Perusahaan perkebunan kelapa sawit di Papua, PT Nabire Baru, berencana meluncurkan program beasiswa untuk anak putus sekolah yang sangat membutuhkannya.
Nabire (Benhil, 15/03/2017) Keterbatasan ekonomi keluarga, kondisi lingkungan yang jauh dari kata
layak, dan minimnya infrastruktur merupakan hal- hal yang menjadi
faktor penyebab anak putus sekolah. Di Papua, lebih dari 70% anak putus
sekolah. Angka demikian kian bertambah di kabupaten daerah yang sulit
diakses. Data pemerintah menunjukan jumlah keseluruhan anak putus
sekolah disana mencapai 50% untuk SD dan 73 % untuk sekolah menengah
pertama.
Kebanyakan dari anak- anak yang putus sekolah
tersebut mengaku terpaksa berhenti mengenyam pendidikan karena harus
membantu orangtua mencari nafkah. Tak jarang pula anak-anak menjadi
tulang punggung keluarga karena orangtuanya meninggal. Dengan kondisi
serba kekurangan, pekerjaan apapun rela mereka lakoni demi menyambung
hidup. Mulai dari buruh perkebunan, kuli panggul, pemecah batu, penjaga
ternak, dan pekerjaan lain yang sebenarnya terlalu berat untuk anak-
anak seusia mereka.
Tak ingin lagi melihat kemalangan
nasib anak-anak putus sekolah di Papua, CSR Manager PT. Nabire Baru,
Yakobus Stefanus Muda mengatakan pihaknya akan mengadakan program
beasiswa untuk anak- anak putus sekolah mulai jenjang pendidikan Sekolah
Dasar, Sekolah Menengah Pertama (SMP), hingga Sekolah Menengah Atas
(SMA).
“Program beasiswa ini akan kami berikan kepada
anak- anak putus sekolah mulai tingkat SD, SMP, dan SMA di wilayah
perkebunan kelapa sawit milik PT Nabire Baru. Khususnya bagi anak yatim,
dan keluarga dengan kategori tidak mampu. Mereka memiliki hak yang sama
untuk mengenyam pendidikan formal,” papar Yakobus di Papua, (15/3).
Dewasa
ini, Yakobus menilai pendidikan bermutu seolah semakin jauh dari
jangkauan masyarakat miskin. Dunia pendidikan seolah berubah wajah
menjadi komoditi komersil yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan mampu.
“Masyarakat miskin sulit sekali mengakses pendidikan.
Kendati pemerintah telah beberapa kali meluncurkan program bantuan
pendidikan, namun tetap saja fakta dilapangan menunjukan angka cukup
besar, betapa banyaknya anak- anak putus sekolah yang belum terjangkau
bantuan,” imbuhnya.
Selain faktor keterbatasan biaya,
dan minimnya infrsatruktur, keterbatasan tenaga pengajar di sekolah-
sekolah juga menjadi faktor lemahnya pendidikan di wilayah tersebut.
Bahkan, dalam satu sekolah ada guru yang harus mengajar merangkap
beberapa kelas karena kekurangan tenaga pengajar. Hal ini, diakui
Yakobus membuat proses belajar mengajar menjadi kurang efektif.
“Untuk
itu, saat ini kita sedang mengusahakan untuk mendatangkan tenaga-
tenaga pengajar dari Papua maupun luar daerah Papua yang bersedia
ditempatkan untuk mengajar sekolah- sekolah di wilayah terpencil. Dalam
hal ini, kami akan mengadakan kerjasama dengan Kementerian Pendidikan,”
simpulnya.
Terakhir, Yakobus berharap rencana program
beasiswa yang diluncurkan oleh PT. Nabire Baru dapat membawa dampak
signifikan terhadap pendidikan di Papua. Ia juga menegaskan bahwa
pihaknya akan melakukan survei dalam waktu dekat agar program beasiswa
bisa tepat sasaran dan tidak disalahgunakan orang-orang tidak
bertanggung jawab.
“Kita akan survei di beberapa
lokasi berapa jumlah anak putus sekolah, apa sebabnya, berapa usia
mereka, dan hal- hal lain yang bersangkutan untuk memastikan bahwa
program beasiswa ini tepat sasaran,” simpul Yakobus. (AM)
Tags
Nabire Baru