Denpasar, 15/10 (Antara) - Sejak 22 September 2017 hingga kini, Gunung Agung setinggi 3.142 mdpl masih berdiri kokoh, kendati gunung tertinggi di Bali itu sudah berminggu-minggu menyandang status Awas.
Namun, status Gunung Agung kali ini berada dalam era yang jauh berbeda dengan tahun 1963 saat meletus yang terakhir, yakni era digital yang memungkinkan terjadinya "letusan" sebelum waktunya.
Bahkan, seorang rekan menyebut dunia digital bisa merancang "run-down" (rincian waktu dari detik ke detik) meletusnya gunung api itu, tentu teman itu hanya berkelakar, karena erupsi itu tidak mungkin dijadwalkan.
Meski kelakar, fakta yang ada memang menunjukkan media sosial begitu sangat mudahnya menyajikan informasi tanpa verifikasi dan disebarkan secara estafet dengan istilah "copas dari tetangga sebelah".
Sesungguhnya, informasi yang menyebar di dunia digital tidak layak untuk dipercaya sama sekali bila tanpa verifikasi atau sumber referensi yang jelas, kecuali sebatas curhat, motivasi, guyon, dan non-informasi lainnya.
Jangankan informasi berupa tulisan, gambar pun dalam dunia teknologi digital bisa merupakan tempelen dari beberapa gambar, bahkan video pun bisa merupakan video yang dikutip dari lokasi lain yang dibuat seolah-olah "up-date" untuk wilayah kita dengan sedikit manipulasi.
Tidak hanya itu, suara dalam dunia digital pun bisa direkayasa dengan dubbing, bahkan tanda tangan resmi sekalipun tidak layak dipercaya kalau ada di dunia digital, karena bisa direkayasa dengan cara "scan", mungkin maksudnya untuk meyakinkan, padahal menipu.
Dalam dunia digital, rekayasa dan manipulasi itu tujuannya adalah viral (berantai) untuk rival (pesaing) dengan tujuan ekonomi atau kegiatan bisnis, sosial politik, maupun penetrasi budaya.
Manipulasi atau rekayasa itu sudah dialami Gunung Agung saat terjadi peningkatan gejolak vulkanik Gunung Agung di Karangasem, Bali, dari status Waspada menjadi Siaga (18/9/2017).
Saat itu, pada saat yang bersamaan terjadi kebakaran lahan pada lereng gunung tertinggi di Pulau Dewata itu, sehingga foto kebakaran itu pada malam hari akan terlihat seperti lava pijar.
Nah, foto "lava pijar" (palsu) itu pun di-share ke medsos seolah-olah Gunung Agung meletus! Padahal, cuma "letusan" medsos. Kepala Data dan Informasi BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, mencatat adanya tiga "hotspot" kebakaran hutan dan lahan di sekitar Kubu, Kabupaten Karangasem.
Padahal, foto itu bukan rekayasa, tapi momentumnya saja yang di-pelintir (manipulasi). Kendati demikian, rekayasa foto dan video untuk Gunung Agung juga ada.
Rekayasa yang dimaksud itu dialami Gunung Agung pada 24 September 2017 atau selang dua sehari perubahan status dari Siaga ke Awas. Rekayasa itu menampilkan video tentang gunung lain yang memuntahkan lahar, tapi diberi judul "Gunung Agung Meletus".
Akhirnya, foto dan video rekayasa itu viral, padahal pengirimnya bisa meneguk keuntungan yang cukup menggiurkan dari viralisasi itu hingga belasan juta dalam sehari. Keuntungan dari "hits" yang memicu kepanikan.
Skenario evakuasi Informasi dari media sosial yang tidak objektif itu disesalkan Sekretaris Daerah Kabupaten Badung, Bali, I Wayan Adi Arnawa, karena dampaknya bisa merugikan masyarakat di Pulau Dewata dengan potensi wisata yang mendunia itu.
"Anak saya dan teman-temannya di Inggris pun bertanya, padahal Gunung Agung itu belum apa-apa. Itu bisa merugikan masyarakat dan daerah kita yang memiliki potensi pariwisata itu," katanya saat menerima audiensi pimpinan dan staf LKBN Antara Biro Bali di kantornya (9/10).
Oleh karena itu, ia berharap masyarakat untuk memercayai media massa (termasuk, media daring/online) daripada media sosial yang tanpa verifikasi. Namun, ia juga berharap kepada pers untuk tidak membesar-besarkan status Awas di Gunung Agung yang dapat memantik kepanikan masyarakat.
Ya, gunung meletus memang tidak mungkin dicegah, tetapi antisipasi sudah dilakukan aparat pemerintah dan masyarakat setempat dengan maksimal untuk mengurangi jumlah korban jiwa maupun harta benda, karena itu pihak yang rentan seperti orang tua, lansia, jompo, orang sakit, ibu akan melahirkan, balita, dan orang dengan gangguan jiwa pun sudah diungsikan.
Tidak hanya itu, upaya mengevakuasi ribuan warga dari 28 desa di Kabupaten Karangasem yang diperkirakan terdampak di zona merah juga telah dilakukan, termasuk mendirikan penampungan pengungsi, memenuhi kebutuhan harian dan logistik lainnya menjadi upaya prioritas.
Selain itu, pihak-pihak terkait di Bali juga sudah menyiapkan tempat penitipan motor, mobil, uang, hingga penitipan hewan ternak yang nantinya dijaga oleh polisi maupun TNI supaya tidak ada pencurian.
Bahkan, penanganan wisatawan di titik kumpul masing-masing hotel termasuk di bandara dan pelabuhan juga telah ditentukan dalam kondisi darurat bila erupsi terjadi.
Skenario evakuasi mengantarkan wisatawan yang beralih menggunakan jalur darat apabila bandara ditutup juga telah disusun dengan menyiagakan 700 bus bekerja sama dengan Kementerian Perhubungan dan Organda Bali.
Sementara itu, pemerintah pusat juga menyiapkan 10 bandara alternatif yakni bandara di Jakarta, Makassar, Surabaya, Balikpapan, Solo, Ambon, Manado, Lombok Praya, Kupang, dan Banyuwangi.
Imbauan serupa juga datang dari Gubernur Bali Made Mangku Pastika. Bahkan ia meminta para awak media agar tidak memberitakan secara berlebihan mengenai hal-hal terkait peningkatan status vulkanik Gunung Agung karena dinilai akan berdampak buruk dan mendorong keresahan warga.
Ia meminta peranserta awak media agar tidak memberitakan secara lebay atau berlebihan.
"Ya, itu yang saya harapkan terus-terang saja. Ini kan kita sudah siap semua. Boleh lihat kesiapan kita seperti apa ya. Saya yakin semua akan bisa kita atasi sebaik-baiknya," katanya.
Secara khusus, Pastika meminta pegiat media sosial harus pintar dan bijak dalam memanfaatkan kemajuan teknologi.
"Ya, kepada pengguna medsos (media sosial) juga saya minta tanggung jawabnya ini. Masak ingin menyusahkan orang yang sudah susah. Dosanya besar sekali," ucapnya.
Langkah proaktif juga ditempuh Gubernur Bali Made Mangku Pastika dengan melakukan komunikasi intensif dengan pelaku pariwisata di Bali, termasuk perwakilan negara asing di Pulau Dewata, apalagi Bali masih memiliki ratusan objek wisata yang jauh dari gunungapi itu, sehingga dampak terhadap objek wisata hanya sepersekian.
"Saya tidak terlalu khawatir dengan status awas Gunung Agung," kata seorang wisatawan dari Jerman, Thomas Picht, yang datang ke Karangasem untuk menikmati dan mengabadikan pemandangan hijau perbukitan Gunung Agung dengan kamera dari telepon selulernya. (Ben/An)
Namun, status Gunung Agung kali ini berada dalam era yang jauh berbeda dengan tahun 1963 saat meletus yang terakhir, yakni era digital yang memungkinkan terjadinya "letusan" sebelum waktunya.
Bahkan, seorang rekan menyebut dunia digital bisa merancang "run-down" (rincian waktu dari detik ke detik) meletusnya gunung api itu, tentu teman itu hanya berkelakar, karena erupsi itu tidak mungkin dijadwalkan.
Meski kelakar, fakta yang ada memang menunjukkan media sosial begitu sangat mudahnya menyajikan informasi tanpa verifikasi dan disebarkan secara estafet dengan istilah "copas dari tetangga sebelah".
Sesungguhnya, informasi yang menyebar di dunia digital tidak layak untuk dipercaya sama sekali bila tanpa verifikasi atau sumber referensi yang jelas, kecuali sebatas curhat, motivasi, guyon, dan non-informasi lainnya.
Jangankan informasi berupa tulisan, gambar pun dalam dunia teknologi digital bisa merupakan tempelen dari beberapa gambar, bahkan video pun bisa merupakan video yang dikutip dari lokasi lain yang dibuat seolah-olah "up-date" untuk wilayah kita dengan sedikit manipulasi.
Tidak hanya itu, suara dalam dunia digital pun bisa direkayasa dengan dubbing, bahkan tanda tangan resmi sekalipun tidak layak dipercaya kalau ada di dunia digital, karena bisa direkayasa dengan cara "scan", mungkin maksudnya untuk meyakinkan, padahal menipu.
Dalam dunia digital, rekayasa dan manipulasi itu tujuannya adalah viral (berantai) untuk rival (pesaing) dengan tujuan ekonomi atau kegiatan bisnis, sosial politik, maupun penetrasi budaya.
Manipulasi atau rekayasa itu sudah dialami Gunung Agung saat terjadi peningkatan gejolak vulkanik Gunung Agung di Karangasem, Bali, dari status Waspada menjadi Siaga (18/9/2017).
Saat itu, pada saat yang bersamaan terjadi kebakaran lahan pada lereng gunung tertinggi di Pulau Dewata itu, sehingga foto kebakaran itu pada malam hari akan terlihat seperti lava pijar.
Nah, foto "lava pijar" (palsu) itu pun di-share ke medsos seolah-olah Gunung Agung meletus! Padahal, cuma "letusan" medsos. Kepala Data dan Informasi BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, mencatat adanya tiga "hotspot" kebakaran hutan dan lahan di sekitar Kubu, Kabupaten Karangasem.
Padahal, foto itu bukan rekayasa, tapi momentumnya saja yang di-pelintir (manipulasi). Kendati demikian, rekayasa foto dan video untuk Gunung Agung juga ada.
Rekayasa yang dimaksud itu dialami Gunung Agung pada 24 September 2017 atau selang dua sehari perubahan status dari Siaga ke Awas. Rekayasa itu menampilkan video tentang gunung lain yang memuntahkan lahar, tapi diberi judul "Gunung Agung Meletus".
Akhirnya, foto dan video rekayasa itu viral, padahal pengirimnya bisa meneguk keuntungan yang cukup menggiurkan dari viralisasi itu hingga belasan juta dalam sehari. Keuntungan dari "hits" yang memicu kepanikan.
Skenario evakuasi Informasi dari media sosial yang tidak objektif itu disesalkan Sekretaris Daerah Kabupaten Badung, Bali, I Wayan Adi Arnawa, karena dampaknya bisa merugikan masyarakat di Pulau Dewata dengan potensi wisata yang mendunia itu.
"Anak saya dan teman-temannya di Inggris pun bertanya, padahal Gunung Agung itu belum apa-apa. Itu bisa merugikan masyarakat dan daerah kita yang memiliki potensi pariwisata itu," katanya saat menerima audiensi pimpinan dan staf LKBN Antara Biro Bali di kantornya (9/10).
Oleh karena itu, ia berharap masyarakat untuk memercayai media massa (termasuk, media daring/online) daripada media sosial yang tanpa verifikasi. Namun, ia juga berharap kepada pers untuk tidak membesar-besarkan status Awas di Gunung Agung yang dapat memantik kepanikan masyarakat.
Ya, gunung meletus memang tidak mungkin dicegah, tetapi antisipasi sudah dilakukan aparat pemerintah dan masyarakat setempat dengan maksimal untuk mengurangi jumlah korban jiwa maupun harta benda, karena itu pihak yang rentan seperti orang tua, lansia, jompo, orang sakit, ibu akan melahirkan, balita, dan orang dengan gangguan jiwa pun sudah diungsikan.
Tidak hanya itu, upaya mengevakuasi ribuan warga dari 28 desa di Kabupaten Karangasem yang diperkirakan terdampak di zona merah juga telah dilakukan, termasuk mendirikan penampungan pengungsi, memenuhi kebutuhan harian dan logistik lainnya menjadi upaya prioritas.
Selain itu, pihak-pihak terkait di Bali juga sudah menyiapkan tempat penitipan motor, mobil, uang, hingga penitipan hewan ternak yang nantinya dijaga oleh polisi maupun TNI supaya tidak ada pencurian.
Bahkan, penanganan wisatawan di titik kumpul masing-masing hotel termasuk di bandara dan pelabuhan juga telah ditentukan dalam kondisi darurat bila erupsi terjadi.
Skenario evakuasi mengantarkan wisatawan yang beralih menggunakan jalur darat apabila bandara ditutup juga telah disusun dengan menyiagakan 700 bus bekerja sama dengan Kementerian Perhubungan dan Organda Bali.
Sementara itu, pemerintah pusat juga menyiapkan 10 bandara alternatif yakni bandara di Jakarta, Makassar, Surabaya, Balikpapan, Solo, Ambon, Manado, Lombok Praya, Kupang, dan Banyuwangi.
Imbauan serupa juga datang dari Gubernur Bali Made Mangku Pastika. Bahkan ia meminta para awak media agar tidak memberitakan secara berlebihan mengenai hal-hal terkait peningkatan status vulkanik Gunung Agung karena dinilai akan berdampak buruk dan mendorong keresahan warga.
Ia meminta peranserta awak media agar tidak memberitakan secara lebay atau berlebihan.
"Ya, itu yang saya harapkan terus-terang saja. Ini kan kita sudah siap semua. Boleh lihat kesiapan kita seperti apa ya. Saya yakin semua akan bisa kita atasi sebaik-baiknya," katanya.
Secara khusus, Pastika meminta pegiat media sosial harus pintar dan bijak dalam memanfaatkan kemajuan teknologi.
"Ya, kepada pengguna medsos (media sosial) juga saya minta tanggung jawabnya ini. Masak ingin menyusahkan orang yang sudah susah. Dosanya besar sekali," ucapnya.
Langkah proaktif juga ditempuh Gubernur Bali Made Mangku Pastika dengan melakukan komunikasi intensif dengan pelaku pariwisata di Bali, termasuk perwakilan negara asing di Pulau Dewata, apalagi Bali masih memiliki ratusan objek wisata yang jauh dari gunungapi itu, sehingga dampak terhadap objek wisata hanya sepersekian.
"Saya tidak terlalu khawatir dengan status awas Gunung Agung," kata seorang wisatawan dari Jerman, Thomas Picht, yang datang ke Karangasem untuk menikmati dan mengabadikan pemandangan hijau perbukitan Gunung Agung dengan kamera dari telepon selulernya. (Ben/An)
Tags
Bali