Jakarta 4/09 (Benhil) Rohingya adalah sebuah kelompok etnis Arakan dari Rakhine (atau Rohang dalam bahasa Rohingya) di Myanmar. Rohingya adalah etno-linguistik yang berhubungan dengan bahasa tersendiri, bahasa Rohingya (Ruáingga) adalah sebuah bahasa yang diucapkan etnis Rohingya di Arakan di Myanmar, bahasa ini adalah turunan dari bahasa Chittagonia yang digunakan di kawasan Chittagong di Bangladesh, sehingga mereka berbeda dengan mayoritas rakyat Myanmar (Burma yang Sino-Tibet).
SEJARAH ROHINGYA DI MYANMAR
Sejarah mencatat, komunitas Muslim telah mendiami wilayah Arakan nama kuno Rakhine sejak masa pemerintahan seorang raja Buddhis bernama Narameikhla atau Min Saw Mun (1430–1434) di kerajaan Mrauk U. Kembali dari pengasingan selama 24 tahun di kesultanan Bengal, Narameikhla naik tahta di Arakan (saat ini Rakhine), dan dengan bantuan dari Sultan Bengal saat itu. Kemudian ia membawa serta orang-orang Bengali untuk tinggal di Arakan dan membantu menghidupkan pemerintahannya, merekalah cikal bakal suku Rohingya di Myanmar saat ini.
Kerajaan Mrauk U berstatus sebagai kerajaan bawahan dari kesultanan Bengal sehingga Raja Narameikhla menggunakan gelar dalam bahasa Arab termasuk dalam nama-nama pejabat istananya dan memakai koin Bengali yang bertuliskan aksara Arab Persia.
KONFLIK PERTAMA
Kerukunan dan keharmonisan ini tidak berlangsung lama. Pada tahun 1785 kerajaan Burma dari selatan menyerbu dan menguasai Arakan, mereka mengusir dan mengeksekusi orang-orang Muslim Arakan. Pada tahun 1799 sebanyak 35.000 orang Arakan mengungsi ke wilayah Chittagong di Bengal yang saat itu dikuasai Inggris untuk mencari perlindungan.
Para pengungsi pertama Arakan tersebut menyebut diri mereka sebagai Rooinga (orang asli Arakan), yang kemudian dieja menjadi Rohingya saat ini.
Dilain pihak, pemerintah kerajaan Burma saat itu juga memindahkan sejumlah besar penduduk Arakan ke daerah Burma tengah sehingga membuat populasi suku Rohingya wilayah Arakan sangat sedikit ketika Inggris menguasainya.
Pada tahun 1826 wilayah Arakan diduduki oleh pemerintah kolonial Inggris setelah perang Inggris-Burma I (1824-1826). Pemerintah Inggris menerapkan kebijakan memindahkan orang-orang Rohingya yang sebelumnya mengungsi dan orang-orang Bengali asli dari Chittagong, ke wilayah Arakan karena pada saat itu Inggris menguasai India, Bangladesh, serta juga Burma (saat ini bernama Myanmar). Seiring waktu jumlah populasi para pendatang lebih banyak daripada penduduk asli sehingga tak jarang menimbulkan ketegangan etnis.
KONFLIK KEDUA
Pada tahun 1939 konflik di Arakan memuncak sehingga pemerintah Inggris membentuk komisi khusus yang menyelidiki masalah imigrasi di Arakan, namun sebelum komisi tersebut dapat merealisasikan hasil kerjanya, Inggris harus angkat kaki dari Arakan pada akhir Perang Dunia II. Pada masa Perang Dunia II Jepang menyerang Burma dan mengusir Inggris dari Arakan yang kemudian dikenal sebagai Rakhine. Pada masa kekosongan kekuasaan saat itu, kekerasan antara kedua kelompok suku Rakhine yang beragama Buddha dan suku Rohingya yang beragama Islam semakin meningkat, ditambah lagi, orang-orang Rohingya dipersenjatai oleh Inggris guna membantu mereka mempertahankan wilayah Arakan dari pendudukan Jepang. Hal ini akhirnya diketahui oleh pemerintah Jepang yang kemudian melakukan penyiksaan, pembunuhan dan pemerkosaan terhadap orang-orang Rohingya.
Pada tahun 1940-an orang-orang Rohingya berusaha menjalin kerjasama dengan Pakistan di bawah Mohammad Ali Jinnah untuk membebaskan wilayahnya dari Burma, tetapi ditolak oleh pemimpin Pakistan tersebut karena tidak mau mencampuri urusan internal negeri Burma. Pada tahun 1947 orang-orang Rohingya membentuk Partai Mujahid yang merupakan kelompok jihad untuk mendirikan negara Muslim yang merdeka di Arakan utara. Mereka menggunakan istilah Rohingya sebagai identitas politik mereka dan menyatakan diri sebagai penduduk asli Arakan. Setelah Burma merdeka pada tahun 1948 dan orang-orang Rohingya semakin gencar melancarkan gerakan perlawanan untuk memisahkan diri dari Burma.
Setelah kudeta tahun 1962 dimana Jenderal Ne Win dan mengambil alih pemerintahan Myanmar. Ia melakukan tekanan lewat operasi militer yang dilancarkan pada tahun 1978, operasi tersebut terkenal dengan nama "Operasi Raja Naga" menyebabkan lebih dari 200.000 orang Rohingya mengungsi ke Bangladesh akibat kekerasan, pembunuhan dan pemerkosaan besar-besaran.
Lewat mediasi PBB atas protes pemerintah Bangladesh, akhirnya pemerintah Myanmar menyetujui untuk menerima para imigran Rohingya untuk kembali ke Rakhine.
KONFLIK KETIGA
Tahun 1982 pemerintah Bangladesh menyatakan bahwa Rohingya bukan warga negara Bangladesh lewat amandemen kependudukan Bangladesh, disamping itu sejak tahun 1990 sampai saat ini, pemerintah junta militer Myanmar menerapkan politik diskriminasi terhadap suku-suku Rohingya.
Suku Rohingya sejak saat itu mengalami kekerasan dan diskriminasi oleh pemerintah seperti bekerja tanpa gaji dalam proyek-proyek pemerintah, dan pelanggaran HAM lainnya. Ditahun 2012 pecahlah kerusuhan rasial antara suku Rakhine dan Rohingya yang dipicu oleh pemerkosaan dan pembunuhan seorang gadis Rakhine oleh para pemuda Rohingya yang disusul pembunuhan sepuluh orang pemuda Muslim dalam sebuah bus oleh orang-orang Rakhine.
Menurut laporan pemerintah Myanmar, kekerasan tersebut telah menyebabkan, 78 orang tewas, 87 orang luka-luka, dan lebih dari 140.000 orang terlantar dari kedua belah pihak baik suku Rakhine maupun Rohingya.
Pemerintah menerapkan jam malam dan keadaan darurat yang memungkinkan pihak militer bertindak di Rakhine.
Pada tahun 2014 pemerintah Myanmar melarang penggunaan istilah Rohingya dan mendaftarkan orang-orang Rohingya sebagai orang Bengali dalam sensus penduduk saat itu, kemudian pada bulan Maret 2015 yang lalu pemerintah Myanmar mencabut kartu identitas penduduk bagi orang-orang Rohingya yang menyebabkan mereka kehilangan kewarganegaraannya dan tidak mendapatkan hak-hak politiknya, hal ini menyebabkan orang-orang Rohingya akhirnya menempuh perjalanan sulit untuk mengungsi ke Indonesia, Malaysia serta Thailand.
SOLUSI TERBAIK ATASI KONFLIK
Kalau melihat sejarah keberadaan orang-orang Rohingya di Rakhine, serta berbagai konflik etnik antara Suku Rohingya etnis Bengal dengan Suku Rakhine selama lebih dari 3 abad, maka tidak bisa kita dikatagorikan sebagai konflik agama, antara Islam yang berseteru dengan Buddhis, konflik selama ini terjadi adalah konflik etnis, dimana penyelesaiannya harus menggunakan pendekatan budaya, dengan pengembalian hak-hak sipil etnis Rohingya, seperti memulihkan kewarganegaraan mereka (Suku Rohingya) sebagai warga negara Myanmar.
Selanjutnya peran anggota Asean, dalam hal ini Indonesia, Malaysia serta Thailand harus terus ditingkatkan lebih serius lagi, bila perlu mendorong diberlakukannya embargo ekonomi Asean kepada Myanmar, agar Junta militer dan Aung San Suu Kyi tidak main-main dalam menyelesaikan konflik etnis tersebut. Karena apabila konflik antara Suku Rohingya dengan Suku Rakhine terus berlangsung, maka bisa saja melebar menjadi arena perang baru dikawasan Asean yang damai. Artikel terkait dengan tulisan ini: Indonesia Diminta Berperan Aktif Selesaikan Krisis Rohingya
Awas isu ini mau di pakai kelompok radikal untuk gali jurang pemisa antar agama dan anti etnis China, mari kita cegah agar tdk terjadi konflik horizontal yang berbuntut mosi tidak percaya ke pemerintahan Jokowi karena "dikondisikan tidak tegas" terhadap pemerintahan Myanmar.
Salam perdamaian di Asean dan Indonesia tercinta.
Albert Simangunsong
Tags
Aktual