha untuk menyudutkan saya. Kami selalu berusaha karena ini menyangkut nama baik saya dan membawa soal politik, menyudutkan saya, termasuk praperadilan jadi salah satu usaha meski saya tahu beberapa pihak yang berusaha membawa nama saya," kata Setnov dalam sidang pada tanggal 3 November 2017.
Setnov juga membantah mengenal Direktur PT Sandipala Arthaputra Paulus Tannos, Direktur PT Biomorf Lone LLC Jonenes Marliem yang keduanya disebut dalam dakwaan ikut membuat produk e-KTP.
Dalam dakwaan Andi Narogong disebutkan bahwa pada bulan Februari 2010 di Hotel Gran Melia terjadi antara Andi, Dirjen Dukcapil Irman, Direktur PIAK (Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan) Kemendagri Sugiharto, dan Sekjen Kemendagri Diah Angraeni dan Setnov. Dalam pertemuan itu, Setnov menyatakan dukungannya dalam pembahsan anggaran proyek e-KTP.
Sebagai tindak lanjutnya, Andi mengajak Irman menemui Setya Novanto di ruang kerja Setnov di Lantai 12 Gedung DPR RI dan Setnov berjanji untuk mengoordinasikannya. Selanjunya, pada bulan September s.d. Oktober 2011 di rumah Senov, Jalan Wijaya Kebayoran, Andi bersama Direktur Quadra Solutions Anang S. Sudihardjo dan Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tannos bertemu Setnov. Setya Novanto menginstruksikan agar proyek e-KTP dilanjutkan.
Setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat RI menyetujui anggaran e-KTP dengan rencana besar pada tahun 2010 senilai Rp5,9 triliun yang pembahasannya akan dikawal Fraksi Partai Demokrat dan Partai Golongan Karya dengan kompensasi Andi memberikan fee kepada anggota DPR, termasuk Setnov dan Andi Agustinus yang mendapat sebesar 11 persen atau sejumlah Rp574,2 miliar serta sejumlah pejabat Kemendagri.
Akhirnya, selain pertanyaan awal yang menjadi judul tulisan Kenapa Setnov Jadi Tersangka Korupsi e-KTP, mungkin pertanyaan lain yang tepat diajukan adalah ke mana aliran uang yang diduga diterima Setya Novanto? (Ben/An)
Menurut Sugiharto yang saat itu menjadi saksi, antara Anang, Andi Narogong, dan Johaness Marliem, perhitungan untuk pembiayaan e-KTP belum jelas.
"Pembicaraan ini untuk Andi, Andi itu untuk bosnya Andi, jumlahnya belum pasti yang yang jelas kalau bisa Rp100 miliar," ungkap Sugiharto.
Namun, Sugiharto saat itu meminta agar jatah untuk bos Andi hanya Rp60 miliar.
"Saya tidak tahu (jatah Setya Novanto) jadi atau tidak," tambah Sugiharto.
Anang juga mengatakan bahwa Johannes Marliem menyatakan ada dana tidak terduga untuk e-KTP sebesar Rp100 miliar.
"Johannes Marliem pernah bicara dia itu ada dana tidak terduga untuk KTP-el Rp100 miliar, tetapi pada dasarnya saya dan Johannes Marliem ada utang piutang. Akan tetapi, dia kalau ketemu saya tidak berani nagih," kata Anang.
Menurut Anang, hubungannya dengan Johannes Marliem adalah terkait dengan utang piutang, yaitu Johanes Marliem pernah memberikan dana tidak terduga untuk KTP-el sebesar Rp100 miliar.
Akan tetapi kunci aliran dana berada pada bukti dan keterangan pengusaha Made Oka Masagung yang merupakan kawan lama Setnov di Kosgoro (Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong).
"Saya kenal Pak Made Oka Masagung saat terlibat di Kosgoro beberapa puluh tahun lalu. Akan tetapi, setelah itu lama tidak bertemu. Kosgoro beli saham perusahaannya, lalu saya ditunjuk Kosgoro jadi salah satu direktur karena Pak Oka keluar negeri, jadi saya masuk," kata Setnov.
Made Oka Masagung adalah Delta Energy Investment Company, satu perusahaan investasi yang berdiri di Singapura.
Oka Masagung dalam sidang 10 November 2017 mengakui bahwa ada uang masuk dari Anang Sugiana Sudiharsa sebesar dua juta dolar sebagai pembayaran pembelian saham perusahaan Neuraltus Pharmaceuticals. Uang itu ditransfer ke perusahaan Oka yang ada di Singapura pada tanggal 10 Desember 2012.
Akan tetapi, bukannya untuk pembelian saham, sehari setelahnya pada tanggal 11 Desember 2012, Oka mentrasfer ke Muda Ikhsan Harahap sebesar 315.000 dolar AS. Muda pun membenarkan hal itu. Muda Ikhsan dalam dakwaan Andi Narogong dipakai rekeningnya oleh Andi untuk menerima fee yang berasal dari PT Biomorf Lone Indonesia dan Bimorf Mauritius sebagai suplier peralatan aplikasi e-KTP sebesar 1.499.241 dolar AS.
"Saya ingatnya terima uang dari perusahaan yang namanya ada energinya. Akan tetapi saya tidak tahu itu Pak Oka, saya cuma ingat namanya ada Agung-agungnya," kata Muda.
Perusahan yang dimaksud Ikhsan Muda adalah Delta Energy, perusahaan milik Oka di Singapura. Muda mengaku dia hanya mengikuti perintah Ivanto yang mengatakan ada teman Irvanto yang ingin melakukan transfer ke rekeningnya dan Irvanto akan mengambil di Singapura. Namun, karena Irvanto tidak jadi, Muda pun membawakan uang itu.
Muda lalu memberikan nomor rekeningnya di bank DBS, mengambil uang yang masuk dalam jumlah besar dan menyerahkan ke Irvanto di rumahnya.
"Saya beri tahu Irvanto, ini dari mana banyak banget? Katanya dari Masagung. Lalu saya serahkan ke Irvanto di rumahnya," kata Muda.
Menurut Muda, saat itu Irvanto Hendra Pambudi Cahyo marah dan meminta uang cepat dikirimkan kepadanya. Irvan bahkan meminta agar uang tersebut dikirim langsung oleh Muda, tanpa melalui transfer bank.
Uang yang ditarik secara bertahap sebesar 70.000 AS, dalam cek 1.000.000 dolar dan 400.000 dolar AS. Pada tanggal 11 Desember 2012 juga ada yang ditransfer ke rekening anak Oka Masagung bernama Indra Rahardja sebesar 15.000 dolar AS.
Namun, Oka menyangkal bahwa uang dari Anang itu dikirimkan ke Muda Ikhsan.
"Uangnya untuk investasi saya, diputar lagi. Sampai saat ini, saya juga baru kenal Pak Muda dan saya juga belum me-'recall' (mengingat lagi), baru tahu kalau detik ini Pak Irvanto yang kasih rekening, saya tidak pernah kirim uang," kata Oka KPK juga masih menemukan uang dari perusahaan Tortola di British Virgin Island masuk ke rekening Oka Masagung pada tahun 2012 sebesar 1,055 juta dolar AS, lalu uang tu ditarik sebanyak empat kali. Namun, Oka mengaku tidak ingat transaksi tersebut.
"Perusahaan minyak apa? Saya tidak ingat. Saya lupa. Saya lagi pelajari semua ini. Jadi, banyak yang saya belum tahu karena saya belum pelajari semua. Saya juga minta tolong, saya betul-betul belum ingat. Kalau di statement itu ada, tetapi saya tidak 'recall'," ungkap Oka.
Oka pun mengaku tidak tahu kapan uang itu masuk ke rekeningnya meski dari bukti transaksi dia dengan aktif melakukan pengambilan uang dan mendapat "statement" bank uang.
"Makanya, uang untuk A, B, dan C ini saya akan cari tahu ke mana? Pasti ada orang yang minta," tambah Oka.
"'Kan jadi pertanyaan ini pelaksana proyek Kartu Tanda Penduduk Elektronik tidak punya bisnis e-KTP tetapi mengirim uang kepada Bapak dari uang Pak Anang yang dikirim kepada Bapak, lalu dikirim kepada Muda Ikhsan, siapa yang menyuruh? Ini uang negara, loh, Pak," tanya jaksa penuntut umum KPK.
"Ini akan saya cari tahu juga, sesegera mungkin," jawab Oka Masagung.
Bantahan Setnov sejak awal membantah dirinya terlibat dalam kasus ini, apalagi menerima keuntungan.
"Ini fitnah yang sangat kejam dari pihak-pihak yang berusaha untuk menyudutkan saya. Kami selalu berusaha karena ini menyangkut nama baik saya dan membawa soal politik, menyudutkan saya, termasuk praperadilan jadi salah satu usaha meski saya tahu beberapa pihak yang berusaha membawa nama saya," kata Setnov dalam sidang pada tanggal 3 November 2017.
Setnov juga membantah mengenal Direktur PT Sandipala Arthaputra Paulus Tannos, Direktur PT Biomorf Lone LLC Jonenes Marliem yang keduanya disebut dalam dakwaan ikut membuat produk e-KTP.
Dalam dakwaan Andi Narogong disebutkan bahwa pada bulan Februari 2010 di Hotel Gran Melia terjadi antara Andi, Dirjen Dukcapil Irman, Direktur PIAK (Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan) Kemendagri Sugiharto, dan Sekjen Kemendagri Diah Angraeni dan Setnov. Dalam pertemuan itu, Setnov menyatakan dukungannya dalam pembahsan anggaran proyek e-KTP.
Sebagai tindak lanjutnya, Andi mengajak Irman menemui Setya Novanto di ruang kerja Setnov di Lantai 12 Gedung DPR RI dan Setnov berjanji untuk mengoordinasikannya. Selanjunya, pada bulan September s.d. Oktober 2011 di rumah Senov, Jalan Wijaya Kebayoran, Andi bersama Direktur Quadra Solutions Anang S. Sudihardjo dan Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tannos bertemu Setnov. Setya Novanto menginstruksikan agar proyek e-KTP dilanjutkan.
Setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat RI menyetujui anggaran e-KTP dengan rencana besar pada tahun 2010 senilai Rp5,9 triliun yang pembahasannya akan dikawal Fraksi Partai Demokrat dan Partai Golongan Karya dengan kompensasi Andi memberikan fee kepada anggota DPR, termasuk Setnov dan Andi Agustinus yang mendapat sebesar 11 persen atau sejumlah Rp574,2 miliar serta sejumlah pejabat Kemendagri.
Akhirnya, selain pertanyaan awal yang menjadi judul tulisan Kenapa Setnov Jadi Tersangka Korupsi e-KTP, mungkin pertanyaan lain yang tepat diajukan adalah ke mana aliran uang yang diduga diterima Setya Novanto? (Ben/An)
Desca Lidya Natalia
Video Setya Novanto dibawa ke gedung KPK untuk diperiksa dan ditahan.
Tags
Hukum